“Badanmu kok kurus banget sih, nggak sehat loh!”
“Eh kok kamu ngemil terus sih, liat tuh badanmu udah tambah lebar”
“Sekarang kulitmu jadi hitam dan jerawatan gitu, pakai skincare dong!”
Pernahkah kamu melakukan komentar negatif seperti ini kepada orang terdekatmu? Jika iya, bisa jadi kamu melakukan body shaming!
Apasih itu body shaming?
Yuk simak bareng-bareng!
Body Shaming
Body shaming merupakan sebuah perilaku untuk mengomentari, mengkritik, atau menjelek-jelekan penampilan fisik orang lain. Perilaku ini ialah tindakan bullying dalam bentuk verbal. Biasanya penyebab seseorang melakukan body shaming, karena ingin mencairkan suasana, mengundang gelak tawa, hingga memang mempunyai keinginan untuk menghina. Seseorang yang melakukan body shaming disebut dengan body shamer. Namun, pelaku dari body shaming ini sering kali nggak sadar bahwa ia telah melakukan tindakan negatif ini.
Ciri-ciri seseorang yang sering melakukan body shaming, yaitu sering mengomentari fisik orang lain, menilai seseorang berdasarkan penampilannya, menjelekkan bentuk tubuh seseorang sebagai usaha untuk terlihat lucu di depan orang banyak, menghakimi keputusan orang lain mengenai pilihan yang diambil untuk tubuhnya, dan menganggap normal bahkan ikut menimpali ketika ada orang lain yang mengejek soal penampilan fisik. Body shaming memiliki dampak yang buruk bagi korbannya, seperti menimbulkan rasa nggak percaya diri, depresi, gangguan makan, meningkatkan risiko terjadinya obesitas, dan meningkatkan risiko bunuh diri. Lalu bagaimana cara yang bisa kamu lakukan untuk menghentikan body shaming?
Cara Menghentikan Body Shaming
Berikut beberapa cara yang bisa membantumu untuk berhenti melakukan body shaming:
- Belajar Untuk Menyadari Bahwa Nggak Ada Manusia yang Sempurna
Mulailah memahami bahwa nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Setiap orang memiliki penampilan yang berbeda-beda, bukan berarti ada yang lebih baik dan lebih buruk. Sadari bahwa setiap orang memiliki kekurangan, dan ini nggak perlu dipermasalahkan.
- Mengubah Pola Pikir
Berhenti untuk memiliki pola pikir kalau body shaming hanya candaan dan bukan sebuah masalah. Karena tentu saja perilaku buruk ini bisa menyakiti hati orang lain. Selain itu, nggak semua orang menganggap bercandaan soal fisik itu lucu. Justru bisa jadi orang itu merasa risih atau jengkel saat mendengarnya. Apabila kamu teruskan perilaku ini, akan membuat orang disekitarmu merasa nggak nyaman dan memilih untuk menjauh darimu.
- Berhenti Sibuk Memikirkan Orang Lain
Lebih baik fokus kepada diri sendiri, daripada sibuk untuk mengomentari atau mengurusi urusan orang lain. Karena semua itu nggak ada manfaatnya untukmu. Mungkin kamu berharap komentar pedasmu akan membuat orang lain menjadi lebih baik, tetapi itu semua akan sia-sia. Justru akan lebih banyak merugikan orang lain daripada menguntungkan.
- Cari Topik yang Lebih Seru
Saat berkumpul dengan teman, keluarga, atau pasangan carilah topik yang lebih seru untuk dibahas selain bentuk tubuh. Carilah bahan obrolan atau candaan yang bisa dinikmati semua orang, tanpa menyakiti siapa pun yang ada di dalamnya.
Body shaming bukanlah perbuatan yang baik untuk dilakukan, apabila kamu terlanjur melakukannya segera hentikan sekarang juga yah dan jangan mengulanginya kembali. Bagaimanapun setiap manusia memiliki bentuk tubuh yang berbeda-beda, dan itu harus kita hargai dan pantas untuk mendapatkan kasih sayang. Namun, kebiasaan melakukan body shaming memang nggak mudah untuk dihentikan, tetapi kamu nggak perlu khawatir. Lakukan secara perlahan dan konsisten disaat berkumpul dengan orang terdekatmu atau saat berkomunikasi dengan mereka di sosial media. Sesuatu yang dilakukan secara konsisten atau terbiasa, lambat laun akan menjadi bisa. Yuk mulai belajar untuk menghargai perbedaan dengan orang lain terutama mengenai persoalan bentuk tubuh. Karena setiap dari kita memiliki standar tubuh ideal yang berbeda-beda, dan sangat nggak pantas untuk disamaratakan!
Referensi:
Rachmah, E., & Baharuddin, F. (2019). Faktor Pembentuk Perilaku Body Shaming di Media Sosial. In Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial, pp. 66-73.