Perkembangan teknologi informasi sudah barang tentu membawa banyak manfaat bagi kehidupan. Informasi apapun bisa diakses kapanpun dan dari manapun tanpa terhalang jarak dan waktu yang berarti. Sayangnya, sebagaimana internet membawa manfaat dan kemudahan, ia juga bisa menimbulkan dampak negatif. Salah satunya, ialah munculnya kecenderungan untuk melakukan self-diagnose.

Sudah banyak kasus terjadi di mana orang ‘buru-buru’ menarik kesimpulan tentang masalah kesehatan dirinya hanya karena artikel atau tes yang ditemukan di internet. Baru satu-dua artikel dibaca, sudah keburu merasa, ‘wah, ini gue banget!’, ‘aduh, ciri-cirinya kok sama kayak gue?’, ‘fix, gue punya gangguan ini!’. Bahkan baru-baru ini, sempat ramai di salah satu platform media sosial di mana seorang pelajar melakukan self-diagnose dengan mencap dirinya memiliki gangguan bipolar setelah mengisi sebuah tes prediksi di internet. Waduh, kalau kayak gitu, apa nggak terlalu cepat menyimpulkan?

Mencari informasi di internet merupakan hal yang manusiawi (Kuehn, 2013). Merasa relate dengan suatu bacaan pun sudah biasa terjadi. Yang bahaya adalah, ketika kamu sudah mulai mencap dirimu mengidap penyakit atau gangguan mental tertentu hanya karena bacaan-bacaan atau tes yang belum jelas valid atau tidaknya di internet. Kalau kamu pernah melakukannya, hati-hati, itu bisa berarti kamu telah terjebak dalam online self-diagnose.

Mengenal Online Self-Diagnose

Self-diagnose sendiri ditandai dengan adanya asumsi bahwa kamu mengetahui seluk-beluk yang diperlukan untuk menegakkan suatu diagnosa, dan menerapkannya pada dirimu. Online self-diagnose merujuk kepada perilaku self-diagnose yang dilakukan dengan cara mencari informasi melalui internet (Kuehn, 2013). Self-diagnose disebut sangat berbahaya karena dengan melakukan hal tersebut, kamu bisa jadi melewatkan kemungkinan lain yang terjadi pada dirimu dan terlalu fokus pada diagnosis yang kamu buat sendiri. Selain itu, ia bisa menimbulkan kekhawatiran hingga kecemasan berlebih seolah keadaan jauh lebih buruk dari yang mungkin sesungguhnya terjadi pada kenyataannya. Melakukan online self-diagnose bisa membuatmu terpaku pada saran-saran yang tertulis di internet, melakukannya secara berlebihan, saat sesungguhnya bukan saran tersebut yang tepat untuk dilakukan.

Dengan demikian, perlu adanya kesadaran untuk nggak melakukan self-diagnose apalagi dengan mengacu kepada informasi yang diperoleh dari internet. Online self-diagnose harus dihindari terutama di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi seperti saat ini.

Menghindari Dorongan Self-diagnose

Supaya nggak keburu menarik kesimpulan mengenai keadaan diri alias melakukan self-diagnose, ada beberapa hal sederhana yang perlu kamu ketahui dan pahami. Misalnya, seperti hal-hal berikut ini.

1. Memahami Pentingnya Diagnosa ‘Resmi’ dari Ahlinya

Seorang yang sudah jelas memiliki gejala masalah kesehatan baik fisik maupun mental pun masih perlu pergi kepada ahlinya agar dapat menerima diagnosa yang sesuai. Apalagi kamu, aku, atau kita semua yang masih samar-samar merasakannya. Mengetahui apa yang terjadi pada dirimu nggak bisa dilakukan sendiri. Kamu membutuhkan ‘cermin’ dan cermin tersebut adalah dokter, psikiater, psikolog, atau ahli lain yang memang memiliki kompetensi terkait kesehatan. Merekalah yang bisa menegakkan diagnosa terpercaya melalui serangkaian pemeriksaan terlebih dahulu.

2. Informasi Kesehatan di Internet Hanya Ditujukan untuk Edukasi

Setelah paham bahwa diagnosa hanya dapat ditegakkan oleh ahlinya, saatnya mulai mengonsumsi konten di internet dengan lebih bijaksana. Kamu perlu sadar betul saat membaca berbagai informasi kesehatan di internet, bahwa semua itu ditujukan untuk edukasi semata. Artikel berisi gejala penyakit atau gangguan bertujuan memberi pengetahuan, salah satunya agar awareness terhadap hal yang diinformasikan meningkat.

3. Siapapun Bisa Menulis di Internet

Seperti halnya aku saat ini, bahkan kamu pun bisa membuat tulisan di internet. Artinya, banyak hal yang nggak bisa ditelan mentah-mentah begitu aja saat sudah beredar di internet. Kredibilitas informasi penting terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan. Jangan sampai maksud hati ingin mencari informasi tentang kesehatan, justru jadi resah sendiri karena apa yang dibaca dan berujung pada self-diagnose. Pastikan situs yang menyediakan informasi sudah terpercaya, dan kamu pun menyikapi dengan bijaksana.

Semua bisa dimulai dari diri sendiri. Dengan tekad untuk memahami hal-hal di atas lantas menjadi lebih bijaksana dalam menyikapi bacaan tentang kesehatan di internet, kamu bisa terhindar dari self-diagnosis. Pokoknya, jangan ragu untuk datang kepada ahlinya kalau kamu merasa membutuhkannya, ya!

Referensi:

Kuehn, B. M. (2013). More than one-third of US individuals use the internet to self-diagnose. JAMA, 308(9), 756-757.

Ryan, A. & Wilson, S. (2008). Internet healthcare: Do self-diagnose sites do more harm than good?. Expert Opinion, 7(3), 227-229.

https://www.psychologytoday.com/us/blog/debunking-myths-the-mind/201005/the-dangers-self-diagnosis

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *