Sering dengar kata ‘privilege’? Hal apa yang teringat kalau dengar kata ini? Atau kamu juga termasuk yang sering menyebutnya?
Privilege sendiri diartikan dalam Kamus Cambridge sebagai keuntungan yang cuma dimiliki seseorang atau sebuah kelompok karena posisi atau kekayaannya. Kata ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi privilese, meskipun penggunaan ‘privilege’ (dalam bahasa Inggris) masih lebih luas. Menurut KBBI, privilese berarti hak istimewa. Rupa privilese beragam, seperti status sosial, ekonomi, gender, sampai warna kulit.
Nah, FYI, ahli berpendapat kalau privilege punya hubungan sebab-akibat sama kesehatan mental, lho. Dampaknya untuk kesehatan mental juga bisa positif maupun negatif. Berikut ini sedikit ulasannya.
Memahami Privilege dan Hubungannya dengan Kesehatan Mental
Ada banyak contoh-contoh untuk lebih memahami privilege. Di negara-negara tertentu, menjadi bagian dari ras kulit putih adalah privilege. Status ekonomi tinggi, pengaruh besar di masyarakat, bahkan gender adalah privilege. Sesuai definisinya, privilege bikin seseorang seolah mendapatkan hak istimewa atau keuntungan lebih daripada yang nggak memilikinya.
Magister psikologi konseling dari India, Jyoti Das, berpendapat kalau privilege dan kesehatan mental punya hubungan sebab-akibat. Hubungan ini bisa positif maupun negatif, tergantung pada bagaimana individu memandang dan bersikap terhadapnya. Positifnya, privilege bisa bikin seseorang jadi lebih bersyukur sama hidupnya dan lebih termotivasi, yang mana rasa syukur dan motivasi berkaitan erat sama kesehatan mental. Tapi, nggak memungkiri juga kalau ada dampak negatif dari hal ini.
Misalnya, kamu bisa jadi insecure gara-gara melihat tingginya pendidikan dan hebatnya prestasi seseorang yang kamu anggap punya privilege keluarga berada dan melek pendidikan. Lantas kamu meremehkan kehebatan orang itu, beranggapan ‘ya iyalah, dia ‘kan punya privilege’. Di sisi lain, orang itu justru juga punya bersalah dengan privilege itu, dan beranggapan kalau semua pencapaiannya adalah berkat keluarganya, bukan murni usahanya. Dengan pandangan-pandangan seperti itu, privilege jadi seolah berdampak negatif.
Soal cara pandang ini, perlu kamu ingat kalau boleh jadi bakal selalu ada orang lain yang menganggap kamu lebih beruntung, punya privilege tertentu dibanding mereka. Artinya, ini semua sudah bagaikan sebuah siklus. Maka gimana cara kita memandang dan bersikap terhadap privilege itu penting supaya nggak menimbulkan perasaan-perasaan nggak menyenangkan dan sikap-sikap yang nggak seharusnya.
Gimana Sebaiknya Kita Memandang dan Bersikap terhadap Privilege?
Profesor psikologi dari Amerika, Michael F. Mascolo, Ph.D menjelaskan gimana privilege berpengaruh pada pencapaian seseorang. Secara garis besar, ‘garis start’ setiap individu untuk mencapai sesuatu berbeda-beda tergantung privilege yang dimiliki. Dengan privilege tertentu, seseorang bisa selangkah lebih maju bahkan sebelum orang lain memulai. Perbedaan garis start itu bikin ‘garis finish’ setiap orang pun berbeda.
Pencapaian orang yang punya privilege boleh jadi lebih tinggi, tapi hal itu nggak mengurangi nilai dari usaha mereka yang nggak memilikinya. Maka seharusnya, membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang jelas-jelas punya privilege berbeda, merasa insecure, apalagi menganggap remeh pencapaian orang yang punya privilege, ialah sebuah kesalahan.
Mencoba memandang ‘netral’ privilege supaya nggak timbul rasa dan sikap seperti itu bisa kamu awali misalnya dengan:
- mengingat kalau setiap orang dilahirkan dalam kondisi berbeda, dan nggak ada perbandingan yang ‘apple to apple’ untuk itu;
- menghargai pencapaian diri sendiri dan juga orang lain;
- bersyukur; dan
- menumbuhkan growth mindset.
Mungkin ini sedikit klise, tapi, kamu bisa memandang pencapaian hebat orang-orang dengan privilege sebagai motivasi. Ini bukan cuma soal keistimewaan yang dimiliki orang tertentu dan bikin mereka seolah ‘lebih’ daripada yang lain. Tapi, ini juga soal mau diapakan keistemawaan itu.
Kalau kata Maudy Ayunda; kita bisa memilih untuk memaksimalkan potensi dengan privilege yang dimiliki atau sekadar santai-santai aja tanpa berbuat apapun. Punya privilege adalah awal yang bagus, tapi usaha masih jadi penentunya. Kalaupun garis finish-nya beda, kamu bisa tetap berdamai sama kenyataan itu karena toh kamu tahu, kalau garis start setiap orang itu berbeda.
Kamu sendiri, gimana cara pandangmu soal ini? Atau apakah kamu akhirnya sadar kalau ada privilege tersendiri yang kamu miliki dan bisa dimanfaatkan buat memaksimalkan potensimu?
Referensi: