Teruntuk tuan beralis segitiga,
Selamat hari terakhir di bulan Februari.
Tak kusebut tanggal terakhir karena itu milik 29. Memang sekarang bukan tanggal lahirmu. Tapi setidaknya, menghargai wanita hebat yang berjuang menunjukkan dunia kepadamu 23 tahun yang lalu adalah perlu.
Selamat menjejaki usia yang tak lagi muda. Ya, uban di kepala dan keriput di keningmu sudah mulai menunjukkannya.
Semoga kau mendewasa sebagaimana mestinya. Dihampiri rezeki yang tak lupa kau syukuri. Dihadiahi kesehatan yang kerap kau abaikan dengan malas makan atau berpetualang malam jika marah membelenggu. Makanlah yang banyak supaya kau kuat.
Hanya doa-doaku yang sekiranya dapat menyentuhmu. Teruslah melaju, raih apapun yang ingin kau tuju.
Kelak, kuharap kau tahu kemana sebaiknya bahagiamu berlabuh, meski bukan aku..
*mintalah sesuatu sebagai hadiahmu, tapi tentu bukan secangkir teh yang tak kau minum dulu
Dari aku,
Yang gemar mencubitmu
***
“Bodoh!!!” ucapku kesal setelah kubaca kembali surat yang pernah kutulis satu tahun lalu. Aaaaarghhh..
BRUKK.. kujatuhkan badanku ke kasur. Aku telungkup, dengan wajah tepat di atas bantal. Badanku lemas, menangis terisak hingga dadaku mulai sesak. Masa lalu yang selama ini aku pendam kembali menyeruak..
Namanya Abiyoga. Laki-laki bertubuh tinggi, beralis tebal segitiga dengan jenggot kecil di bawah bibir yang menambah pesonanya. Parfum segar sedikit manis dan suaranya yang khas, selalu membuatku mudah menemukannya di kerumunan manusia.
Berlebihan? Tentu tidak. Karena tidak ada yang benar-benar cukup untuk seorang yang jatuh cinta.
***
“Ndut? Bangun. Udah sore..” Ibu membangunkanku. Tangannya menepuk nepuk telapak kakiku seperti biasa.
“iyaa bu” aku menyahut tanpa menoleh. Habis sudah aku diledek ibu jika ketahuan mataku sembab begini. Cukup badanku saja yang gendut, mataku jangan. Maka tetap kupertahankan posisiku.
Ibu satu satunya orang yang mengetahui betul bagaimana perasaanku. Terlebih hubunganku dengan Yoga. Yang harus kandas karena restu orang tuanya tak kunjung jatuh di tangan kami berdua. Ibu Yoga menjodohkannya dengan wanita yang sudah lama dikenal oleh keluarganya. Cantik, langsing, juga mulus putih. Gadis itu tak lain adalah mantan pacar Yoga.
***
“Eh, ada Letisha..” Yoga tersenyum ketika berpapasan denganku di tempat kerja. “Hayuk pulang” tangannya mencoba meraih tanganku yang hanya menatap membatu.
“Enggak ah, nanti aja pulangnya. Belum selesai.” Aku menyahut seraya menarik tanganku. Yoga adalah seorang yang keras kepala. Sudah berkali kali ia berhasil menarikku pulang. Namun kali ini aku harus menang.
“Kok gak mau ikut pulang ke rumah sih?” matanya menatapku sambil tertawa.
(Matanya.. Senyumnya.. aku kuat aku kuat)
“Takut dimarahin ah, galak”. aku menjawabnya sambil tertawa cekikikan.
Yoga menepuk bahuku. “Kamu semangat kerjanya ya”.
Aku hanya mengangguk. Tercium aroma parfum yang sangat aku rindukan. Parfum pria yang pernah berjarak satu hembusan nafas dariku, Pria yang yang pernah mendekapku tanpa jeda. Juga pria yang pernah membuatku menjadi wanita yang paling tak berharga karena dilepas begitu saja.
Yoga berlalu. Berjalan menunduk. Dia mengerti maksudku. Bukan atasan baruku yang galak. tetapi.. ah sudahlah.
Yoga masih saja tak berubah. Menginginkanku tetap ada di hidupnya meskipun sekarang statusnya sudah bertunangan. Aku mengetahuinya dari foto yang diupload Tina kemarin. Cincin pertunangannya.
Yoga.. Kamu brengsek!!!!!
Memintaku untuk menggenggam jemarimu yang telah kau ikat dengan cincin Tina.
***
02:00
Keringat bercucuran. Kini air mata pun mulai jatuh. Tuhan.. Kenapa harus Yoga lagi?
Entah ini mimpi yang keberapa di malam ini.
“tingtong”. Ponselku berdering. Ada pesan masuk. Mataku terbelalak. Yoga.
“Kangen kamu, ndut. Kangen kita yang dulu. Aku masih sayang kamu.”
“Kangen? Kamu udah tunangan Yoga. Please… Hargai aku sebagai wanita. Aku gak mau disebut sebagai perusak hubungan kau sama Tina LAGI” aku membalas.
“Kamu tahu ini kemauan ibu aku kan? Aku maunya sama kamu. Aku gak tau bisa kuat sampai kapan. Aku malu sama diri aku sendiri. Aku terlalu pengecut buat pertahanin kamu. Ibu suka sama Tina, perhatian sama ibu, Tina lihai ambil hati ibu aku. Ini semua salah aku. Gak pernah ajak kamu ke rumah. Aku menyesal gak pernah kenalin kamu sama ibu sebelum Tina datang lagi. Maafin aku ndut.”
“Ajak aku ke rumah? Bahkan baru lihat foto aku pun aku udah ditolak Yogaaaaaaaaaaaa”
Aku menangis sejadi-jadinya. Ibunya memang menolakku sejak melihat fotoku di handphone Yoga. Beliau tidak ingin anaknya jatuh di pelukan wanita selain Tina. Mungkin aku memang tidak sebanding dengan Yoga. Namun yang sangat mengecewakan adalah, saat Yoga mengiyakan perjodohan itu.
Mungkin Yoga lupa, aku yang selama setahun ini menunggu, ibunya menjanjikan akan merestui hubungan kami jika sudah satu tahun selepas hubungannya berakhir dengan Tina. Namun, begitu Tina datang kembali aku dilempar begitu saja.
Yogaaa.. Yogaaaaa.. Kau pasti tahu ibumu adalah wanita yang sudah pasti tidak ingin kusaingi posisinya. Kamu tahu itu Yoga. Maka saat itu aku memilih pergi.
Tapi kenapa? Kenapa sikapmu seolah ingin menarikku kembali?
Kumatikan handphoneku. Berharap aku bisa tidur dan beristirahat.
Rasanya badanku sudah hampi remuk karena memikirkan hal ini terus menerus tapi tak kunjung mendapat jawaban.
***
“KRING!! KRING!! KRING!!” Alarmku berdering. Sesegera mungkin kubanting ke lantai kamar hingga pecah. Aku tak mau beranjak dari kasur hari ini. Aku tidak enak badan. Atau, hatiku mungkin?
Ibu masuk ke kamar. Tanpa mengetuk, tanpa bicara. Disentuhnya dengan lembut tanganku. Sontak aku bangun dan memeluknya dengan erat.
“Bu.. Tisha lelah”
“Kamu masih sayang nak?”
“Entahlah bu, sayang dan benci rasanya sudah diciptakan untuk selalu bersisian. Seperti uang logam.”
“Kenapa tidak kamu terima Awan saja nak? Dia sangat menyayangi kamu. Menyayangi keluargamu, bukan hanya keluarganya.”
“Tisha ingin sekali bu membuat rem agar tidak jatuh pada peluk Yoga lagi. Tapi Tisha sadar, rem tidak akan berfungsi jika Tisha tidak ingin menggunakannya. Kasihan Awan. Awan laki-laki yang sangat baik”
“Jawabannya hanya kamu yang tahu nak” Ibu berbisik di telingaku. “Ikhlaskan saja yang sudah terjadi. Jangan iri, jangan dendam”.
Ibu berjalan menuju pintu kamarku. Raut mukanya memperlihatkan ia kecewa dengan sikap Yoga dan keluarganya.
“Bu?” Aku menghentikan langkahnya. “Kenapa dulu ayah mempertahankan ibu saat keluarganya menolaknya?”
“Ayahmu sadar segala yang akan ia jalani nantinya adalah demi kebahagiaannya. Baik buruk ayahmu yang merasakannya.”
Aku hanya terdiam menatap Ibu. Yoga memang tidak sepemberani ayah. Mungkin jika ayah masih hidup, beliau akan menghajar pria yang telah membuat putri semata wayangnya menangis.
“Menurut ibu, apakah aku tidak pantas hingga ditolak?”
“Nak.. Ibu mendidikmu sejak kecil bukan untuk diterima tanpa ditolak. melainkan untuk menerima dirimu sendiri di saat yang lain menolaknya. Kau punya pilihan, kau punya tujuan. Berjalanlah dengan yang beriringan, dan tinggalkan yang bertolak belakang.
Bukankah begitu seharusnya bahagia berjalan?”
Ibu tersenyum keluar dari kamar.
Ibu selalu benar.
Namaku Letisha. Artinya bahagia. Lalu kenapa aku harus menolak untuk bahagia.
Ibu Yoga benar, aku memang tidak pantas untuk anaknya. Aku pantas untuk mendapatkn yang lebih dari anaknya.
Kunyalakan handphoneku lalu kukirim pesan kepada Yoga.
“I think fight for you is the answer.
But now I understand that let you go is the answer too
So tell me, why I should stay?
I didn’t lose you. You lost me.
Bye, Yoga.”
Letisha