Kamu pernah pura-pura senyum, bahagia, saat sebenarnya kamu lagi nggak baik-baik aja? Eccedentesiast adalah istilah populer buat mewakili itu—memalsukan senyum untuk pura-pura bahagia. Pertanyaannya, apakah hal ini ada dampaknya? Apa penyebabnya dan apa yang sebaiknya dilakukan? Berikut ini beberapa penjelasan soal eccedentesiast menurut psikologi.
Asal Istilah Eccedentesiast
Eccedentesiast awalnya diciptakan oleh seorang novelis asal Amerika, Florence King, untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh para politisi dan orang-orang di layar kaca. Politisi dan bintang layar kaca memalsukan senyum karena pekerjaan mereka. Di depan orang banyak, mereka harus menunjukkan sisi-sisi tertentu aja, khususnya sisi baik dan bahagia, nggak terkecuali kepribadian penuh senyum meski itu adalah senyum palsu.
Dalam perkembangannya eccedentesiast dipakai juga sebagai sebutan bagi orang-orang yang enggan menunjukkan emosi secara apa adanya. Atas alasan-alasan tertentu, mereka nggak menunjukkan hal-hal semacam kesedihan, penderitaan, dan memilih buat menunjukkan kebahagiaan, keadaan yang baik-baik aja, lewat senyum pura-pura. Menurut psikologi, ada penjelasan-penjelasan tertentu soal ini.
Eccedentesiast menurut Psikologi
Meski lumayan populer, eccedentesiast nggak banyak digunakan dalam psikologi terutama secara ilmiah. Tapi, tentu ada penjelasan mengenai ‘memalsukan senyum’ dan ‘pura-pura bahagia’. Menurut seorang psikolog, Denrich Suryadi, ada dua alasan utama kenapa seseorang nggak mengekspresikan emosi sesuai apa yang dirasakan. Yang pertama adalah karena enggan dan yang kedua karena sulit. Eccedentesiast secara spesifik mengarah ke keengganan mengekspresikan kesedihan.
Penyebabnya bisa beragam, seperti nggak mau kelihatan lemah, nggak mau dikasihani, atau justru karena udah terbiasa menanggung dan menyelesaikan masalah beserta emosinya seorang diri, atau juga berpikir kalau kelihatan nggak bahagia dan menceritakan sebabnya ke orang lain nggak bakal menyelesaikan masalah. Hal ini berkaitan sama kepribadian yang berbeda-beda pada masing-masing orang, misalnya para introver yang memilih menyimpan sendiri pikiran hingga emosinya, sedangkan ekstrover lebih ekspresif.
Tapi tentu ini bukan cuma soal kepribadian—karena introver nggak melulu menutupi dan ekstrover nggak melulu terbuka soal emosi mereka—tapi juga hal lain seperti pola asuh yang diterima sejak kecil. Anak-anak yang nggak diberi ruang untuk mengekspresikan emosi sejak kecil, misalnya dilarang menangis kemudian dilabeli cengeng, nggak boleh marah, dan sebagainya, bisa tumbuh jadi pribadi yang enggan berekspresi apa adanya. Ujungnya, selalu berusaha tampak baik-baik aja.
Terkait pola asuh, ada pula soal budaya. Para orang tua mungkin melekat dengan budaya setempat sehingga pola asuh mereka terhadap anak-anak nggak mempertimbangkan kebebasan mengekspresikan emosi. Seorang anak harus begini-begitu, anak perempuan dan laki-laki harus begini-begitu, dan sayang pula nggak dibarengi upaya mendengarkan.
Pura-Pura Bahagia Itu Mungkin Nggak Perlu
Berbagai emosi dan sikap diwujudkan melalui ekspresi wajah termasuk senyum. Kalau masih dalam porsinya macam aktor dan aktris yang tersenyum di depan kamera sesuai arahan sutradara, sih, mungkin masih bakal oke-oke aja menampakkan ekspresi yang ‘palsu’. Tapi, eccedentesiast yang pura-pura bahagia dan benar-benar selalu enggan menunjukkan kesedihannya bisa lain cerita. Secara psikologis, emosi yang nggak diekspresikan dengan semestinya bisa berujung pada stres. Mulai dari stres ringan, sedang, berat, bahkan depresi pada akhirnya karena ada konflik-konflik berat di dalam diri yang nggak sanggup lagi diatasi.
Itulah kenapa untuk nggak berpura-pura bahagia dan terlalu sering pasang ‘topeng’ itu penting. Sekalipun kamu berpikir kalau orang lain nggak perlu tahu kesedihanmu, sesekali berbagi itu nggak ada salahnya. Masalah dan kesedihan dalam hidup itu lumrah, maka nggak perlu selalu menutupinya. Kalau merasa butuh bantuan, kamu pun bisa menemui profesional. Temukan orang yang bisa saling berbagi kepercayaan sama kamu, cari sumber kebahagiaanmu, ekspresikan emosimu secara baik, dan jadilah benar-benar bahagia.
Referensi: