Sosok di balik layar kaca dan layar gawai kadang kelihatan perfect banget dan bikin kita mau mengidolakan. Dari mulai influencer, aktor, penyanyi, bahkan pemain sepak bola. Tiap interaksi yang dibuat mereka lewat acara di TV, video di YouTube, sampai Story di Instagram, suka bikin kita yang menyukai mereka jadi merasa dekat, bahkan merasa dipahami layaknya teman.
Tapi, hubungan macam apa, sih, sebenarnya yang terjadi antara satu orang sama figur di media ini? Nyatanya, mereka bahkan nggak secara personal kenal satu per satu sama siapapun yang suka sama mereka, kan? Berarti hubungan ini sepihak, dong?
Faktanya hubungan sepihak ini lumrah banget terjadi dewasa ini, yaitu, parasocial relationship (hubungan parasosial). Hati-hati, sesuatu yang ‘sepihak’ kadang-kadang bisa menyakiti diri sendiri. Kamu udah tahu belum apa aja dampak buruk dari hubungan parasosial ini? Baca uraian di bawah ini, ya!
Tentang Parasocial Relationship
Parasocial interactions and relationship (PSI/PSR) atau interaksi dan hubungan parasosial sudah diperkenalkan sejak tahun 1950-an oleh Horton dan Wohl dari University of Chicago. Istilah ini diartikan sebagai keterikatan sepihak yang dibayangkan seseorang dimilikinya dengan figur ataupun selebritas di media. Misalnya, kalau kamu punya idola dan sampai taraf tertentu kamu merasa dekat dengannya lewat layar gawai, artinya kamu lagi terlibat dalam hubungan parasosial dengan idolamu.
Hubungan parasosial terimplementasi dalam beragam perilaku, bahkan yang kamu mungkin nggak sadari betul. Mengidolakan aktor film dan drama, penyanyi, pemain sepak bola, kemudian melalui interaksi tertentu bikin mereka terasa seperti seorang teman, kakak, atau sesosok yang memahami kamu saat kenyataannya belum tentu begitu, termasuk hubungan parasosial. Interaksi dan hubungan parasosial sepihak, sehingga objek parasosialmu mungkin nggak benar-benar mengetahui kehadiranmu secara personal.
Hadirnya internet dan berbagai macam teknologi yang nggak henti-hentinya berkembang setiap harinya bikin interaksi dan hubungan parasosial jadi hal yang sama sekali lumrah bahkan nyaris pasti terjadi. Hubungan parasosial yang awalnya cuma terjadi antara individu dengan figur di TV, kini lebih dari pada itu. Yang jauh bisa terasa dekat.
Positifnya, teknologi memang bisa mengikis jarak dan bikin interaksi serta jalinan hubungan sama orang lain seolah-olah nggak terbatas. Ada pula penelitian yang menemukan kalau hubungan parasosial yang terjadi di usia remaja bisa mendukung tugas perkembangan seperti pembentukan identitas dan otonomi. Tapi, apa ‘mendekatkan yang jauh’ sebagai konsekuensi hubungan parasosial selalu baik dampaknya?
Hubungan Parasosial yang Terlalu Dalam, Apa Dampak Buruknya?
Mendekatkan yang jauh bisa menjauhkan yang dekat. Waktu kamu merasa dekat sama sosok di balik layar kaca dan sibuk dengan itu, boleh jadi kamu malah dijauhkan dari orang-orang yang benar-benar ada di dekat kamu. Hubungan parasosial melibatkan media, dan terhanyut di dalamnya bisa bikin kamu secara kompulsif menggunakan alat-alat yang membantu kamu tetap merasakan hubungan parasosial itu. Entah itu nonton TV, atau main media sosial terus-terusan.
Karena itu kamu perlu aware soal hubungan parasosial ini. At least, di diri kamu sendiri. Apa kamu terlibat dalam interaksi dan hubungan parasosial? Apa kamu sadar kalau kamu terlibat dalam hubungan parasosial? Sedalam apa hubungan parasosial yang kamu rasakan?
Pertanyaan-pertanyaan itu bisa kamu tanyakan sama diri kamu sendiri. Gunanya adalah mencari tahu sejauh mana interaksi dan hubungan parasosial yang kamu alami berdampak ke diri kamu. Sebab, semunya interaksi dan hubungan parasosial punya potensi menimbulkan dampak buruk khususnya buat kamu yang terhanyut terlalu jauh di dalamnya. Di antara dampak negatif hubungan parasosial yang terlalu dalam dijelaskan di poin-poin berikut ini.
1. Bikin Kehilangan ‘Pijakan’
Artinya, terlarut dalam hubungan parasosial bisa bikin kamu nggak engage lagi sama kehidupan sehari-hari. Nggak maksimal kerja atau belajarnya, lupa waktu demi mengakses media tempat kamu mendapatkan kesenangan semu, sibuk mendamba figur yang ada dalam hubungan parasosial ini.
2. Menurunkan Kualitas Hubungan yang Nyata
Kalau sudah sibuk sendiri, akhirnya hubungan yang semu mengalahkan yang nyata. Hubungan sama teman, pacar, bahkan keluarga bisa menurun kualitasnya karena sibuk ‘membina’ hubungan parasosial.
3. Bisa Memicu Parasocial Loss Nantinya
Parasocial loss adalah rasa kehilangan yang muncul karena ketiadaan figur dalam hubungan parasosial. Ketiadaan ini bisa mengacu pada meninggal dunia. Parasocial loss bukan sekadar berempati dan turut berduka, tapi juga berpotensi berujung pada kecemasan akan hilangnya kelekatan sama seseorang yang tadinya dianggap dekat (figur di media dalam hubungan parasosial yang dirasakan) sampai kesepian.
4. Mengintervensi Cara Pandang dan Sikap Diri Pribadi
Bergaul sama orang tertentu biasanya mampu mempengaruhi cara pandang dan sikap kamu terhadap sesuatu. Sama halnya dengan merasa dekat dengan figur tertentu dalam sebuah hubungan parasosial, terlebih kalau kamu mengidolakan figur itu. Cara pandang dan sikap kamu boleh jadi terpengaruh, dan perlu dipertanyakan apa pengaruh itu mengarah ke sisi yang lebih baik atau nggak. Banyak, lho, yang dibutakan oleh semata-mata hubungan parasosial—udah kayak cinta buta.
Mengetahui dampak buruk hubungan parasosial sedikitnya mendorong buat mengendalikan diri supaya nggak hanyut terlalu jauh di dalamnya.
Cara Supaya Nggak Berlarut-larut dalam Hubungan Parasosial
Pada dasarnya hubungan parasosial berarti hubungan sosial yang semu. Ada baiknya buat menjadi lebih terikat dengan yang nyata dibanding dengan yang semu. Caranya:
1. Membiasakan aware sama hubungan parasosial.
2. Menghindari adiksi gadget dan media sosial dengan mengatur waktu penggunaannya.
3. Fokus sama ‘yang dekat’, nggak perlu susah-payah menggapai-gapai ‘yang jauh’.
Dengan majunya teknologi sekarang ini, rasanya nggak mungkin nggak terlibat di hubungan parasosial. Tapi poinnya adalah, mencari cara sedemikian rupa supaya hal ini nggak memberi dampak buruk buat diri kamu. Selain tiga cara di atas, ada tips lainnya nggak, nih?
Referensi:
Gleason, T. R., Theran, S. A., & Newberg, E. M. (2017). Parasocial interactions and relationships in early adolescence. Frontiers in Psychology, 8, 255. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00255