Kalau main jujur-jujuran, pernah nggak kamu berbohong? Diajak ketemuan, bilangnya ada kerjaan. Padahal aslinya cuma mager aja. Berbuat salah, tapi nggak mau ngaku dan pura-pura nggak tahu. Manusiawi, sih. Saking manusiawinya, kita kadang berbohong tanpa mikir-mikir dulu.

Menurut psikologi, ada penjelasan di balik sebuah kebohongan, lho! Bohong memang udah biasa, tapi kamu mungkin belum aware tentang alasan psikologis di baliknya, atau kemungkinan yang bisa terjadi karena satu kali aja kebohongan. Untuk itu, berikut ulasan singkatnya.

Kenapa Orang Berbohong?

Bohong berarti menipu orang lain secara verbal. Rupanya bohong pun termasuk bagian dari komunikasi. Bohong merupakan respon keperilakuan manusia saat berinteraksi sama orang lain yang dilakukan secara sengaja. Salah satu riset menyebutkan orang-orang cenderung bohong di 25% dari keseluruhan interaksi mereka sama orang lain. Masing-masing berbeda dari segi seberapa besar kebohongannya, frekuensinya, dan apa tujuan atau alasannya.

Orang bohong karena beragam alasan. Kadang bohong jadi ‘cara malas’ buat menyelesaikan masalah. Ada yang bohong untuk melarikan diri dari tanggung jawab, menghindar dari masalah, takut malu kalau kebenaran sampai diketahui orang lain, dan sebagainya. Meski diartikan ‘penipuan verbal’, bohong nggak selalu dilakukan dengan bicara. Alias, diam juga bisa disebut bohong kalau ditujukan untuk menipu. Bohong adalah berusaha membuat orang lain percaya kalau suatu hal yang salah adalah benar.

Alasan orang berbohong, salah satunya menurut psikoanalisis dari Sigmund Freud, adalah peran di antara id, ego, dan superego. Id adalah dorongan alami dari dalam diri yang dimiliki semua manusia. Kalau ada sesuatu di kenyataan yang bikin cemas dan takut, id akan mendorong untuk menjauhi kenyataan itu. Ego, yaitu sikap yang kemudian terimplementasi, akhirnya memilih bohong sebagai wujud upaya menjauhi kenyataan tersebut. Superego merupakan bagian dari lingkungan luar, misalnya norma, yang juga bisa memicu kebohongan. Lingkungan terkadang menuntut kesempurnaan sampai-sampai seseorang harus berbohong supaya bisa memenuhi tuntutan itu.

Berdasarkan frekuensi kebohongannnya, ada 4 tipe pembohong, yaitu occasional liars (yang kadang-kadang berbohong tapi masih mau menerima kalau dirinya salah), frequent liars (biasa berbohong dan nggak repot-repot berusaha bikin kebohongannya terkesan masuk akal), smooth liars (‘terampil’ berbohong sampai orang sulit untuk nggak mempercayainya), dan compulsive liars (yang berbohong bahkan untuk hal yang nggak perlu dan ‘kecanduan’ berbohong). Sampai ke derajat tertentu yaitu tipe ke-4, kebohongan udah bisa disebut patologis alias bersifat gangguan, lho.

Supaya Bohong Nggak Jadi Kebiasaan

Hati-hati, satu kali kebohongan bisa bikin kamu terdorong buat melakukannya lagi. Lama-lama bisa jadi kebiasaan. Dimulai dari nggak jujur sama orang lain, merembet jadi sulit menerima kenyataan, kesalahan yang dibuat, sampai bohong sama diri sendiri. Supaya bohong nggak jadi kebiasaan, kamu mungkin bisa coba tips berikut ini!

1. Pahami dan pertimbangkan selalu soal kemungkinan munculnya masalah yang lebih besar kalau diselesaikan dengan berbohong.

2. Jangan takut berbuat salah ataupun disalahkan, karena bakal selalu ada kesempatan buat belajar dari itu semua tanpa harus mengompensasinya dengan kebohongan.

3. Ketahui kalau sebaik-baiknya kamu, adalah versi diri kamu yang sesungguhnya tanpa kebohongan.

Dipikir-pikir lagi, bohong itu ibarat udah melekat sama manusia, sih. Lagian siapa yang nggak pernah bohong? Tapi, jangan jadikan ini alasan buat terus-terusan membohongi orang, ya. Jangan normalisasi kebohongan. Kalau bisa jujur, kenapa harus bohong?

Referensi:

Farisha, A., & Sakkeel, K. (2015). Psychology of lying. The International Journal of Indian Psychology, 2(2), 45-51.

www.psychologytoday.com/us/blog/women-who-stray/201701/6-reasons-people-lie-when-they-don-t-need?amp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *