‘Tidak’ hanyalah sebuah perkataan. Tapi kadang sulit rasanya mengatakan itu untuk menolak. Kebutuhan mengekspresikan diri dan menyesuaikan dengan sekitar berbenturan; apakah keinginan dari dalam diri atau ekspektasi dari orang lain yang harus dituruti. Katakanlah seseorang meminta bantuanmu, sementara ada hal lebih mendesak yang harus kamu lakukan terlebih dulu. Tetapi sebab dia adalah seniormu, kamu sungkan menolak. Pada kesempatan lain, seseorang memintamu mendengarkan ceritanya, namun kamu tidak berada dalam kondisi dapat mendengarkannya sekaligus tidak dapat menolak karena takut ia menganggapmu tidak mau mendengarkannya. Itu semua berarti, kamu belum bisa bersikap asertif.
Itu baru satu dari sekian keadaan yang memungkinkan kebanyakan orang mengesampingkan keperluan dirinya sendiri yang lebih genting dikarenakan tidak mampu mengungkapkan dengan baik keinginan diri yang sesungguhnya. Jika kamu pun demikian, maka, sudah saatnya kamu berlatih bersikap dan berkomunikasi secara asertif.
Pengertian Asertif
Jika sebelumnya sering dibahas tentang pentingnya berempati terhadap orang lain, memikirkan perasaan orang lain sebelum berbicara atau bertindak, kali ini giliran bentuk ‘tegas’ dari berempati. Yaitu, sikap asertif.
Menjadi asertif berarti secara jelas mengkomunikasikan apa keinginan, kebutuhan, posisi, atau batasan dirimu kepada orang lain. Berbeda dengan agresif yang cenderung melakukan hal serupa tanpa mempedulikan kepentingan orang lain, sikap asertif dilakukan sembari sekaligus menghargai pendapat dan keinginan orang lain. Itulah mengapa, asertif disebut sebagai salah satu social skill yang dapat mewujudkan komunikasi yang efektif.
Tetapi pada banyak keadaan, menjadi asertif sering kali justru sulit dilakukan. Berkata ‘tidak’ untuk menolak permintaan, menyatakan ketidaksetujuan atas suatu hal, tidak selalu mudah meski sebenarnya itu semua hanya tentang menjadi jujur kepada diri sendiri dan juga orang lain. Sulitnya menjadi asertif biasanya terhalang oleh rasa takut akan penilaian orang lain; ‘kalau aku tidak setuju dan punya pendapat berbeda, akan seperti apa mereka memandangku? ‘, ‘kalau aku menolak sekarang, apa dia akan menolak permintaanku juga di masa depan?’.Kemudian pertanyaannya, mengapa menjadi asertif itu penting?
Pentingnya Menjadi Pribadi yang Asertif
Salah satu alasan mengapa menjadi asertif itu penting adalah karena menjadi jujur terhadap diri sendiri itu baik untuk kesehatan mental. Ada kalanya kamu perlu berhenti cemas, tentang seperti apa penilaian orang lain terhadap pendapat atau perkataanmu. Kalau terlalu banyak mencemaskannya, bisa jadi yang terjadi nantinya adalah kamu urung menyuarakan apa yang sesungguhnya kamu rasakan dan berakhir memendamnya.
Diam tidak selalu emas. Selain tidak baik bagi kesehatan mental, mengesampingkan dan memendam apa yang sebenarnya dirasakan berarti melanggar hakmu sendiri. Jika orang lain sampai berjibaku memperjuangkan hak mereka, mengapa kamu sampai melupakan hakmu dengan tidak jujur pada diri sendiri?
Tapi seperti yang sudah disebutkan di atas, menjadi asertif tidak sama dengan agresif. Ada teknik-teknik tertentu untuk mengkomunikasikan sesuatu secara asertif tanpa mengabaikan fakta bahwa setiap orang sama-sama cenderung memiliki kebutuhan untuk diterima. Berikut beberapa tips untuk bisa menjadi asertif dengan tetap menghargai keinginan, pendapat, atau kebutuhan orang lain.
1. Selalu Awali dengan Tanggapan Positif terhadap Permintaan/Pendapat yang Diterima
Menyampaikan penolakan atau ketidaksetujuan tidak melulu harus disampaikan straight to the point. Terkadang hal seperti itu bisa membuat lawan bicaramu tersinggung. Cobalah untuk menghargai permintaan dan pernyataan orang lain dengan terlebih dulu memberikan tanggapan secara positif. Misalnya: ‘Aku senang sekali kamu mengajakku pergi. Tapi beberapa pekerjaan harus diselesaikan malam ini. Bagaimana dengan besok?’, atau ‘Pendapatmu bagus sekali. Tapi aku punya pendapat lain yang agak berbeda. Mau mencoba mendiskusikannya?’. Upaya seperti ini dapat mempertegas bahwa kamu tidak sama sekali bermaksud mementingkan kebutuhanmu sendiri.
2. Menyampaikan secara Jelas Apa yang Kamu Inginkan
Rasa tidak enak hati boleh jadi membuatmu sulit mengungkapkan. Apa yang sudah ada di ujung lidah, berakhir tidak terungkapkan secara jelas. Ini saatnya kamu berlatih menyampaikan keinginan yang sesungguhnya tanpa menimbulkan salah paham. Tidak perlu sungkan mengulanginya juga jika lawan bicaramu belum menangkap maksudnya.
3. Menawarkan Solusi
Ketika perbedaan keinginan dan kebutuhan bertemu, tentu harus ada solusi. Kamu bisa menjadi orang pertama yang menawarkan solusi misalnya dengan berkata: ‘Supaya kamu bisa lebih leluasa bercerita dan aku bisa menanggapi dengan baik, bagaimana dengan nanti malam saat kita sama-sama senggang?’, atau, ‘Kamu menginginkan A sedangkan aku B. Bagaimana kalau kita membicarakan kelebihan dan kekurangannya dulu sebelum memutuskan?’.
Menolak bukan berarti tidak peduli. Tidak setuju bukan berarti keras kepala. Selalu ada perbedaan di antara keinginan dan kebutuhan masing-masing orang. Demikian pula, dengan hak untuk mengkomunikasikannya. Berempati kepada orang lain tidak berarti selalu mengorbankan diri sendiri dan menempatkan diri menjadi ‘yang kedua’. Ingatlah, bahwa dirimu juga punya hak untuk didengarkan.
Referensi: