Mungkin hidup ini sebenarnya hanyalah persoalan sudut pandang. Hidup, sebenarnya lebih banyak berlangsung di dalam otak kita, dan di dalamnya kita sibuk untuk memilih dan memilah sudut pandang apa yang kita pakai untuk memaknai situasi hidup kita. Ketika kita menjadi pelaku dari sebuah situasi, maka kita tentu saja menjadi memiliki sudut pandang pelaku, karena kitalah yang merasakan, memikirkan dan melakukan. Ketika kita melihat sebuah situasi yang melibatkan orang lain, dua orang, tiga orang, sekelompok orang, atau antar kelompok, maka kita bisa memilih untuk memiliki sudut pandang pelaku atau sudut pandang pemirsa. Ketika memilih memiliki sudut pandang pelaku dalam sebuah situasi sosial yang melibatkan orang lain, maka kita akan memunculkan keberpihakan, memihak kepada diri kita sendiri, atau kelompok yang kita terlibat, sangat jarang kita memilih untuk berpihak kepada pihak diluar diri atau kelompok kita, bisa jadi itulah yang disebut subyektifitas. Tetapi, ketika kita memilih untuk memiliki sudut pandang pemirsa, maka pilihan ini akan mendorong kita untuk melihat kedua belah pihak, sementara kita sendiri tidak berpihak (atau berpihak sebagai pemirsa), kita akan melihat kebaikan dan kekurangan pihak yang satu dan kelebihan dan kekurangan pihak yang lain. Mungkin itu yang disebut sebagai obyektifitas.

Sudut pandang dalam dunia tulis menulis biasanya diaktivasi dengan penggunaan kata ganti personal, kata ganti orang pertama, orang kedua atau orang ketiga. Ketika menggunakan kata ganti orang pertama, maka pengarang menyatu dengan si Aku dalam cerita, yang menjadi pelaku dalam lakon yang ditulis oleh pengarang. Maka, teknik ini akan membuat pengarang dan pembaca secara bersama-sama ikut merasakan, memikirkan, melakukan apa yang dirasakan, dipikirkan dan dilakukan si Aku dalam cerita. Inilah yang disebut immersed perspective sudut pandang pelaku. Sebaliknya, ketika digunakan kata ganti orang kedua atau ketiga biasanya dilakukan dengan menyebut nama tokoh, atau kata ganti dia, maka pengarang dan pembaca akan memiliki distanced perspective atau sudut pandang pengamat, yang mengamati perasaan, pemikiran dan perilaku si tokoh dalam cerita dalam jarak tertentu.

Tahukah Anda, ternyata teknik ini akan mempengaruhi proses-proses psikologis pengarang dan juga pembacanya? Ya, immersed perspective akan mendorong pembaca untuk lebih berempati pada si tokoh, sebab pembaca seolah-olah menjadi dia yang merasakan, memikirkan dan melakukan segala sesuatu yang ada dalam cerita. Oleh sebab itu, jika si pengarang sangat pandai dalam teknik berbahasa, maka pembaca akan larut dalam bacaan, sedihnya si tokoh adalah sedihnya pembaca, bahagianya si tokoh adalah bahagianya pembaca, dan seterusnya, apalagi jika ternyata si pembaca memiliki pengalaman yang mirip dengan tokoh dalam cerita. Kedekatan dan keterlibatan menyebabkan pembaca menjadi lebih empatik.

Hal ini berbeda dengan sudut pandang orang ketiga, dengan jarak tertentu pembaca diajak untuk memiliki jarak dari si tokoh. Pembaca menjadi pengamat, yang mengamati apa yang dirasakan, dipikirkan dan dilakukan si tokoh. Pembaca menjadi lebih obyektif ketika membaca bagaimana tokoh-tokoh dalam cerita merasakan, memikirkan sebuah situasi, atau berperilaku tertentu dalam menghadapi situasi. Jarak, menyebabkan pembaca (baca:kita) menjadi lihat obyektif.

Berempati dan bersikap obyektif, adalah ketrampilan mental yang menurut saya sangat penting untuk kehidupan. Sebab begitu banyak kesalah-pahaman, salah persepsi, miscommunication, hingga menjadi kekerasan dan konflik antar individu, kelompok, bahkan antar bangsa, disebabkan karena tidak adanya ketrampilan mental ini. Terlibat dan atau menjadi penonton adalah perilaku yang bisa kita pilih untuk mengasah ketrampilan mental ini. Misalnya, terlibat dalam sebuah aktivitas keagamaan, berarti kita terlibat, menyetujui dan mengikuti nilai-nilainya, tetapi sekaligus pula sebenarnya kita sedang mengasah empati kita, serta lebur (immersed) dalam nilai-nilainya, apakah ada sisi gelap dari keterlibatan? Menurut saya: Ada. Sisi gelap keterlibatan (involment, immersed) adalah subyektifitas, konformitas, in-groupout-group behavior, merasa kelompoknya benar dan kelompok diluar kelompoknya salah, sulit untuk melihat obyektifitas. Sebaliknya, menjaga jarak sebagai pengamat akan mengizinkan kita secara melihat kedua belah pihak, dengan lebih obyektif. Seperti ketika kita melihat sebuah situasi dari ketinggian.

Ide ini yang saat ini sedang sehari-hari saya pikirkan selama berbulan-bulan mengerjakan proposal disertasi, apakah ketika kita bisa melihat diri kita sendiri dari ketinggian, sehingga kita akan dapat melihat kehidupan yang berlangsung di dalam kepala kita secara lebih obyektif?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *