Pada dasarnya, kita semua punya rasa ingin memiliki sekaligus dimiliki oleh lingkungan sosial. Bahkan, melalui dunia maya sekalipun. Betul apa betul?

Kalau sedikit sulit dipahami, maka coba kita uraikan dengan contoh. Kamu mungkin ingin orang yang berkirim pesan denganmu selalu membalas sama cepatnya denganmu. Nggak late reply, sementara kamu udah fast response. Apalagi cuma di-read. Ini bisa berlaku baik dengan pacar, teman, saudara, atau keluarga yang mungkin berada nun jauh di sana bagi kamu yang sedang merantau. Ketika pesanmu dibalas—apalagi dengan cepat—kamu akan merasa ‘dimiliki’ sekaligus ‘memiliki’. Tapi sebaliknya, ‘late reply dan ‘di-read aja’ sering kali membuat orang-orang diam-diam merasa resah. ‘Apa dia nggak mau balas pesan gue, ya?’, ‘Apa gue ada salah ngomong?’, ‘Jangan-jangan dia marah sama gue?’. Nah, itu baru berupa keraguan yang muncul gara-gara insiden laterep alias telat bales, belum lagi yang terlanjur negative thinking lebih dari itu.

Terus gimana, dong? Meski dunia perlahan bangkit dari pandemi COVID-19 dan mulai banyak kegiatan dilakukan secara offline, komunikasi online bagaikan sudah membudaya walaupun rentan menimbulkan mispersepsi hingga miskomunikasi. Selain masih harus meminimalisir interaksi langsung sedapat mungkin, kamu pasti nggak memungkiri juga ‘kan, kalau kebanyakan komunikasimu saat ini dilakukan lewat gadget dan internet?

Balzarini dkk. (2020) menawarkan satu solusi yang bisa membuat hubungan lebih berkualitas meski dibina dari jarak jauh dan secara online, yaitu perceived partner responsiveness. Istilah ini barangkali cukup asing buatmu, jadi, yuk kita bahas sedikit!

Pengertian Perceived Partner Responsiveness

Perceived partner responsiveness merupakan istilah yang mewakili sejauh mana orang percaya bahwa pasangannya peduli, mengerti, dan memvalidasi pikiran juga perasaannya terhadap mereka (Reis & Clark, 2013). Dalam satu penelitian terbaru oleh Balzarini dkk. (2020), perceived partner responsiveness diteliti dalam konteks hubungan romantis, yang mana selama pandemi COVID-19 cenderung menurun kualitasnya di antara para pasangan yang saling berjauhan dan terbatas komunikasinya pada ranah maya.

Komunikasi yang terbatas hanya dilakukan secara online amat rentan terhadap konflik. Seperti yang sempat disebut di atas, bahkan kecepatan membalas pesan pun dapat menjadi alasan timbulnya konflik interpersonal. Perceived partner responsiveness akan membantu menyiasati hal ini. Reis dkk. (2004) menyebutkan bahwa memandang pasangan sebagai sosok yang responsif membantu mempertahankan hubungan dekat, dan mereka yang demikian cenderung lebih mampu meregulasi emosi negatif serta merasa lebih aman dalam sebuah hubungan (Slatcher & Selcuk dalam Balzarini et al., 2020).

Nah, kamu pun bisa mencoba menerapkan pemahaman mengenai peran perceived partner responsiveness ini untuk jenis hubungan lain selain hubungan romansa. Ini bisa membantumu memelihara hubungan di tengah komunikasi yang serba online agar tetap berjalan baik.

Memelihara Hubungan dengan Perceived Partner Responsiveness

Pemahaman tentang perceived partner responsiveness bisa banget kamu terapkan untuk memelihara komunikasi dalam hubungan dengan keluarga, teman, pacar, atau mungkin rekan kerja. Berikut 3 tips sederhananya.

1. Yakinlah kalau late reply nggak selalu berarti buruk

Sering kali, otakmu mungkin terlanjur berpikir terlalu jauh untuk perkara late reply ini. Ya, kadang kesal sih, kalau ‘lawan bicara’ lama mengirim balasan pesan. Apalagi kalau urusannya genting. Tapi kamu harus tetap ingat, jarak yang terbentang di tengah komunikasi online berarti satu; kamu nggak tau apa yang tengah mereka lakukan atau apa yang tengah terjadi pada mereka.

Sekarang kalau keadaannya dibalik, katakanlah justru kamu yang secara nggak sengaja late reply karena suatu alasan sederhana, misalnya dimintai ibumu membantu pekerjaan rumah. Apakah hal ini merupakan sesuatu yang kamu sengaja? Jelas, jawabannya; nggak. Keluarga, teman, atau pacar yang terlambat atau nggak membalas pesanmu bukan berarti marah atau nggak mau membalas pesanmu. Yakinkan kalau mereka punya sesuatu untuk dikerjakan sehingga harus menunda membalas pesanmu.

2. Masih ragu? Lakukanlah validasi sendiri!

Validasi merupakan bagian dari perceived partner responsiveness. Kalau kamu belum merasa keluarga, teman, atau pacar kamu memvalidasi perilaku dan perasaannya, maka lakukanlah lebih dulu. Validasi, konfirmasi, nyatakan apa yang kamu rasakan. Melakukan validasi ini meminimalisir adanya salah paham, karena semua akan dibicarakan dengan jujur. Jangan lupa juga gunakan teknik komunikasi asertif dalam melakukan ini.

3. Belajar meregulasi emosi lebih baik

Setelah berani ‘saling’ memvalidasi, cobalah untuk meregulasi emosi dengan lebih baik. Ketika mengkomunikasikan perasaan dengan jujur, nggak menutup kemungkinan akan muncul emosi-emosi tertentu sebagai respon. Di saat seperti itulah kemampuan regulasi emosimu mengambil peran. Atur emosi sedapat mungkin, jangan keburu menuntut ini dan itu, agar komunikasi tetap lancar.

Sederhananya, penting untuk berusaha mengerti alih-alih selalu ingin dimengerti. Perceived partner responsiveness hanyalah satu dari sekian banyak yang bisa dilakukan untuk membantu memelihara hubungan yang terjalin melalui komunikasi yang serba online. Yuk, sama-sama meregulasi dan memperbaiki diri agar jadi lebih baik lagi!

Referensi:

Balzarini, R. N., Muise, A., Zoppolat, G., Bartolomeo, A. D., Rodrigues, D. L., Alfonso-Ferres, M., …. Slatcher, R. B. (2020). Perceived partner responsiveness buffers people from lower relationship quality associated with Covid-related stressors.

https://theconversation.com/how-will-dating-change-after-coronavirus-psychology-offers-some-clues-138893

Comments

  1. Benar sekali kalo pasangan bales pesan Lama langsung muncul curiga gelisah resah merasa ga diprioritasin/diabaikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *