Jalan dua tahun pandemi COVID-19, apa kamu sudah punya rencana beraktivitas di luar dan bertemu sama orang-orang? Atau justru jadi risau, khawatir, bahkan takut buat kembali berinteraksi di luar layaknya situasi sebelum pandemi lantaran udah terlalu lama mendekam di dalam rumah demi menghindari infeksi virus?
Perasaan kayak gini bisa jadi awal dari cave syndrome, sindrom yang bikin kamu takut keluar rumah sebagai ‘goa’ yang telah membuatmu aman selama pandemi. Lebih lanjut, baca ulasan berikut ini, ya!
Pandemi COVID-19 dan Cave Syndrome
Anjuran ‘di rumah aja’masih amat relevan buat dikampanyekan. Situasi masih cukup genting walaupun vaksinasi udah berjalan. Meski vaksin yang memang membangun kekebalan tubuh bikin beberapa orang seolah punya hak buat beraktivitas lebih bebas, di antaranya masih ada yang takut sembarangan keluar rumah, bahkan takut beraktivitas kembali kayak biasa jikalau pandemi ini udah selesai nantinya.
Cave syndrome didefinisikan sebagai salah satu rupa dari agoraphobia—ketakutan dan kecemasan berlebihan waktu berada di tempat dan situasi yang dianggap sulit dihadapi, yang dalam hal ini mencakup juga rasa terisolasi karena takut terinfeksi virus. Riset dari American Psychological Association menemukan 49% dari orang dewasa yang disurvei tahu kalau mereka bakal merasa nggak nyaman buat kembali berinteraksi langsung dengan orang-orang ketika pandemi usai nanti. 48% dari orang yang sudah divaksin pun merasakan hal yang sama. Hal seperti inilah yang menjadi indikasi cave syndrome.
Penyebab rasa takut buat kembali memulai keseharian seperti sebelum pandemi terjadi bisa berbeda pada masing-masing orang. Ada yang memang punya ketakutan ekstrem akan penyakit yang mungkin menjangkit, ada juga yang karena nggak mau kehilangan keuntungan yang didapat karena isolasi selama pandemi ini (misalnya bisa bekerja dari rumah tanpa repot-repot ke kantor). Keduanya sama-sama berujung pada kerisauan buat kembali beraktivitas normal.
Associate professor di Oregon Health and Science University menyebutkan tiga faktor yang menyebabkan cave syndrome, yaitu kebiasaan (habit), persepsi risiko (risk perception), dan keterhubungan sosial (social connection). Karena pandemi, orang-orang teranjur mengembangkan kebiasaan memakai masker, jaga jarak, nggak sembarang menerima tamu di rumah, dan sebagainya. Itu semua karena ketakutan akan risiko infeksi virus dan kematian. Padahal, ada juga risiko dari semata merasa kesepian dan ‘terputus’ dari dunia sosial yang nggak disadari orang-orang.
Pada taraf tertentu, cave syndrome ini butuh bantuan profesional supaya bisa diatasi. Buat kamu yang barangkali merasakan sesekali perasaan serupa, bisa dimulai dari membiasakan diri pelan-pelan sama aktivitas-aktivitas yang kamu lakukan sebelum pandemi.
Tips supaya Nggak Terjebak dalam Cave Syndrome
Takut memulai lagi hal-hal yang udah lama nggak jadi kebiasaan adalah hal yang lumrah. In case pandemi ini udah selesai nanti dan kamu sedikit takut buat kembali beraktivitas kayak biasa, cobalah beberapa tips berikut ini.
1. Awali dengan tetap mematuhi anjuran protokol kesehatan yang sekiranya masih berlaku. Pastikan juga kamu sudah menerima vaksin dengan dosis yang sesuai.
2. Bayangkan hal-hal yang pernah bikin kamu kangen sama situasi sebelum pandemi, dan seberapa menyenangkannya kalau bisa melakukan itu semua lagi.
3. Pahami kalau hidup ini memang harus terus berjalan dan nggak selamanya kamu bisa tinggal di situasi yang kamu mau. Move on!
Sekarang ini dunia lagi mencoba buat pulih. Kamu, siap-siap menyambut brand new day kala pandemi udah usai, ya! Hidup ini penuh perubahan dan cobalah tetap lenting menghadapinya. Semangat!
Referensi:
www.psychologytoday.com/us/blog/the-pacific-heart/202105/cave-syndrome-viral-and-social-toxins-and-the-inner-life%3famp
www.scientificamerican.com/article/cave-syndrome-keep-the-vaccinated-in-social-isolation1/