Apakah Anda orang yang reaktif? Ketika seseorang tiba-tiba memaki Anda, Anda langsung membalas? Tanpa berpikir panjang akibatnya ketika Anda membalasnya? Jika Ya dalam semua situasi sosial, bisa jadi Anda termasuk orang yang dikendalikan oleh orang lain dalam emosi. Anda belum mandiri dalam pengelolaan emosi

Pada dasarnya kemandirian emosional adalah tantangan yang tidak mudah. Sebab dalam tinjauan Psikologi Sosial, hampir tidak mungkin untuk SAMA-SEKALI tidak terpengaruh secara emosi, kognisi, atau perilaku atas sebuah situasi sosial yang ada di sekitar kita.

Hal yang paling mungkin kita kelola adalah level keterpengaruhan yang bersifat merusak. Sehingga kita bisa mengelola respon untuk menekan respon merusak dan memilih respon membangun. Pada dasarnya manusia saat merespon lingkungan sosialnya, terdapat tiga proses: mental (pikiran dan perasaan: kognisi dan afeksi), sikap (evaluasi terhadap situasi: suka-netral-mempertanyakan-tidak suka) lalu perilaku, yang membenarkan apa yang terjadi dalam proses mentalnya.

Proses-proses tersebut, tentu ada yang spontan dan sangat cepat terjadi di dalam pikiran kita, ada juga yang bertambah atau berkurang secara perlahan. Nah, salah satu teori yang saat ini sedang saya terus-menerus teliti bersama mahasiswa bimbingan dan di klub Narrative Writing adalah: Bagaimana agar manusia bisa ‘berjarak’ dengan situasi sosialnya dan menjadi pengamat terhadap dirinya sendiri dan situasi sosialnya, dan kemudian secara spontan akan bisa mengontrol dirinya untuk tidak larut dalam situasi negatif di sekitarnya, atau tidak larut pada situasi negatif yang mungkin diimajinasikan oleh dirinya sendiri di dalam pikirannya.

Keliatan rumit ya?

Sebenarnya menurut saya, selama dilatihkan. Ini tidak terlalu rumit.  Ethan Kross (2016) dengan teori “Self Distancing”nya, atau teori menjaraki-diri, mengatakan bahwa secara spontan manusia bisa berjarak dengan dirinya (proses mental di dalam pikirannya) dan situasi sosial (yang diimajinasikan atau pun yang nyata), jika ia mengubah PERSPEKTIF, dari perspektif aktor menjadi perspektif pengamat.

Kata perspektif bagi pengarang fiksi seperti saya ini, menjadi SANGAT MENARIK. Karena perspektif dalam dunia kepengarangan sering juga disebut sebagai POV (Point of View), jika kita ingin pembaca yang larut dalam cerita yang kita tulis, maka biasanya pengarang akan memilih POV menjadi protagonis dalam cerita (Protagonis biasanya akan menggunakan kata aku, dan boleh jadi si pembaca juga akan menjadi si ‘aku’ itu dalam proses membaca cerita.

Contoh:

“Aku merasakan dunia seperti bersatu untuk memadamkan semua cahaya, bahkan matahari sepertinya enggan terbit di timur, dan aku menunggu dengan pengap dan sesak atas berita yang mungkin tidak pernah tiba darimu. Rasanya udara menipis, semua cahaya pergi, datang gelap menebal dan dadaku terasa sesak”

Bagaimana? Apakah Anda merasakan kepengapan emosional si “Aku”? membaca dengan POV ini, ‘akuan’ dalam cerita akan menarik pembaca ‘larut’ sebagai pelaku.

Lalu, jika pengarang ingin menjadi si maha tahu (pengamat) yang berada diluar cerita, biasanya menggunakan POV orang ketiga, Omniescient si serba tahu. Pengarang ‘playing God” mengetahui semua hal dan semua karakter yang ada dalam cerita, mengendalikan semua cerita. Ini adalah POV yang paling disukai oleh para pengarang (hayo ngaku)

Contoh:

Ru tidak pernah berpikir bahwa Ow akan pernah meninggalkan, ia begitu yakin bahwa semua yang telah dijalani bersama, akan menjadi sebuah cerita manis yang akan dikenang sepanjang hidup mereka. Tapi lihatlah, Ru masih duduk di bangku stasiun kereta, bahkan ketika kereta terakhir telah berangkat lagi. Ow tidak ada diantara mereka-mereka yang keluar dari pintu-pintu kereta terakhir itu. Ia mendongakkan kepalanya, menatap lelangit, menahan agar air-matanya tidak jatuh. Ia seperti ingin menahan semua yang bergejolak didalam dadanya, tetapi semuanya akhirnya membadai dan meraung di dalam sana.

Bagaimana? Mungkin Anda bisa juga larut dalam cerita dengan POV pengamat, tetapi levelnya tidak seberat POV orang pertama, bukan? Tell me about it?

Jadi, salah satu strategi berpikir agar tidak terlarut dalam situasi emosional di kepala Anda adalah, jadilah Pengamat diri Anda sendiri, saat terjadi badai emosi dalam pikiran Anda.

  • Ambilah jarak dari diri Anda sendiri, take a step back, freeze do not react (ini latihan berat untuk orang yang reaktif :D)
  • Amati emosi yang sedang terjadi di dalam pikiran Anda
  • Beri label emosi Anda: ini saya marah, karena saya tersinggung.
  • Tanyakan: Apakah emosi Anda itu benar? Apakah orang atau sesuatu yang membuat Anda marah pantas untuk dimarahi? Adakah info-info yang belum Anda ketahui,
  • Tariklah nafas panjang, dan berpikirlah dengan jernih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan nomor 4.
  • Pada saat ini, Anda sudah bisa berpikir lebih tidak emosional

Tahu tidak, menulis adalah salah satu latihan yang bisa kita lakukan untuk mengelola emosi yang spontan muncul. Gak percaya? Cobain aja 😀

Jadi, Take a Step Back and Reflect! Spontaneously change your perspective. Jadilah pengamat diri Anda sendiri, ketika ada hal-hal yang memancing reaksi emosi Anda. You will be calm and good

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *