Seiring perkembangan teknologi, saat ini penggunaan gadget semakin tinggi. Berbagai kegiatan mendasar seperti komunikasi, sudah kita gantungkan terhadap smartphone. Mulai dari kegiatan komunikasi yang paling sederhana seperti sekedar menyapa teman, chatting melalui instant messanger, mencari info terkini, cek email, games, berbagai hiburan dan aplikasi lainnya dapat kita lakukan menggunakan smartphone. Begitu banyak hal dan kebutuhan dapat kita lakukan hanya dalam benda canggih dalam genggaman. Bisa dibayangkan bila suatu saat seseorang kehilangan smartphonenya, hal ini akan membuatnya panik dan ketakutan, tidak sekedar masalah biaya untuk mendapatkan smartphone baru, tapi juga kehilangan akses berbagai data, mulai data penting hingga data rahasia yang ada pada smartphone. Belum lagi ditambah dengan kesulitan berkomunikasi dengan teman dan kerabat.

Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam sebuah keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak-anak, jika masing-masing anggota keluarga tersebut selalu sibuk dengan smartphonenya, apa yang terjadi? Tampaknya mereka berada dalam satu rumah tapi mengurangi interaksi diantara mereka. Betapa tidak, saat mereka berada dalam satu ruangan, misalnya di ruang keluarga tapi mereka sibuk dengan gadgetnya masing-masing, seakan-akan mereka lebih dekat dengan orang-orang yang jauh tapi membuat mereka seperti jauh dengan keluarga yang saat ini berada didekatnya.

Begitupun pada tempat-tempat umum, seperti pada taman-taman, ruang tunggu, di kereta, bus, pada halte, dan pertokoan sudah sangat sedikit bahkan hampir tidak ada orang-orang yang berbincang-bincang dan mempedulikan sekitarnya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggunakan smartphone dibanding bertegur sapa atau mengobrol.

Fenomena ini membuat individu lebih memerlukan smartphonenya dibanding kebutuhan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Mengambil sebagian uraian dari Modul Sosiologi yang disusun oleh Ibu Setiawati Intan Savitri S.PM.Si, salah satu dari tiga teori utama dalam Sosiologi adalah Paradigma Fungsionalisme Struktural, saya coba kaitkan dengan fenomena di atas.

Paradigma Fungsionalisme Struktural memandang struktur (norma, nilai, kepercayaan, tatanan, stratifikasi/tingkatan) dalam masyarakat yang berfungsi membentuk tindakan individu.

Talcott Parsons beranggapan bahwa yang utama bukanlah tindakan individu melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntut dan mengatur perilaku itu. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Talcott Parsons juga beranggapan bahwa tindakan individu dan kelompok itu dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian dari masing-masing individu tersebut.

Sistem sosial adalah sistem yang terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang hubungannya dengan situasi mereka, didefinisikan dan dimediasi dalam term simbol bersama yang terstruktur secara kultural.

Dalam kondisi dimana setiap individu sudah lebih memilih sibuk dengan smartphonenya dibanding berinteraksi langsung dengan orang-orang disekitarnya menunjukkan bahwa telah adanya pergeseran nilai dan norma dalam cara dan kebutuhan berkomunikasi.

Hali ini akan menimbulkan budaya baru dalam berinteraksi yang akan menimbulkan perubahan sosial. Jika ini dibiarkan maka akan menjadikan individu bergantung pada gadget yang merupakan sebuah alat.

Akan lebih baik jika kita dapat mengatur dan dapat membatasi penggunaan gadget hanya untuk memenuhi sebagian kebutuhan dan sebagai alat yang membantu mempermudah kita dalam banyak hal tanpa harus membuat kita dikendalikannya.

Rini Astuti 46114110121

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *