Kehidupan dunia maya khususnya media sosial sudah seperti punya rodanya tersendiri. Sejumlah isu dan tren bisa dengan mudah merebak lantas mengundang respon dan opini para pengguna. Meski mungkin tak saling kenal, warganet bisa membentuk dan tergabung dalam kubu-kubu untuk menanggapi suatu isu atau tren.
Orang bisa berbondong-bondong membela korban kekerasan yang speak up di media sosial dan bersama-sama memviralkan kasus agar segera ditangani sebagaimana mestinya. Di saat yang sama, ada pula yang membela pelaku dengan alasan adanya asas praduga tak bersalah. Di antaranya, tak sedikit yang menentukan di mana akan berpihak dengan cara mengikuti opini orang lain, alih-alih menilai masalahnya itu sendiri. Sadar maupun tidak, pilihan orang lain mempengaruhi pilihan diri sendiri. Inilah, yang disebut dengan konformitas.
Teori Konformitas
Konformitas adalah kecenderungan individu untuk menyesuaikan sikap, kepercayaan, dan perilaku dengan orang-orang di sekitarnya. Termasuk di dalamnya menyuarakan pendapat yang sama, juga mengikuti tren yang dilakukan oleh mayoritas orang, khususnya orang-orang di kelompok tempatnya tergabung atau ingin dianggap tergabung. Konformitas merupakan bagian dari teori pengaruh sosial (social influence theory), yaitu ketika orang-orang secara timbal balik saling mempengaruhi opini dan perilaku satu sama lain.
Seseorang bisa terlibat dalam konformitas kelompok karena dua alasan; karena hal tersebut sesuai dengan apa yang diterima atau dianggap baik oleh mayoritas orang, atau karena memang hal itu sesuai dan menjadi bukti akan apa yang terjadi pada kenyataannya. Terlibat dalam konformitas, khususnya karena alasan yang pertama, ialah bagian dari keinginan manusia untuk diterima—sebuah insting mendasar kebanyakan orang.
Saat ini di waktu ketika teknologi telah menjadi bagian dari aktivitas manusia sehari-hari dalam berinteraksi dengan orang lain, konformitas juga ditemukan di dunia maya. Terutama, pada platform di mana interaksi dapat dilakukan dengan mudah seperti media sosial Instagram, Twitter, Facebook, dan lain-lain.
Konformitas di Media Sosial
Menurut social impact theory, konformitas bergantung kepada seberapa kuat, cepat, dan banyaknya jumlah orang yang mempengaruhi. Dalam riset yang dilakukan Neubaum dkk. (2016) pada pengguna Facebook, jumlah like, share, sekaligus seperti apa komentar-komentar yang muncul untuk sebuah konten akan mempengaruhi bagaimana pengguna Facebook lainnya akan bereaksi atau mengambil tindakan terhadap konten tersebut.
Ada suatu pandangan umum bahwa jika sesuatu dilakukan oleh kebanyakan orang, maka hal tersebut adalah benar. Ini dinamakan bukti sosial (social proof). Banyaknya jumlah like, share, dan komentar seperti pada penelitian tersebut menggambarkan bagaimana bukti sosial (social proof) mendorong seseorang untuk ‘ikut-ikutan’. Entah ikut menyuarakan pendapat tertentu akan suatu isu, memihak suatu kubu dalam sebuah pertikaian, hingga mengikuti beragam tren. Ini merupakan salah satu contoh rupa konformitas di media sosial.
Tentunya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konformitas sejatinya bukan termasuk hal yang dapat dikatakan bersifat positif maupun negatif. Namun, positif-negatif dari konformitas tergantung kepada berbagai aspek seperti alasan yang ada di baliknya, atau dampak yang ditimbulkannya. Jika sewaktu-waktu warganet mem-bully seseorang karena suatu hal yang belum pasti kebenarannya, apakah sudah menjadi pilihan yang tepat untuk ikut-ikutan mem-bully orang itu? Lagi-lagi, perlu kebijaksanaan masing-masing individu dalam memilih untuk terlibat dalam suatu tren atau opini publik di ruang maya atau tidak.
Agar tidak sembarangan menyamakan pendapat dengan mayoritas, memihak, atau mengikuti tren, cobalah untuk:
- Berpikir sebelum bertindak
- Menimbang plus dan minus suatu hal sebelum menentukan pilihan
- Melakukan cross-check terhadapinformasi yang beredar
- Menggunakan empati dalam memandang masalah
- Banyak-banyak berefleksi pada kejadian-kejadian masa lampau
Karena media sosial bisa jadi memiliki pengaruh yang tak diduga-duga, berpikir sebelum terlibat dalam konformitas di media sosial juga bagian dari bijak bermedia sosial. Kita tidak tahu hal apa yang menunggu di belakang sebagai akibat dari pilihan saat ini. Jadi, tetap hati-hati membuat pilihan, ya!
Referensi:
Neubaum, G., Rosner, L., Ganster, T., Hambach, K., & Kramer, N. C. (2016). United in the name of justice: How conformity processes in social media may influence online vigilantism. Psycgology of Popular Media Culture, 1-33.