Kira-kira berapa kali kamu pernah bohong lewat chat buat menghindari sesuatu? Bilang ‘Otw, nih!’ saat sebenarnya kamu baru aja bangun dari atas kasur, atau bilang ‘Maaf, tadi ketiduran!’ saat sebenarnya kamu lagi nggak mau ikut rapat online. Ada istilah buat kebohongan kayak gini, lho! Yaitu, butler lie—kebohongan si kepala pelayan. Lebih lengkapnya bisa disimak di bacaan berikut ini.
Definisi Butler Lie
Jeff Hancock dan koleganya mengartikan istilah butler lie sebagai kebohongan yang dilakukan melalui pesan teks yang biasanya ditujukan buat menghindari interaksi sosial. Butler lie memungkinkan kamu bilang terlambat ke suatu tempat gara-gara harus bantu orang tua dulu padahal kamu hanya malas berangkat pagi-pagi, atau bilang otw padahal masih siap-siap. Ini bisa terjadi berkat teknologi yang ditemukan lebih dari duapuluh tahun yang lalu; pesan teks.
Kata ‘butler’ di istilah butler lie berasal dari perumpamaan seorang kepala pelayan (Inggris: butler) yang bisa saja bicara bohong atau beralasan kepada tamu yang datang agar mereka nggak jadi berkunjung atas permintaan tuannya, karena tuan rumah nggak mau bertemu orang yang bertamu itu. Kalau dianalogikan, kita adalah si tuan rumah, dan smartphone kita adalah si kepala pelayan. Kita bisa menghindari interaksi sama orang lain sesimpel lewat ketikan pesan WhatsApp.
Berita buruknya adalah, saking seringnya orang melakukan butler lie, yang benar-benar bilang yang sejujurnya jadi suka disangka bohong juga. Kalau masih seputar hal-hal sepele, sih, mungkin nggak masalah. Tapi makin besar perkaranya, jatuhnya butler lie bikin orang jadi gampang berburuk sangka.
Apa Butler Lie Benar-Benar Perlu Dilakukan?
Beberapa peneliti dari Amerika meneliti suatu kondisi yang dinamakan hyper-connectivity, yaitu ketersediaan orang-orang untuk berkomunikasi di manapun dan kapanpun. Dalam kondisi hyper-connected, orang-orang mengharapkan keterhubungan dan komunikasi instan melalui smartphone setiap saat. Kondisi ini menyebabkan hal lain lagi; kecenderungan orang buat merasa bakal menyakiti perasaan orang lain kalau nggak membalas pesan secepat mungkin, ataupun sebaliknya, berprasangka buruk kalau ada orang lain yang terlambat membalas pesan.
Kondisi hyper-connectivity dan butler lie amat berkaitan, dan hati-hati, kamu nggak akan menyadarinya karena semua ini terjadi pelan-pelan. Karena semua orang berpikir smartphone itu pasti selalu ada di tangan pemiliknya setiap saat, ada tekanan buat selalu balas pesan secepat mungkin. Akhirnya waktu kamu lagi nggak pengin fast response, jatuhlah pilihan kepada berbohong.
Belum lagi di satu sisi, kamu bakal menormalisasi butler lie karena beranggapan kalau semua orang berhak punya privasi dengan nggak selalu terhubung setiap saat. Di sisi lain, kamu bisa berpikir semua orang nggak mungkin melepas smartphone-nya dan cuma mengarang alasan waktu telat balas pesan karena sebenarnya pengin mengabaikan kamu saat kenyataannya; belum tentu!
Butler lie nggak benar-benar perlu dilakukan, lho. Apalagi butler lie juga suka dilakukan buat menghindar dari tanggung jawab. Bukan bohong yang harus kamu lakukan kalau merasa butuh privasi atau waktu untuk mengerjakan yang lain, tapi justru keberanian buat jujur dan asertif, kalau ada saat-saat di mana kamu nggak selalu online dan bisa fast response. Kalau masih merasa tekanan buat selalu balas pesan cepat-cepat itu masih ada dan terus mendorong kamu buat melakukan butler lie, coba:
- pahami kalau jadi teman atau rekan yang baik bukan berarti harus selalu fast response;
- lebih terbuka sama teman dan orang lain di sekitar;
- beranikan diri buat bilang yang sejujurnya; dan
- kurangi rasa nggak enakannya!
Balik lagi, nggak mungkin juga, sih, manusia nggak pernah bohong. Butler lie mungkin cuma satu dari sekian jenis kebohongan yang bisa dilakukan seorang manusia. Tapi, yang pasti masing-masing dari kita bisa berusaha buat jadi lebih baik dengan nggak ‘hobi’ berbohong apalagi dengan tujuan menghindari tanggung jawab. Kamu bisa juga baca soal psikologi berbohong di sini, ya, siapa tahu bisa nambahin insight kamu soal ini!
Referensi: