Di usia 20 hingga 30-an, boleh jadi ada suatu fase di mana apapun yang kamu kerjakan, semuanya selalu terasa salah. Atau, mempertanyakan apakah langkah yang sudah atau akan diambil adalah keputusan yang tepat.

Apakah dengan mengambil jalan ini, aku akan sukses?’, ‘Tapi apakah dengan berhenti, aku akan mendapatkan yang lebih baik?’, ‘Di usia ini, seharusnya aku sudah bisa sukses,’ ‘Sebenarnya, untuk apa semua yang kulakukan sekarang?’.

Berbagai pertanyaan mulai memadati pikiran. Hari-hari berjalan seperti biasa. Berlalu. Tapi, pikiran-pikiran itu tidak pernah hilang. Resah tak hentinya menyeruak. Pekerjaan sehari-hari tetap dilakukan namun terasa mengawang di antara ketidakyakinan.

Jika terasa pada dirimu hal-hal seperti itu di usia 20 hingga 30-an, barangkali memang quarter-life crisis lah yang tengah melanda.

Quarter-life Crisis, Suatu Tahap Kehidupan yang Luar Biasa Mencipta Resah

Quarter-life crisis merupakan suatu krisis yang terjadi di rentang usia 20 sampai 30-an tahun, yaitu ketika seseorang berada di masa dewasa awal (Erikson dalam Robinson, 2015). Lebih lanjut, Robbins dan Wilner (dalam Robinson, 2015) menyebutkan angka 25-35 sebagai usia terjadinya quarter-life crisis. Namun banyak pula ditemukan bahwa krisis ini sudah mulai terasa saat baru saja memasuki usia 20 tahun. Ada pula dugaan bahwa quarter-life crisis bisa terjadi di usia yang semakin muda seiring tahun berjalan.

Krisis ini mencakup kebingungan, kebimbangan, ketidakyakinan diri, kekhawatiran, yang kebanyakan adalah tentang esensi dari apa yang dilakukan saat ini, apakah hal itu dapat membawa diri ke suatu titik tertentu di masa depan, hingga mempertanyakan diri sendiri. Tidak sedikit orang yang merasakan stres akibat krisis ini.

Tapi adanya krisis ini tentu saja bukanlah sesuatu yang tidak normal. Justru, quarter-life crisis merupakan bagian dari perjalanan hidup dan pengembangan diri. Quarter-life crisis penuh dengan ketidakpastian. Namun satu-satunya hal yang pasti memang hanyalah kehadiran ketidakpastian dalam krisis itu sendiri. Ketika masa tersebut berhasil dilewati, akan ada perkembangan pada diri dalam banyak hal, seperti kemampuan mengambil keputusan (decision making), menemukan passion sejati yang tak disadari sebelumnya, hingga memperoleh tujuan hidup yang lebih jelas.

Memang, pada kenyataannya, berproses selalu sulit dirasa. Jauh lebih sulit dibanding sekadar berangan-angan. Menghadapi quarter-life crisis sama sekali tidak mudah. Tapi, ada banyak orang yang telah berhasil melaluinya. Ini bukti bahwa quarter-life crisis akan dapat dilalui. Sekarang mulailah dengan mencoba menghadapi setiap keresahan dan kekhawatiran dalam diri agar hari-harimu terasa lebih baik di tengah quarter-life crisis ini.

Tips Mengatasi Resah akibat Quarter-life Crisis

Hal yang tampak rumit boleh jadi sesungguhnya sederhana. Menghadapi quarter-life crisis bisa dimulai dengan mencoba meredakan keresahan yang ditimbulkannya. Berikut beberapa yang bisa dilakukan.

1. Selalu Kenali Setiap Perasaan yang Muncul

Sebab kecamuk perasaan khawatir, ragu, bimbang, dan sebagainya selalu hadir di fase quarter-life crisis, penting untukmu mengenali tiap-tiap perasaan yang muncul. Mengenali dengan baik apa yang tengah kamu rasakan bisa membantu pikiranmu jadi lebih jernih untuk mampu mengidentifikasi penyebabnya, kemudian menentukan cara yang sesuai untuk mengatur perasaan dan emosi tersebut.

2. Berbagi Cerita dengan Orang Lain

Ada banyak kesaksian tentang betapa bergunanya membagi keresahan kepada orang lain. Efeknya, kamu bisa menjadi lebih tenang karena merasa tidak sendirian. Seperti, ‘Wah, ternyata bukan cuma aku yang merasakan ini’.

Berbagi cerita bisa kamu lakukan dengan orang yang lebih tua untuk mengetahui seperti apa mereka dulunya mengatasi hal-hal serupa quarter-life crisis, atau dengan teman sebaya yang sama-sama memiliki keresahan namun dengan sebab yang berbeda.

3. Jangan Bandingkan Diri dengan Orang Lain

Usia 25 harus sudah mapan, punya gaji besar dan aset di mana-mana? Kata siapa?

Quarter-life crisis sering kali diwarnai rasa insecure. Sudah begitu, ditambah pula membanding-bandingkan pencapaian dengan orang lain yang sebaya. Padahal tanpa membanding-bandingkan seperti itupun, quarter-life crisis sudah terasa amat meresahkan, kan? Jadi cobalah untuk meyakinkan dirimu kalau setiap orang punya waktunya masing-masing untuk bisa berada pada titik tertentu. Tidak perlu merasa tertinggal, dan coba ukur sejauh apa kemampuanmu, dan lakukan yang terbaik sesuai dengannya.

Akan selalu ada fase sulit dalam perjalanan hidup. But life must go on. Quarter-life crisis adalah tahapan berharga yang bisa menjadikanmu lebih dan lebih kuat dari sebelumnya. Jadi, keep going. Kamu pasti bisa melaluinya!

Referensi:

Robinson, O.C. (2015). Emerging adulthood, early adulthood and quarter-life crisis: Updating Erikson for the twenty-first century. In R. Žukauskiene (Ed.) Emerging Adulthood in a European Context, 17-30. New York: Routledge.

https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-gen-y-guide/201709/why-millennials-need-quarter-life-crises

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *