Bumi dan Ranna sebenarnya adalah pasangan suami istri yang harmonis. Apalagi kisah cinta mereka tidak terlalu rumit. Lewat perjodohan yang ditentukan keluarga kedua belah pihak, keduanya tidak menolak malah kalau boleh dibilang terkesan pasrah. Hah…. Benar pasrah, tepatnya. Aku sendiri kagum dengan sahabatku itu. Rannasary kelihatannya bahagia, menikmati perkawinannya. Rannasary, seorang guru sekolah dasar yang lembut dan periang. Sementara Bumi bekerja di sebuah perusahaan koveksi milik keluarganya. Profesi mereka memang bertolak belakang tetapi mereka tetap menikmati. Dan semenjak mereka memiliki Divo, semua semakin lebih baik. Berdua bagai pasangan yang tidak dapat dipisahkan.

Tetapi sejak lima bulan belakangan ini, yaitu sejak terungkapnya hubungan Mas Bumi dan Tya, hubungan Ranna dan Bumi jadi mundur setapak demi setapak. Bahkan Bumi tidak lagi peduli dengan Divo. Sebenarnya perubahan itu sangat drastis. Sungguh aku tak mengerti. Suatu hari Ranna bicara padaku begitu serius.

“Cerai, Zor!” Ujar Ranna serius.

Aku hapal betul kapan dia serius kapan dia main-main. Aku coba mengatur air mukaku agar tetap tenang. Aku tidak boleh memperlihatkan atau ikut-ikutan gelisah bahkan stress.

“Tolong, Rann! Kamu pikirkan lagi.. Demi Divo, Rann!! Anak itu masih membutuhkan figur ayahnya. Usianya baru tiga tahun. Sebagai guru harusnya kamu paham betul apa arti seorang ayah baginya. Nggak penting hatimu… perasaanmu… atau apalah itu… Ingat anakmu!” kataku panjang lebar. Ranna menangis memelukku sangat erat dan aku ikut-ikutan terbawa perasaan.

Menangis….! Hal yang paling tidak bisa kubendung. Maklum aku perempuan yang super cengeng.

“Rann, aku yakin kamu bisa bertahan demi Divo. Bukankah kamu masih sangat mencintai suamimu?” kataku kembali menenangkan sahabatku itu. Ranna menurut, dia mengusap matanya dengan tissue berkali-kali. Mukanya merah padam, aku buru-buru ke meja makan.

Bi Mia menyapaku pelan, “kenapa Bu?”

“Udah gausah kepo bi!” bisikku pelan sambil menuangkan air putih ke gelas dan segera kuserahkan untuk sahabatku itu.

“Kamu tunggu disini, biar aku yang jemput Divo. Toh, TKnya tidak jauh dari sini. Siswa PAUD biasanya pulang lebih awal. Kalau kamu mau makan, makanlah! Bi Mia sudah siapin tuh.” Kataku dengan suara sedikit parau.

Segera aku keluarkan Revo milikku satu-satunya.

Tidak seperti Ranna kehidupanku bersama Mas Eza lebih sederhana. Suamiku cuma bendahara sebuah Rumah Sakit. Yang penting kami saling percaya, pengertian dan yang paling utama bahagia.

Beberapa menit kemudian sampailah aku di TK Divo. Bocah ganteng itu sudah senyum-senyum menatapku sambil menanyakan mama tercintanya. Aku buru-buru menggendongnya dan menaikkannya ke atas motorku. Kujelaskan kalau mamanya ada dirumahku. Dia sangat senang. Senyum yang tersungging di bibrnya membuatku gemas.

“Pegangan tante yang kuat ya sayang.” Kataku sedikit berteriak diantara selal-sela deru motor.

Divo paling senang naik motor. Kalau sudah begitu pasti dia akan teriak “gojek… gojek…” dengan keras.

Suatu hari dia melihat acara televisi soal gojek, makanya dia menangis minta naik gojek. Selama ini kemana-mana dia pakai mobil diantar pak supir. Namanya juga anak-anak.

Sesampai di rumah, Divo berlari sambil bereteriak memanggil mamanya. Ranna menyambutnya dengan mata masih kelihatan sembab. Ranna memeluk putra semata wayangnya dengan sangat erat sampai bocah tiga tahun itu kesulitan untuk bernafas. Divo terbatuk sesaat.

Di belakang muncul Dwina, mukanya berseri-seri menatapku.

“Ada apa sayang?” tanyaku penasaran.

“Nilai Deklamasi Sembilan puluh delapan Maa!” serunya senang sambil mencium tanganku.

“Oh ya?! Pandainya Putri Mama….” Kataku sambil memberi kecupan dikeningnya.

Usia Dwina berbeda lima tahun dengan Divo. Dwina sudah duduk di kelas empat sekolah dasar tempatku mengajar. Divo menghampiri dwina dan mengajaknya bermain. Kulihat air muka Ranna sudah mulai bisa menerima kegelisahan hatinya. Ranna yang kukenal adalah Ranna yang tegar. Ranna yang tidak pernah menyerah dengan keadaan.

Siang itu Ranna dan Divo pulang dengan muka ceria. Ranna bertekad akan membuang keluh kesahnya.

“Hhh.. Syukur deh” pikirku.

***

Dua tahun sudah Ranna hidup dengan dunianya sendiri. Bahkan kedua orang tuanya dan mertuanya tidak tahu menahu soal kericuhan rumah tangganya. Dan memang Ranna selalu menjaga keharmonisan di depan mereka. Apapun yang menderanya, Ranna sebisa mungkin akan menjaga ketentraman hati di rumahnya. Dia berjanji tidak akan membuka masalah keluarga kecilnya. Tapi aku menyesalkan tindakan Ranna, kenapa Dia sampai ikut-ikutan selingkuh? Aku bertanya dalam kebisuan. Apalagi selingkuhnya itu dengan pemilik sekolah tempat kami berdua mengajar. Bisa berabe kalau sampai skandal ini terbongkar.

Ranna sudah tidak peduli lagi dengan perlakuan suaminya. Lagipula Bumi dan Ranna sudah bersepakat untuk tidak mengganggu privasi masing-masing. It’s getting more complicated. Tetapi aku tidak menyalahkan sikap Ranna. Karena Ranna baru mengetahui borok Bumi, Suaminya. Ternyata dibalik kemudahan perjodohan tujuh tahun lalu sungguh menyakitkan ditimpakan kepadanya. Betapa tidak, Bumi bukanlah suami yang ikhlas dengan perkawinannya. Bumi mengkhianati janji suci pernikahannya sendiri yang diucapkan didepan keluarga besarnya. Bahkan di depan Almarhum Papa Ranna. Aku menganggap Mas Bumi selama ini sebagai suami yang ideal, suami yang mencintai istrinya apa adanya. Ternyata hal itu cuma ada di sinetron-sinetron saja. Aku benar-benar kaget setelah mendengar panjang lebar kicauan ranna.

Entah Tya atau siapa nama wanita idaman Mas Bumi itu. Yang jelas dan pasti, wanita itu cinta pertama Mas Bumi yang lama menghilang. Wanita pujaan hati Mas Bumi sempat menghilang tanpa jejak sampai-sampai Mas bumi patah hati dan depresi. Dan ketika wanita itu muncul, mas Bumi bak kebakaran jenggot. Cintanya yang sempat pupus, kini bersemi kembali. Karuan saja bahkan sampai mabuk kepayang. Mas Bumi sudah dibutakan oleh cinta yang datang terlambat. Bahkan parahnya, Mas Bumi tidak malu-malu lagi drama percintaannya diumbar di depan Ranna. Ranna pun tidak peduli lagi. Dia bahkan lebih gila, pemilik sekolah dipacari olehnya. Ranna.. Ranna.. Semoga Allah mengerti apa yang kamu dan suamimu perbuat.

Perkawinan dianggap main-main semata. Tidak! Tidak! Aku tidak ingin melakukan hal sebodoh itu.

Dan Divo, belakangan ini lebih banyak tinggal bersamaku. Mamanya sibuk berkencan rahasia dengan Pak Bambang, Sang Pemilik Sekolah. Cinta kedua pasangan itu tidak sepatutnya ada. Cinta terlarang! Jangan mentang-mentang masih cantik, enerjik dan tampan terus mereka seenaknya sendiri. Kita hidup dilangit yang sama dengan segudang aturan tertulis ataupun tidak.

Cinta Ranna dan pemilik sekolah sudah sangat dalam. Terkadang aku sedih melihat perbuatan sahabatku ini. Bahkan aku malu dengan diriku yang sama-sama perempuan. Terutama kepada Ibu Anita, Istri dari pemilik sekolah, aku tidak sanggup lagi menutupi rasa malu ku ini.

“Ada apa dengan kamu, Rann?” tanyaku di Kafe tempat Aku dan Ranna janjian siang ini.

“Menurutmu ada apa?” Ranna balik bertanya membuat mataku sedikit terbelalak. Aku diam sebentar sambil memesan makanan untuk Aku dan Ranna. Kami memesan Kue Cubit Green Tea setengah matang dengan topping Nuttela dan Spaghetti. Pengennya sih Mie Ayam, tetapi disini ga ada mie kayak gitu. Di ujung jalan ini mungkin ada.

“Rann, Divo butuh kamu. Ditengah tidurnya, Dia selalu mengigau. Mama… Mama… Mama.. dan Mama…” celetukku menyadarkan Ranna.

“Kamu keberatan dengan Divo, Zora?” tanyanya membuatku terkejut. Tak kusangka Ranna akan menanyakan hal itu. Baik Aku atau Suamiku, kami sangat menyayangi Divo bahkan kalau ranna mengizinkan kami mau mengurus Divo dengan senang hati. Bahkan sampai yang tidak ditentukan. Kehadiran Divo adalah kebahagiaan untuk Dwina, Aku dan Suamiku. Betapa tidak! Rahimku sudah diangkat. Itu artinya aku sudah tidak punya harapan untuk punya anak laki-laki.

“Rann, Aku tidak percaya kamu menanyakan itu. Tentu saja Aku senang Divo ada bersamaku. Kamu kan tahu apa yang telah aku alami tiga tahun lalu?! Aku tidak mau Divo Kamu ambil. Percayalah Divo tidak kekurangan apa-apa bersamaku. Dwina sangat menyayanginya. Baiklah, Aku tidak akan komentar apa-apa soal kamu,” kataku agar sedikit ketakutan.

Aku harus menjaga perasaan Ranna agar Divo tidak diambil, Aku sudah merasa nyaman dengan kehadiran Divo. Keluargaku sangat-sangat menyayangi Divo. Semoga Allah mengampuni dosaku. Harusnya aku selalu mengingatkan sahabatku itu dan berusaha mendekatkan kasih sayang Divo dengan mamanya. Merampas dan menjauhkan Divo dari kedua orang tuanya sangat salah sekali. Aliran kasih sayang antara iu dan anak, serta kasih sayang antara anak dan ayah janganlh di putuskan oleh egoisme kedua orang tuanya hanya karena dibutakan oleh cinta kasih. Allah memberikan cinta kasih secara alamiah tetapi tidak berarti merampas hak anak untuk mendapat perhatian dan cinta kasih.

Mulai sekarang aku akan diam, walaupun aku sangat takut bia sewaktu-waktu bom waktu di kepala Ranna dan Bumi meledak. Dor! Ledakannya akan mengotori ke segala arah. Itu berarti aku pun patut di persalahkan. Terus bagaimana aku menghadapi masalah ini. Entahlah! Untuk sekarang aku akan mengunci rapat-rapat ujung kepalaku. Agar tidak ada kesalahan sama sekali. Aku tidak ingin ledakannya membakar hati semuanya, terutama Divo. Diusianya yang ke lima tahun, Divo sudah mampu merekam semua yang dia alami dan tidak seharusnya angan-angannya yang entah bagaimana dikotori oleh perbuatan orang tuanya.

***

Sore itu Bu Anita, kulihat termenung di Halaman Rumahnya yang masih satu wilayah dengan Komplek Sekolah miliknya. Ada beberapa tukang kebun yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku menyusuri jalan depan rumahnya sambil mendorong motorku yang kehabisan bensin. Tiba-tiba Bu Anita memanggilku, spontan ku belokkan motorku ke dalam rumah besarnya. Halaman Rumahnya sangat asri dan begitu cantik dengan tanaman-tanaman hias. Aku suka tatanan taman ini. Elegan.

“Assalammualaikum Bu Anita,” sapaku lembut. Ku lempar senyum termanisku untuknya. Ibu Anita, seorang perempuan yang berwibawa. Di balik balutan kerudungnya wanita separuh baya ini tampak anggun dan cantik. Aku cemburu dengan penampilannya. Walaupun Aku sendiri perempuan muslim yang berhijab.

“Waalaykumsalam, Bu Zora kenapa motornya?”

Sambil tersenyum simpul Aku menjawab, “Ini bensinnya habis, Bu!”.

“Oh, begitu. Bu Zora… Bisa temani Saya minum teh sebentar, kebetulan saya juga ada perlu dengan Ibu.” pintanya dengan sangat. Senyumnya hangat. Siapa saja yang berbicara dan berhadapan dengannya pasti terhipnotis dengannya.

Aku mengangguk mengiyakan.

“Ibu Zora”, katanya sambil menghidangkan teh hangat dan cemilan.

“Ya Bu Anita. Ada apa?” jawabku.

“Saya ingin membicarakan perihal hubungan Bapak dengan Ibu Ranna,” katanya kemudian.

Aku terdiam sambil menelan ludah.

Kegelisahanku mulai muncul. Yang ku khawatirkan benar-benar terjadi. Kalau bicara soal Ranna aku merasa tidak pantas diajak tukar pikiran. Bukan hakku sebenarnya.

“Eeee…. Eeeh… Itu Bu,” jawabku gugup. Aku semakin bingung harus bicara apa.

“Maaf Bu. Kali ini Ibu cukup mendengarkan saja cerita Saya. Jadi begini Bu sebenarnya, Saya sudah menyetujui kalau memang Bapak berniat serius dengan Bu Ranna. Bahkan Saya sangat mendukung hubungan Bapak dan Bu Ranna. Bahkan Ibu sudah tau kalau Bapak berencana akan menikahi Bu Ranna,” jelas Bu Anita. Lagi-lagi aku terkejut dengan yang dikatakan oleh Bu Anita.

“Ibu, Ranna belum bercerai bahkan keluarganya dari kedua belah pihak belum ada yang tahu masalah hancurnya rumah tangga mereka. Mereka komitmen tidak membongkar masalah ini. Divo sudah hampir dua tahun dititipkan pada saya. Semua urusan dari soal makan sampai urusan sekolah saya yang handle. Saya tidak bisa melihat anak sekecil Divo hanya diurus oleh seorang asisten rumah tangga. Ranna dilemma dengan rumah tangganya.” kataku panjang lebar. Sepertinya Ibu Anita berfikir keras dengan masalah yang aku lontarkan.

“Maaf Bu. Kenapa Ibu malah setuju dengan hubungan Bapak Bambang dengan Ranna? Tidakkah Ibu sakit hati dan merasa dikhianati dengan bapak?” tanyaku memberanikan diri. Tampak Ibu Anita tersenyum. Aku tidak mengerti arti senyum beliau. Tampaknya beliau tidak ada beban sedikitpun, sama persis dengan Ranna. Ranna sangat menikmati perselingkuhannya. Aneh! Aku tidak mengerti.

“Bu Zora kenal Iqbal kan?” tanya Bu Zahra dengan senyum ramah yang masih mengembang diwajah cantiknya.

“Ya tentu saja Bu. Lalu ada apa dengan mas Iqbal?” tanyaku keheranan.

Bu Anita menghela nafas dalam-dalam sebelum membuat jantungku benar-benar jantungan.

“Iqbal bukan anak kandung saya.” celetuk Bu Anita mengagetkanku. Selama ini rahasianya terbungkus rapi. Tidak pernah ada isu atau gossip kalau Iqbal bukan anak kandung Ibu Anita.

“Ibu Zora! Ibu Zora! Kok bengong? Ibu harus tahu setelah dua puluh tahun baru Ibu yang saya beri tahu masalah ini. Saya mempunyai masalah dengan Rahim saya. Saya Mandul Bu. Kemudian saya adopsi Iqbal. Karena saya ingin sekali merasakan seperti wanita lain yang mempunyai anak. Yang mengurus dan membesarkan anaknya.” ungkap Ibu Anita.

“Lalu hubungannya Ranna dengan Iqbal apa ya Bu?”

‘Sederhana saja Bu. Saya ingin bapak memiliki anak kandung, keturunannya sendiri. Walau itu dari wanita lain. Untuk itu saya bersedia dimadu oleh Bapak.”

“Maaf Bu. Tetapi Saya tidak bisa membantu keinginan Ibu Anita. Semuanya terserah Ranna, sahabatku. Jadi alangkah lebih baiknya kalau Ibu bicara langsung dengan Ranna.” Kataku sambil meminta maaf.

***

Sebulan kemudian Aku mendengar dari Ranna sendiri kalau Bumi sudah menikah siri dengan Tya. Ranna memutuskan untuk berbicara dengan keluarga besarnya dan juga keluarga besar suaminya. Semuanya sudah tidak bisa terkendali lagi. Apalagi Divo bertambah dekat denganku. Aku takut semakin lama aku semakin tidak bisa melepaskan kedekatan keluargaku dengan Divo. Masalah akan bertambah semakin rumit. Belum lagi ada perseteruan antara Ranna dan Bumi. Sungguh, hanya waktu yang dibutuhkan untuk menjawab segala tanya yang hadir dari pahitnya kenyataan.

Dering handphone membuyarkan lamunanku. Kulihat layar handphoneku dan Ranna yang menelepon.

“Assalamualaikum Rann. Tidak biasanya kamu meneleponku. Ada apa Rann? Apa kamu rindu pada Divo? Dia semalam memanggil-manggil namamu lagi Rann. Dia benar-benar merindukanmu.” tegasku. Aku harus memberikan Ranna kesempatan untuk berbicara.

“Ya Zora. Aku juga merindukan Divo. Zora.. Ada yang harus kukatakan padamu. Aku minta maaf karena selama ini aku terlalu egois. Aku tidak memikirkan perasaan kamu, perasaan Divo, perasaan Ibuku. Zora… Akhirnya masalah ini selesai.. Aku sudah memutuskan untuk bercerai dari Mas Bumi. Lalu Ibu dan Mertuaku setuju. Aku minta maaf karena selama ini secara tidak langsung aku telah membuatmu terlibat dengan masalahku. Terima kasih sudah membantu aku dalam melewati masalahku ini. Terutama dalam merawat Divo.” Suara Ranna agak parau. Dia mulai menangis, suaranya bisa ku tangkap.

Aku hanya bisa diam mendengarkan cerita Ranna.

“Aku sudah lelah dengan semua penderitaan ini Zora. Penderitaan yang seharusnya tidak pernah ada dalam hidupku kalau dari awal aku bisa tegas mengambil sikap untuk bercerai dari Mas Bumi. Aku mungkin tidak akan tersakiti oleh sikapnya Mas Bumi. Salahku karena selama ini Aku masih berharap kalau rumah tanggaku akan baik-baik saja dan suatu saat Mas Bumi akan berubah. Salahku yang semakin memperkeruh keadaan dengan ikut-ikutan selingkuh dengan Pak Bambang. Salahku yang menganggap bahwa kebahagiaan orang tuaku dan mertuaku adalah dengan melihat pernikahan kami baik-baik saja walaupun kami berdua sama-sama tidak bahagia, membohongi mereka dan bahkan kami membohongi diri kami sendiri.” Lanjut Ranna sambil menangis.

“Sudahlah, Rann. Kita bersahabat bukan sehari dua hari tetapi sudah sejak kecil. Jadi tenanglah. Aku ikut senang masalahmu sudah selesai. Semoga masalah ini menjadikan kamu lebih bijaksana lagi dalam bertindak dan mengambil keputusan. Aku selalu berharap kebahagiaanmu. itu sudah lebih dari cuup membuatku bahagia, Rann.” Jawabku dan kemudian terdengar bunyi bip dari handphoneku. Sialnya baterai handphoneku habis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *