Siapa bilang cuma akun media sosial atau bank yang bisa di-hack? Ternyata, bahkan manusia pun bisa ‘di-hack’. Kalau kamu pernah dengar ada orang yang tertipu investasi bodong karena tergiur keuntungan besar saat lagi butuh-butuhnya (misalnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga), itulah contoh dari human hacking. Data pribadi diambil, pun uang yang dimiliki. Pelaku penipuan seperti ini memanfaatkan keadaan psikologis korbannya, dan ini disebut social engineering (rekayasa sosial). Ini penting buat kamu ketahui karena sering kali berdampak merugikan. Selengkapnya, baca ulasan berikut ini, ya.
Pengertian Social Engineering
Menurut Hadnagy (2010), social engineering adalah segala bentuk tindakan memengaruhi orang lain agar melakukan hal yang mungkin nggak benar-benar ingin dilakukan oleh orang tersebut. Social engineering melibatkan tindakan-tindakan persuasif untuk membujuk korban memberikan data-data tertentu, misalnya data akun bank. Nggak sekadar mempersuasi, social engineer memanfaatkan kondisi psikologis korbannya untuk melakukan kejahatan. Itu dia kenapa “manipulasi psikologis” juga sering dipakai untuk menjelaskan hal ini.
Kalau nge-hack akun media sosial biasanya dilakukan lewat ‘jalan belakang’—melakukan serangkaian upaya terhadap benda-nya untuk membobol akun, rekayasa sosial menargetkan manusia-nya. Kasus terkait hal ini terjadi saat dampak pandemi COVID-19 sedang buruk-buruknya. Di AS, karyawan yang kena PHK, kekurangan uang, dan harus memenuhi kebutuhan anaknya menjadi target pelaku rekayasa sosial. Pelaku memanfaatkan kondisi ‘butuh’ ini untuk menawarkan deposit cepat kepada korban cukup dengan memberikan data-data akun bank. Hasilnya, korban tertipu dan sejumlah uang melayang.
Kondisi Psikologis dan Pengambilan Keputusan
Sekilas kasus di atas terkesan layaknya kasus penipuan pada umumnya. Tapi, social engineering memanfaatkan hal yang lebih vital; kondisi psikologis. Penipu mungkin bukan seorang yang mengerti neurosains, tapi pemanfaatan kondisi emosional adalah hal tepat yang mereka pilih sebagai sasaran. Sisi emosional manusia, terutama saat terdesak, putus asa, butuh, menghasilkan keputusan-keputusan yang boleh jadi berbeda jauh dari yang akan diambil di waktu lain.
Hal ini didukung oleh penelitian Gaybiel, Fiedman, dan rekanannya di tahun 2015, bahwa stres jangka panjang memengaruhi kemampuan mengambil keputusan. Stres berat bisa berujung pada tindakan-tindakan impulsif, bahkan keputusan-keputusan paling buruk. Stres yang diakibatkan pandemi, misalnya, bisa memengaruhi pengambilan keputusan seperti kasus tadi. PHK, kehilangan keluarga, takut terinfeksi, dan sekian penyebab stres lain bermunculan seiring berjalannya pandemi. Demikianlah suatu kondisi bisa menimbulkan stres yang nggak main-main. Ironis, hal ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum kejahatan.
Menanggapi Social Engineering
Membaca soal social engineering atau rekayasa sosial ini mungkin bikin kamu sedikit bertanya-tanya, apa yang harus dilakukan setelah mengetahui hal ini. Penipu akan tetap ada, bahkan mungkin semakin cerdas melancarkan aksinya. Terus, harus gimana?
Nah, sedikitnya kamu punya pengetahuan soal kemungkinan pemanfaatan kondisi psikologis oleh oknum kejahatan seperti ini. Setelah itu, di antara yang bisa kamu perbuat:
- ingat selalu untuk nggak buru-buru mengambil keputusan dalam kondisi emosional—evaluasi keadaan terlebih dulu;
- selalu minta saran dari orang-orang terdekat saat dihadapkan pada situasi sulit; dan
- ingatkan teman atau kerabat yang berisiko mengalami social engineering.
Nggak bisa disalahkan juga kecenderungan emosional yang dimiliki manusia. Tapi dengan terus menambah pengetahuan, kamu bisa tahu perkembangan hal-hal begini. Zaman sekarang, ragam kejahatan makin bervariasi nggak peduli di dunia nyata maupun siber. Tetap hati-hati, ya!
Referensi: