Promise
Aku tak begitu mengenal cinta. Aku buta akan cinta. Aku ragu jika itu nyata. Aku adalah Intan. Orang bilang cinta adalah hal yang terindah yang pernah dialami oleh manusia seumur hidupnya. Namun mereka tak pernah dapat menjawab pertanyaanku kenapa mereka rela jatuh terlebih dahulu untuk mencinta. Cinta adalah hal yang aku takuti. Aku tak pernah bilang jika cinta itu tak pernah ada dalam diriku. Namun aku hanya terlalu takut untuk mengakuinya. Seperti dosa yang kutak ingin orang lain yang mengetahuinya. Cinta yang kurasakan akan selalu tertutupi oleh payung hati dan perasaan takutku.
Dara, adalah sahabatku dari diriku masih di bangku taman kanak-kanak hingga saat ini. Aku belajar banyak dari dirinya. Kepribadiannya yang kuanggap baik, ia yang kuanggap seperti kakakku sendiri. Aku tak terlahir kedalam keluarga yang mampu membelikanku baju baru setiap bulannya. Bukan juga terlahir dari keluarga yang hangat dan erat. Aku selalu merasa sendirian dikeramaian rumahku. Dara adalah pelepas sepiku, pelepas rasa jenuhku. Saat duniaku mulai menggelap, ia datang menyinari hariku seakan seorang pahlawan berjubah gagah perkasa yang datang untuk menyelamatkan hari. Meski tak terikat dengan hubungan darah ataupun saudara, Dara adalah orang yang selalu dapat membuatku tersenyum, membuatku berani berjalan didunia ini. Ia adalah Dara, sahabatku.
Aku memang tak pernah merasakan cinta hangat didalam keluarga sederhana dimana ku lahir. Mungkin karena itulah aku merasa miskin akan cinta. Buta akan arti dan makna kasih sayang. Dara mengajarkanku itu semua. Ia menunjukan kepadaku apa itu kasih sayang dan cinta. Kami bersahabat akan selalu mengasihi satu sama lain. Tak ada yang dapat memisahkan persahabatan kita. Itu yang selalu kami bilang sambil mengikatkan kelingking tangan kami. Kupercayai semua itu. Kupercaya semua yang dikatakan sahabatku yang telah memberikanku banyak hal indah tersebut.
Dara mengajarkanku bagaimana caranya mencinta dan bagaimana agar diriku dapat dicintai dengan cara yang menawan. Seperti remaja umur 17 tahun pada umumnya, timbul sebuah rasa yang menggelitik hati ini. Sesak dadaku menahannya. Tak kuasa ku menahan getaran kecil ini yang mulai menggejolak. Namun tak mampu pula diriku membuka jubah yang menyelimuti perasaanku ini. Ini kah cinta? Sudahkan diriku jatuh kedalam lubang cinta? Tempat banyak orang yang tersakiti karenanya? Seperti biasa Dara akan berada disampingku layaknya seorang sahabat yang baik yang selalu menemani suka maupun duka. Ia menuntunku melewati cobaan ini. Ia mengajariku agar tak terjatuh dalam permainan perasaanku sendiri. Bagaimana agar setiap pemuda berparas tampan,yang sering kutemui di perpustakaan ketika aku sedang membaca wajahnya yang sedang menatap bukunya yang sesekali ia meletakkan jarinya untuk menahan kacamatanya yang ia pakai agar nyaman ia membaca itu, aku tidak langsung menjadi diam seribu bahasa dan juga agar wajahku tak memucat dihadapannya.
Entah apapun itu yang dikatakan oleh Dara, hatiku masih tak bisa setenang dan damai seperti damainya pagi. Hati ini justru makin bergejolak merasakan gejolak perasaan seperti ombak pasang dilautan yang siap melahap apapun tak peduli yang memasuki jangkauannya. Dara terus menerorku dengan pertanyaannya mengenai lelaki mana yang dapat membuat otakku penuh dengan imej wajahnya itu. Namun akupun tak dapat memberitahu siapa dia karena akupun tak tahu siapa namanya dan hanya bertemu di satu kelas mata kuliah. Itulah mengapa kelas Sosiologi hari Senin jam 8.00 hingga 10.00 adalah kelas paling indah untukku. Walaupun aku benci untuk bangun dipagi hari dan tidak dapt menyimak kuliah di kelas itu, namun aku dapat setidakya melihat belakang kepalanya dari kejauhan.
Aku dapat menghindar dari masalah apapun didunia ini bahkan terhindar dari serangan anak-anak yang lari-larian di depan gang kostanku. Namun satu yang tak terelakkan oleh takdir ialah pertanyaan Dara mengenai pria dihatiku ini. Ia terus menanyai dan menyuruhku untuk memberanikan diriku untuk berkenalan dengan dirinya. Entah mengapa Dara sangat bersemangat melihat wajahku memerah. Hampir 2 bulan ku kagumi dirinya. Ia dapat dibilang sebagai salah satu murid teladan dikelas Sosiologi. Aku juga sering mengikuti dirinya di perpustakaan. Aku terus memandangi dirinya selama ia membaca buku yang ia baca di perpustakaan setiap harinya. Aku pun mulai menghapal kontur wajahnya yang memiliki hidung agak mancung dengan tahi lalat dipipi kanannya itu.
Hari demi hari berlalu tak terasa sudah waktunya aku memasuki Semester genap. Babak kedua dari delapan babak yang harus kulalui pada masa perkuliahan. Babak baru, baju baru, kelas baru, teman baru , dan tentunya dengan semangat baru. Terlebih lagi ketika aku mengetahui aku akan sekelas dengan pria pengguncang hatiku itu. Ya memang aku sama sekali belum pernah sekalipun dalam kehidupanku ini berbicara dengannya, bahkan aku tak mengetahui namanya.
Waktu itu hari pertama kelas mata kuliah Psikologi Sosial hari Rabu jam 13.00. Dosen kami memberikan kami tugas besar untuk kami kerjakan dalam berkelompok. Entah berapa banyak kucing hitam yang kulihat pada hari itu, aku sekelompok dengan Asep. Asep adalah anak yang baik yang sekolah di kampusku datang merantau dari negeri Cimahi. Semua orang menyukai sikapnya dan sifat kepemimpinannya dalam kelas. Namun, semua orang sependapat bahwa Asep memiliki bau badan yang dapat tercium hingga ke negeri Cina. Tetapi seperti kata orang bijak, “Pasti akan selalu ada garis perak di gelapnya awan mendung”. Walaupun aku harus duduk bersebelahan dengan Asep ketika mengerjakan tugas kelompok saat itu, tapi aku dapat lebih sering lagi melihat Andi, nama lelaki yang berhasil mencuri hatiku. Sungguh bahagianya diriku melebihi bahagia pelaut yang melihat daratan setelah terkoyak-koyak ganasnya ombak lautan. Hatiku lega setelah mengetahui jika aku tidak harus berkenalan secara langsung dengannya. Namun tetap saja ada perasaan yang mengganjal dihatiku karena aku belum dapat mengungkapkan perasaanku kepadanya.
Dan lagi-lagi Dara menerorku lagi dengan pertanyaan-pertanyaannya. Tak tahan aku rasanya ingin mencekik lehernya. Akhirnya akupun memberi tahu semua yang aku tahu mengenai Andi. Dara langsung bersemangat kegirangan seperti Dora bertemu dengan Boots. Dara terus mendorongku untuk sekali lagi berkenalan dengannya. Karena aku hampir muak akan dorongan Dara The Explorer, akupun memberanikan diriku untuk berkenalan dengan dirinya dan meminta nomor smartphone-nya layaknya semua remaja yang ingin melakukan PDKT ketika dimasa jaya mereka.
Beberapa hari kemudian aku menghampiri Dara selesai kuliah. Dia mengolok-olok mukaku yang memerah dan tanganku yang memegang kertas dengan bergemetar. Ya aku berhasil meminta nomor hp Andi, walaupun mukaku pantas untuk diolok-olok, tetapi hati ini sungguh senang rasanya. Aku merasa seperti dapat menaklukkan dunia karena bahagia.
Hari berlalu, hariku berlalu dengan semakin indah dan berwarna. Seperti biasa Andi menjemputku setelah jam pulang kuliah untuk pergi kerja kelompok. Bahagianya hati ini sampai membuat mukaku memerah. Setiap kami belajar bersama untuk mengerjakan tugas kelompok, tatapanku seolah terkunci pada wajah tampannya. Aku terpana ketika ia sedang berbicara ketika kami berdiskusi. Jujur, aku justru tak banyak membantu kelompok ketika kita seharusnya saling berdiskusi. Tatapanku hanya fokus kepada Andi seorang. Aku harus mengerahkan otakku untuk dapat mencerna informasi yang mengalir disekitarku. Keindahan pemandangan seorang Andi yang sangat tampan yang menggetarkan hatiku, mendengarkan anggota kelompok berdiskusi, dan tentunya menahan nafasku agar aku tidak pingsan akibat wangi badan Asep yang harum mengharumi seluruh ruangan.
Lama kelamaan aku semakin dekat dengan Andi. Tak jarang kami berdua berdiskusi berdua menghabiskan waktu makan siang di kampus. Dia juga sesekali mengantarkanku ke tempat kostku. Dan yang paling membahagiakan hatiku ialah bahwa pada akhir pecan kali ini, Andi mengajakku pergi untuk makan malam di café. Tentunya diriku langsung menyiapkan baju terbaik yang ada di lemari kotorku untuk persiapan hari itu. Namun itu sama sekali tidak membantu karena minimnya pengalaman kencanku yang hanya membuat diriku semakin pusing tujuh keliling.
Hari yang dinanti itupun tiba. Andi dengan gagahnya memjemputku didepan gerbang kost layaknya kesatria berkuda besi. Ia datang menjemputku yang hanya memakai kaos lengkap dengan jaket yang biasa kupakai ke kampus. Namun buruknya penampilanku tak mampu menghapus senyum di pipinya. Aku pun tersipu malu melihat senyumannya. Pada saat makan malam kamisejenak melupakan perihal mengenai perkuliahan. Kami berbincang mngenai hobi kita, impian, dan cita-cita kita. Kita juga berbincang mengenai pasangan kita. Lebih tepatnya pasangan Andi sebelumnya. Aku tak dapat berkata apa-apa ketika ia bertanya tentang apakah ada lelaki yang kusuka. Ingin didalam hati ini mengutarakan apa yang aku rasa. Namun aku tak mampu mengeluarkan itu semua karena malu. Tapi didalam hatiku berbisik jika Andi sudah mengetahui tentang perasaanku yang sesungguhnya.
Minggu demi minggu, bulan demi bulanpun berlalu. Hubunganku dengan Andi makin dekat. Hampir setiap waktu diluar perkuliahan kami habiskan bersama. Namun ada satu hari yang akan selalu kuingat. Aku melihat Andi sedang berjalan dan bercanda dengan wanita lain. Aku merasa mengenali wanita itu. Perlhan terus kutatap punggung kepala wanita itu, hingga disatu saat ia menoleh kebelakang dan aku melihat wajahnya. Ternyata ia adalah Dara, Dara sahabat masa kecilku. Ia yang selalu menanyai bagaimana perkembangan hubunganku dengan Andi, selalu menyemangati diriku untuk berkenalan dan mengenal Andi, apakah semua ini hanyalah agar ia dapat lebih dekat dengan Andi? Apakah ia hanya menggunakanku sebagai alat saja? Kulontarkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada diriku sendiri. Aku tak ingin mengambil keputusan terlalu dini dan meneror diriku sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi tentunya akupun tak bodoh dan akan diam beribu bahasa dan hanya menganggap semua informasi yang masuk melewati indra penglihatanku tak pernah terjadi. Aku berusaha untuk tak tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan dan memilih menunggu.
Ingin kusegera melepaskan sesak didada ini. Akhirnya ku busungkan dada dan menghampiri Dara yang sedang duduk di selasar kampus. Kuhampiri dirinya dan kusentuh inderanya dengan pertanyaan yang kuajukan dengan lembut. Tapi tentunya aku sudah mengira jika ia akan mengelak pertanyaanku ini. Aku tetap terus membujuk dirinya untuk mengaku dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi ia justru berbalik memarahiku. Namun takdir baik tak membiarkan diriku terbohongi. Andi datang sesaat Dara melontarkan amarahnya. Andi datang menagih janji Dara yang mengajaknya pergi setelah kuliah pada hari itu. Dara tersipu seakan tak tahu harus berbuat apa. Sekujur tubuhku juga tak dapat kugerakkan seakan waktu telah terhenti dan disitulah akhirku. Temanku sendiri menghianatiku. Teman yang telah memberi cintanya kepadaku, ia yang menghianatiku adalah orang yang pertama kali memberikan cinta kepada diriku. Jantungku terasa sakit tak sanggup kumenahan getaran tanganku. Aku menoleh dan memutar tubuhku memunggungi mereka dan berjalan menjauh. Dara bahkan tak memanggil namaku, hanya suara Andi yang terdengar semakin kecil memanggil namaku ketika aku berjalan menjauh.
Suara dering handphoneku terdengar sepanjang petang itu. Sudah 27 kali suara dering handphoneku sendiri kudengar. Dan aku tak tahu berapa banyak pesan yang masuk yang tak kuhiraukan. Cukup kuarahkan bola mataku kearah layar handphoneku untuk mengetahui jika Dara mencoba untuk menghubungiku. Sejak hari itu, aku tidak pernah berbicara lagi dengan Dara. Aku bahkan harus menjauh dan tidak menghiraukan Andi. Sudah 4 hari aku tak masuk kuliah. Tak ada penyakit yang menempel di tubuhku. Hanya perasaanku ini yang terus menggerogoti. Hari kelima setelah terakhir kali aku pergi kuliah, akhirnya kesunyian mulai terasa membosankan. Akupun memutuskan untuk pergi kuliah dihari itu. Rupanya aku masih terlalu banyak melihat kucing hitam milik tetangga kostku. Di hari aku masuk kuliah itu, aku tak sengaja melihat Andi sedang bergandengan tangan dengan Dara sembari berjalan menuju kelas. Setelah kupelajari dari teman yang lain, ternyata Andi dan Dara sudah resmi berpacaran kemarin lusa. Aku tak terkejut, ataupun merasa sedih dan ingin menangis ketika aku mendengar kabar itu. Aku tak mungkin melupakan Dara yang telah menghianatiku dan andi yang juga hanya membiarkanku. Keduanya telah menyakiti hatiku. Namun kurasa hati ini tahu jika kampus bukanlah tempat yang tepat untuk melepaskan segala perasaan yang kurasakan ini. Aku tahu di sore itu ketika aku hendak pulang Dara melihat diriku berdiri sendirian. Bahkan sebetulnya kedua mata kita sempat bertemu selama beberapa detik dari kejauhan. Terlihat olehku tatapan seorang sahabat yang merasa bersalah. Aku hanya menatap matanya dengan kosong dan kusisipkan senyum sebelumku berjalan pergi.
Lagi, lagi, dan lagi kulontarkan pertanyaan kepada diri ini. Apa itu cinta? Dan sudahkan aku jatuh kedalamnya? Mampukah aku berdiri setelah ini? Aku tak tahu jika memang ada cinta untukku didunia ini. Jika ada, kemana perginya semua keindahan yang semua orang miliki itu? Apakah tak tersisa lagi untukku? Apa aku memang ditakdirkan untuk lahir didunia ini untuk mencari cinta yang tak pernah ada? Sahabtku yang mengajariku cinta menghianatiku dan pergi dengan seorang yang kuanggap sebagai cinta sejatiku. Apakah cinta hanya berarti melihat kepergian orang yang kusayang? Aku terus melontarkan pertanyaan itu kediriku sendiri sembari mengusapkan air mataku.
Kuingat pagi itu ketika kubangun dalam kesendirian dan kesunyian pagi. Pagi itu terasa lebih dingin dari jahatnya kesendirian malam yang pernah kualami. Dara mengetuk pintu kamarku sambil mengumandangkan namaku. Bodohnya diriku membukakan pintu kamarku dan membiarkan dirinya masuk. Ia datang untuk meminta maaf kepada diriku. Ia merasa menyesal namun dirinya tak memungkiri jika ia telah menghianati dan hanya mendengarkan ceritaku tentang Andi agar ia dapat menyelinap dan menusukku dari belakangku. Ia juga mengucap kata yang tak mampu kupahami. “aku benar-benar mencintai Andi. Namun aku datang kesini karena aku juga sayang sama kamu dan kuatir sama kamu” seperti itulah tutur kalimat yang ia beri kepadaku. Cinta dan maaf. Rasanya ini bukan pertama kali ini kedua kata itu kudengar bersampingan. Aku berkata padanya “kamu taukan kalo aku cinta sama Andi?” ia hanya membalas dengan kalimat “ya aku tahu”. “ya, aku hanya memastikan kalo kamu tau apa yang kamu lakuin. Lanjutin aja hubungan kalian. Gak usah hirauin aku. Aku gak akan ganggu kalian lagi. Aku yang minta maaf karena aku udah ngasih kamu kepercayaan aku. Aku kecewa sama kamu yang hianatin aku. Setelah bertahun-tahun kita bersama berjanji akan jadi teman setia, kamu yang nusuk aku dari belakang. Maaf, dan terimakasih Ra” aku membalas perkataanya sembari meneteskanbeberapa tetes air mata. Aku tak tahan melihat wajahnya saat itu, ingin rasanya kutumpahkan dendam dan amarah ini kepadanya. Namun, aku tidak bisa melakukan sesuatu hal yang memang harusnya tidak pernah kulakukan. Akupun menyuruh Dara untuk pergi dari kamarku dan pulang. Ia berusaha menahan diriku namun itu tetap percuma. Aku ingin terlelap dalam kesendirianku ini lebih dalam hingga kulupa akan kejamnya dunia ini yang tak membiarkan ku mencicipi rasanya cinta.
Hariku berlalu dengan lebih banyak kesedihan. Aku sungguh dibutakan oleh kepercayaan akan indahnya cinta. Aku hanya bisa fokus dalam urusan perkuliahanku ini. Aku terus berkuliah belajar dengan giat hingga aku tak jarang merasa keletihan. Namun semua keringat itu tidaklah menjadi beban pikiranku sama sekali. Semua itu karena hasil yang kudapat dari semua usahaku dapat dibilang tidak terlalu buruk. Nilaiku meningkat pesat dari sebelumnya. Dengan melihat nilaiku akupun merasa sedikit riang gembira melupakan sedikit beban kesedihan dipundakku. Tapi tetap saja, pemandangan Andi-Dara menjadi pemandangan yang paling kubenci di Kampus.
Tidak terasa tepat pada tanggal 16 Januari 20 tahun yang lalu aku lahir didunia ini. Biasanya hanya Dara yang ingat hari ulang tahunku. Namun, mengingat hubungan kami berdua, tidak mungkin ia datang ke rumah. Karena sekarang masa liburan aku dapat lebih bebas bermain dengan teman dan saudara dekat yang lain. Memang tidak banyak teman yang mengajakku main, tapi aku terus memberi kesan kepada diri sendiri jika aku akan merasa lebih baik setelah semua kesedihan di semester kemarin. Ini pun menjadi liburan pertamaku tanpa Dara datang kerumah. Akupun tidak dapat mengangkatkan kakiku untuk berjalan menuju rumahnya.
Seminggu kemudian waktunya masuk semester baru. Semester baru semangat baru. Tetap saja aku harus sekelas dengan Asep si “pengharum ruangan”. Ingin rasanya aku menyiram badannya kembang 7 rupa dari seluruh penjuru dunia agar hilang bau badannya.
Sepulang kuliah aku sempat terheran mengapa aku tidak melihat dara di hari itu. Padahal setidaknya aku pasti melihat wajahnya. Bahkan harusnya kita masuk dikelas yang sama hari itu. Setelah mencari info dengan bertanya ke Andi, tentu tidaklah mudah bertanya kepada Andi, namun aku merasa ada yang aneh dan merasa harus bertanya kepada Andi. Aku terkejut ketika aku bertanya mengenai keberadaan Dara, mata Andi berkaca dan mengajakku jalan menuju kantin. Ia berjalan sembari menutupi wajahnya dari pandanganku, sekilas aku melihatnya meneteskan air mata. Di kantin barulah ia membuka kedua bibirnya. Setelah menghela napas yang lumayan panjang, ia bercerita jika Dara telah tiada. Sejenak kupikir aku telah dibodohi oleh perkataannya. Aku hanya terdiam mempertanyakan kebenaran dengan bahasa mata. Aku terdiam cukup lama dengan mataku yang mulai berkaca dan menetesan air mata yang menggores pipiku. Andi terus berkisah jika Dara meninggal ketika liburan kemarin tepat tanggal 16 Januari. Andi bilang ia mengetahui jika itu adalah hari ulang tahun Intan. Namun ia tetap diam karena Dara merencanakan sebuah kejutan untuk Intan. Dara mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya ketika ia mengantarkan sebuah hadiah special untuk Intan. Andi rupanya membawa kotak yang seharusnya diberikan Dara kepada diriku. Ia memberikan kotak itu kepadaku. Aku sungguh tak percaya, ia membuat gelang persahabatan untuk diriku. Bentuknya persis seperti apa yang kubuat untuk dirinya di masa lampau. Dan juga sekotak makanan berisi cimol, jajanan murah favoritku. Namun dari semua isi kotak itu, aku sungguh tak mengira ia memberikanku sebuah baju. Baju itu ialah baju miliknya yang ia miliki dari kecil. Ia memakai baju itu dihari dimana kita berdua berjanji menjadi teman selama-lamanya.
Andi juga memberikanku sebuah surat. Tangan Andi tak kuasa menahan kesedihannya ketika ia memberikan surat itu yang terpampang darah Dara diatas lembaran surat tersebut. Di surat itu berkata jika Dara menyesal dan ia harusnya mengutamakn persahabatan kita berdua, ia membuat sendiri simol yang ia bawakan untukku dan memberikanku baju miliknya yang pernah ia pakai ketika kami membuat janji sucu persahabatan kami, smua itu sebagai tanda bagaimana ia sayang kepada diriku dan bangga terhadapku. Ia juga berkata jika dirinya mencintai Andi, namun ia berkata pada surat itu jika ia ingin aku sebgai pendamping Andi. Ia rela mengantarkan barang-barang itu dan sebuah surat kerumahku di hari ulang tahunku untuk hanya untuk bilang bahwa ia cinta, bahwa ia peduli kepadaku. Aku tak kuasa menahan air mataku ketika diriku melihat tinta hasil karya Dara itu.
Sejak saat itu aku dan Andi memang menjadi dekat. Dan sejak saat itu juga aku selalu menghampiri makam tempat Dara beristirahat. Aku selalu kesana untuk memanjatkan doa untuknya dan juga membacakan novel-novel favoritnya. Hanya itu yang dapat kuberi untuknya sekarang. Kepada sahabatku yang memberikan cintanya untukku. Dan kepada sahabat yang mempersatukanku dengan cinta sejatiku. Maafkan kemarahanku padamu sahabatku. Aku memaafkanmu. Akupun sayang dan cinta kepadamu. Aku tak mungkin menjadi lebih baik tanpa cinta dan kasih sayang yang kau beri.
Ku berjanji tak akan mengecewakanmu. Terima kasih, atas semua cinta yang kau beri kepadaku. Dara sahabatku.