Mengapa pembaca bertahan membaca sebuah cerita? Ya sebagian besar akan menjawab, karena penasaran. Bagaimana menghadirkan dan mempertahankan rasa penasaran pembaca? Dengan meramu konflik yang bagus. Ya! Tidak cukup menciptakan konflik yang bagus tetapi juga meramunya,. Meramu konfik dalam alur cerita itu berarti, tahu kapan menempatkan konflik sehingga ketegangan meningkat dan tahu kapan meredakannya, tahu menahan konflik agar tidak terjawab, dan tahu kapan mengakhiri konflik. Jadi, pertama menciptakan, kedua mengelolanya.
Apa itu Konflik?
Konflik adalah sebuah keadaan ketidakseimbangan. Apakah yang tidak seimbang? Bisa dari faktor internal –internal kita, bisa faktor internal-eksternal. Konflik antar faktor internal-internal adalah digambarkan dengan bagus oleh bapak psikologi analisa, Sigmund Freud (baca: Saimen Froid) teorinya tentang psike yang terbagi menjadi tiga: Id, Ego dan Superego adalah akan membantu pengarang untuk menulis konflik internal si tokoh. Dalam teori Psikoanalisis, Freud mengatakan Id adalah semua hasrat (dorongan, motif, keinginan) yang harus dituntaskan seperti lapar, haus, kebutuhan sex, dan semua keinginan ragawi. Sedangkan Superego adalah norma, seharusnya begini, seharusnya begitu. Id selalu berkonflik dengan superego, dan ego adalah penyeimbangnya, mungkin ia akan menuruti ego dengan konsideran atau argumentasi yang bisa diterima oleh superego. Contohnya adalah: “Lapar sekali nih!” kata Id. Lalu superego akan mengatakan, “Kamu sedang berpuasa,” selanjutnya ego akan memberikan konsideran, “Nantilah dua jam lagi magrib, kamu akan bebas makan sepuasnya”.
Lapaar nih!” kata Id, Superego berkata, “Kamu kan sedang diet!” , maka Ego akan mengatakan, “makan sedikit tidak apa coba, hitung dulu kalorinya” demikian seterusnya, berlangsung dalam setiap menit
di kepala kita. Psikolog lain selain Freud juga banyak membahas konflik, tetapi untuk konflik internal, psikoanalisis adalah teori yang menurut saya paling menarik untuk menjelaskan konflik motif-motif internal. Jangan lupa, Freud memiliki teori bagus yang seringkali dikritisi oleh para pembencinya, yakni keyakinannya bahwa dorongan manusia hanya ada dua: sex dan agresi.
Konflik menjadi lebih seru ketika konflik internal berseteru dengan konflik eksternal. Keinginan personal berkelahi dengan aturan sosial. Misalnya, contoh paling seru adalah poligami, laki-laki sebagaimana dorongan alamiahnya maka akan senang dikitari oleh lawan jenisnya, maka ketika ada kesempatan untuk berpoligami, boleh jadi kesempatan tersebut akan diambil. Mula pertama akan terjadi konflik internal terlebih dahulu, Id dan superego. Mereka berdua akan bertanya jawab, dengan seru. Lalu, ketika sudah dikonfirmasi solusinya oleh Ego, menjadi konflik sosial, karena sudah ada pihak lain yang dilibatkan. Sang istri juga akan mengalami konflik internal terlebih dahulu. Konflik internal sang istri, jika ia beragama Islam dia akan berkonflik tentang nilai-nilai agama yang diyakininya, dengan nilai-nilai Id-nya sebagai perempuan, campuran emosi di dalam Id (soal emosi akan saya tuliskan kemudian) akan menambah dramatis perkelahian batin si istri. Jika nilai-nilai agamanya separuh-separuh (tidak menyeluruh, belum solid, belum kaffah), maka waktu yang dibutuhkan ego untuk menengahi perseteruan Id dan Superego akan lebih lama, dan dramatis. Konflik akan semakin melebar, ketika bertambah sosial. Sebab boleh jadi tidak lagi konflik interpersonal (suami-istri) tetapi menjadi konflik intergroup (keluarga suami vs keluarga istri). Seru!!
Apakah manusia bisa solid, menyeluruh, koheren, kaffah? Belum, kemanusiawiannya dalam proses untuk menuju solid. Dan, keadaan alamiah manusia yang tidak sempurna inilah yang akan menjadi sumber paling besar dari konflik. Sumber paling menyenangkan dari pengarang yang membutuhkan konteks konflik untuk ditulis.
Seorang pengarang yang piawai, akan mampu menuliskan konflik-konflik internal maupun eksternal dengan sangat baik. Dan pembaca akan terus membaca, karena konflik tidak segera diselesaikan namun, ditambah, di twist, di dramatisasi dan luka konflik bisa saja dibiarkan terbuka di akhir cerita. Lalu pembaca akan memaknainya secara sendiri. Merenung, luka.
Bagaimana seorang penulis menginternalisasi pengalaman yang mungkin tidak secara langsung dialaminya. Penjiwaan terhadap tulisan yang dibangun terutama konflik bisa dialami sendiri, atau pun tidak. Pengalaman nyata tentu akan menambah pengetahuan tasit (tacit knowledge) si pengarang, tetapi bisa saja pengalaman ini diimpor dari membaca teks yang lain. (Lain kali, akan kita bahas bagaimana para pengarang menjiwai tulisan-tulisannya)
Jadi. Jika Anda ingin menjadi penulis yang handal, kuasailah bagaimana menuliskan konflik yang dramatis. Pembaca sesungguhnya sedang mencari teman dengan membaca tulisan Anda. Sebab mungkin ia memiliki konflik yang sama, dan mencari solusi atau pemaknaannya dari tulisan Anda. Bagaimana seorang pengarang menginternalisasi konflik dengan baik?
Baca di tulisan selanjutnya ya!!
Selamat bersenang-senang dengan konflik!