Pilihan Hidup
Setengah jam lebih aku duduk bersama kekasihku. Tak ada yang ingin lebih dulu membuka pembicaraan. Kami hanya diam dengan pemikiran masing-masing. Terlebih aku memang menunggu Ayu yang memulai pembicaraan. Karena memang masalah hubunganku dengan Ayu kini masalah ada pada dirinya yang di karenakan keluarganya.
“Aku tidak yakin keluargaku akan bisa menerima kamu.” Keluh Ayu khawatir. Matanya sendu, banyak sekali ketakutan yang nampak dari matanya.
“Kenapa keluargamu sangat ingin kamu menikah dengan keluarga yang setara denganmu?”
“Karena mereka ingin hidupku bahagia dan juga berkecukupan.”
Aku semakin merasakan kekalahan saat mendengar Ayu mengucapkan hal itu. Bagaimana tidak, aku hanya anak dari keluarga yang menurutku sangat berbeda jauh dalam hal ekonomi jika di bandingkan dengan keluarga Ayu.
“Kenapa mempersulit seperti ini?”
“Aku tidak sulit menerima kamu. Yang menyulitkan saat ini keinginan keluargaku.”
“Lalu, aku sekarang harus bagaimana? Tidak mungkin aku bisa setara denganmu dalam waktu hanya dua bulan, bahkan satu tahun pun belum tentu bisa.”
Ayu menundukkan kepalanya. Mungkin dia pun punya pemikiran dan logika yang sama saat ini. Dan sepertinya dia pun menyadari, bahwa beberapa hal memang tak bisa di paksakan.
“Sudahlah. Lebih baik kita pulang dan kita bicarakan hal ini lagi nanti.” Pintanya.
Aku mengangguk setuju. Kemudian aku mengantarnya pulang dengan sepeda motor. Sepanjang perjalanan Ayu hanya diam tanpa bicara sedikit pun. Hingga sampai kerumah dia tetap tak bisa. Aku ingin menegurnya, tapi kuurungkan. Aku mencoba mengerti.
“Aku ingin bertemu keluargamu. Boleh?”
“Nanti saja. Sekarang kamu lebih baik pulang.”
Sudahlah. Mungkin Ayu memang ingin menenangkan dirinya saat ini. Jadi, aku tak perlu memaksanya untuk tidak menolak permintaanku.
***
Aku melirik jam tangan hitam di lengan kiriku. Pukul sembilan belas lewat tiga puluh menit. Artinya sudah satu jam lebih aku duduk menunggunya di kafe. Namun, Ayu belum juga datang. Tidak biasanya dia terlambat dan biasanya pun dia datang lebih dulu. Lalu, marah karena aku yang sering datang terlambat menemuinya.
Aroma kopi mengembang di udara. Sudah satu gelas kopi kuhabiskan. Ini adalah kopi gelas kedua yang masih hangat diantara barista beberapa saat lalu. Beberapakali aku menghubunginya, tak ada jawaban sama sekali. Walau aku tak melakukan hal yang menguras tenaga, semua orang pun tahu menunggu itu melelahkan.
Pengunjung kafe sudah cukup ramai. Beberapa orang wanita di sebelah kiri mejaku seperti sedang becanda riang. Dan di sebelah kananku ada sepasang kekasih sedang mengobrol pelan menikmati kebersamaan yang mungkin menurut mereka hal itu romantis.
Terdengar suara pintu kafe terbuka. Benar saja fillingku, Ayu datang. Saat aku melihatnya ada emosi yang ingin segera tersampaikan padanya. Tapi, lagi-lagi aku berusaha untuk menahannya karena tak ingin menambah masalah.
“Maaf aku sangat terlambat.” Ucapnya. Kemudian duduk.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti.” Aku tersenyum sambil mencoba meredamkan emosikan.
“Jujur. Mungkin ini akan berat untuk kita, Gus.” Ayu meraih tanganku. Aku merasa akan ada kabar buruk yang segera menimpaku.
“Kamu baru saja datang. Kenapa seperti terburu-buru. Tidak perlu memulai pembicaraan yang berat untuk di perbincangkan.”
“Tidak, Gus. Aku juga tidak ingin bicara panjang lebar.”
“Jadi?” tanyaku cemas.
“Aku minta maaf. Sebaiknya kamu mencari wanita lain yang merasa kamu pantas untuknya. Keluargaku meminta aku menikah dengan pria yang setara. Dan aku pikir mereka benar.”
Aku melepaskan tangannya dari tanganku. Aku tidak yakin tentang apa yang kudengar darinya.
“Kamu berhak marah bahkan benci sama aku. Kamu berhak berpikir apapun tentang aku. Asalkan kamu maafin aku. Ini sudah menjadi jalan hidup yang aku pilih. Dan sekali lagi aku mohon maaf.”
Ayu bangkit dari tempat duduknya. Lalu melangkah pergi meninggalkanku. Kedua kakiku seperti kaku tak bisa bergerak, padahal aku ingin sekali mencegahnya pergi begitu saja tanpa peduli seperti apa perasaanku saat ini.
“Jalan hidup yang kamu pilih” Aku tertawa seperti orang gila. Semua orang melihat dengan tatapan aneh kearahku. Aku tak mempedulikannya.
“Kalau kamu bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Aku juga bisa melakukan hal yang sama.”
Aku keluar dari kafe. Suasana malam berubah seperti gelap gulita. Aku tak bisa melihat apapun, semua pemandangan yang nampak di hadapanku semuanya seperti sebuah ilusi.
***
Musik mengalun yang kuputar dari handphone. Aku menyukai musik-musik berirama santai. Seperti musik gitar acustic dan piano atau perpaduan keduanya. Musik seperti yang membuat merasa kesedihan ini tidak menjadi bebanku sendiri. Masih banyak di luar sana yang mungkin mengalami hal yang sama, atau lebih buruk dari yang aku alami.
Kau harusnya memilih aku. Ada perasaan ngilu saat aku mendengar kalimat itu dari lagu Terry yang kuputar sekarang. Kalimat itu memang terlalu berlebihan bagi mereka yang tidak merasakan. Dan bagiku kalimat itu memang sudah seharusnya ada.
Musik terus mengalun. Satu persatu lagu berganti. Aku memejam mata memahami apa yang di sampaikan lagu tersebut. Banyak hal yang tidak menyenangkan dalam isi kepalaku. Bayangan pertengkaran sepasang kekasih; suara tangisan, airmata, juga kalimat-kalimat perpisahan yang mengiang di telingaku.
Untuk hari ini aku membenci hujan yang turun di kota ini. Ribuan rintik yang jatuh pada tanah seperti sebuah pemberitahuan langit bahwa ia pun ikut bersedih melihat sosok pria yang harus kehilangan kekasihnya karena sebuah keadaan.
“Aku minta maaf. Sebaiknya kamu mencari wanita lain yang merasa kamu pantas untuknya. Keluargaku meminta aku menikah dengan pria yang setara. Dan aku pikir mereka benar.”
Kalimat itu masih saja mengiang di telingaku. Aku benci pada diriku sendiri karena berkali-kali kalimat itu terucap kembali di otakku. Sejak saat itu aku mencari tempat menyendiri, tempat yang membuatku nyaman sendiri dan merasa jauh dari cinta. Akhirnya aku menemukan tempat ini, tempat yang berada di atas bukit dan ada sebuah gubuk kecil yang lama di tinggal penghuninya
“Pulanglah, Nak.” Terdengar suara seorang pria tua di belakangan tubuhku.
Aku membalikan tubuhku mengarah kepadanya.
“Sebentar, Pak. Saya masih merasa nyaman di tempat ini.” Ucapku. Lalu tersenyum.
“Jika kamu sedih. Lebih baik kamu pulang dan bertemu orang-orang yang menyayangimu di sana.” Kata pria tua itu sambil menepuk pundakku pelan.
Pria tua itu bernama Haliman. Dia satu-satunya orang yang sering menemaniku di tempat ini. Meski aku lebih sering sendiri karena dia menemaniku hanya beberapa saat saja. Sesekali dia membawakanku secangkir kopi untuk menikmati keindahan sore hari hingga senja dan berganti malam.
“Saya pulang juga percuma, Pak. Di sana saya tetap merasa sendiri. Kedua orangtua saya sibuk bekerja dari pagi hingga malam. Lebih baik saya di sini menikmati pemandangan alam bebas.”
Pak Haliman hanya tersenyum. Aku pun membalas senyumannya. Saat itu aku bisa menutupi kegelisahanku padanya. Barangkali jika dia seorang Psikologi, dia bisa membaca pikiranku yang sedang porak poranda.
***
Suasana rumah masih gelap. Sudah seperti hari-hari biasanya pukul delapan malam kedua orangtuaku belum pulang bekerja. Bahkan di hari libur pun mereka tetap sibuk bekerja. Sejak kecil aku beradaptasi dengan keadaan seperti saat ini yang membuatku merasa bebas melakukan apapun karena kedua orangtuaku pun tidak akan peduli. Apalagi di usiaku yang sudah mendekati usia dewasa.
Kondisi rumah pun seperti tidak terurus. Tak ada peran seorang Ibu sebagai Ibu rumah tangga yang mengurus rumah. Aku seperti hidup sendiri, tak ada suara tegas seorang Ayah yang memarahiku saat pulang terlalu larut malam.
Aku masuk kedalam kamar. Melakukan kebiasaanku meminum minuman beralkohol menenangkan pikiran hingga aku tertidur dengan sendirinya karena mabuk. Sebelumnya aku tak menyukai minuman beralkohol, ini semua karena Ayu. Karena dia dan rasa kecewa yang di buatnya yang membuatku berpikir hidup ini tidak seharusnya terlalu banyak hal yang di jaga dan menghindarinya. Karena seperti apapun hidup yang ter jaga, semua akan berakhir pada hal yang tidak pernah indah.
“Jalan hidup.” Tubuhku lemas. Pikiranku kacau berantakan. Aku mabuk berat.
***
Siang hari yang cerah. Cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela kamar membias wajahku yang masih pucat sisa mabuk semalam. Kepalaku masih terasa pusing, pandanganku belum sepenuhnya normal.
Terdengar suara ponselku berdering. aku mencari posisi ponselku, aku sama sekali tak ingat di mana aku meletakkannya.
“Ketemu.” Di layar ponselku bertulisankan nama Desi. Aku menerima panggilannya.
“Agustian. kamu di mana?” tanya Yoga suaranya terdengar sedikit seperti orang panik.
“Dirumah. aku baru bangun tidur. Kenapa?”
“Satu minggu lagi Ayu akan menikah. Aku dengar kabar dari teman-temanku.”
Aku mengakhiri telepon dari Desi. Bangun tidur yang tidak menyenangkan. Seharusnya ada hal yang membuatku bersamangat memulai hari. Bukan hal yang membuatku merasa ingin segera mengakhiri hari dan hidup.
Hari ini aku meyakinkan pada diriku sendiri. Cukuplah dari kedua orangtua saja aku merasakan kehilangan kasih sayang. Hal itu saja sudah cukup menyakitkan untuk hidupku. Dia sudah menentukan jalan hidup pilihannya, dan akupun harus segera melakukan hal yang sama agar hidupku tak lagi merasakan hal yang menyakitkan berulang-ulang.
***
Banyak orang berkumpul di pemakaman umum. Aku memerhatikannya dari kejauhan. Semua orang yang berada di tempat itu memakai baju berwarna hitam dan di iringi irama-irama tangisan kehilangan seseorang yang di sayanginya.
Aku ingin mendekat dan menyakisakan pemakaman itu perempuan itu. Perempuan itu, Ayu. Wanita yang sangat aku sayangi sepenuh hati.
Semalam, Ayu mengembuskan nafasnya yang terakhir. Ia keracunan makanan yang memang sudah biasa di siapkan di dalam kamarnya setiap malam. Sebelum itu Ayah, Ibu dan beberapa anggota keluarganya membawa ia kerumah sakit. Dokter langsung memberikan pertolongan sebisa mungkin, namun tak bisa menolong nyawa Ayu karena racun di dalam tubuhnya sudah melumpukan hampir semua aliran darah dan sarafnya. Pembantu yang sudah bekerja selama dua puluh tahun di tunduh ceroboh memilih bahan makanan, pembantu itupun malam itu di usir secara paksa.
Kini, jarakku sangat dekat dengan kuburan Ayu. Aku menangis sedih melihat sosok perempuan yang sangat aku sayangi, kini hendak di timbun tanah. Beberapa orang dari keluarganya melihat ke arahku, karena mereka tahu aku adalah mantan kekasih Ayu yang sangat mencintainya. Aku tak peduli seperti apapun pandangan mereka kepadaku, saat itu aku hanya ingin melihat wanita yang kucintai untuk terakhir kalinya.
Jantungku berdegub lebih kencang. Rasa takut mulai memenuhi isi otakku. Seandainya mereka tahu yang memberikan racun pada makanan di rumahnya adalah aku. Mungkin saat ini mereka semua akan membunuhku di tempat ini.
Aku menyapu airmata yang semakin deras mengalir di pipi.
Maafkan aku. Seandainya aku tidak bisa memilikimu. Orang lain pun tidak akan aku biarkan mendapatkan hatimu. Aku hanya ingin menyadarkan mereka yang sangat menyayangimu agar mengetahui seperti apa rasanya kehilangan seseorang yang sangat mereka sayangi, seperti aku saat kehilangan kamu. Ucapku dalam hati.
Aku tersenyum dalam topeng berwajah sedih. Kali ini aku yang akan mengatakan beberapa kalimat yang saat itu seperti pisau yang menusuk tubuhku sangat dalam.
Kamu berhak marah bahkan benci sama aku. Kamu berhak berpikir apapun tentang aku. Asalkan kamu maafin aku. Ini sudah menjadi jalan hidup yang aku pilih. Dan sekali lagi aku mohon maaf.
Dan kamu akhirnya menyadari. Ini pun sudah menjadi jalan hidupku. Terimakasih, karenamu Ayu, kini aku bisa mengerti caranya menentukan jalan hidupku sendiri. Hari ini kita impas.