Beranda Hati Bondan Winarno: Beranda Kita juga?

 “Alangkah berbahanya musim semi. Ketika bunga-bunga bermekaran, hati manusia pun menjadi bungah, menjadi lahan subur untuk menumbuhkan cinta”

Penerbit: Noura Books
Tebal: 342 halaman
ISBN: 978-602-3851-87-4

Saya mendapatkan kumpulan cerpen dari Noura Publishing beberapa waktu yang lalu dan tertegun membaca nama pengarangnya Bondan Winarno,  yang terlintas adalah sosok ‘maknyus’ yang berkeliling menemukan cita-rasa makanan Indonesia. Saya lupa bahwa Bondan pernah saya baca di majalah Kuncung, majalah yang diproduksi tahun 1956 tetapi ketika saya Sekolah Dasar tahun 1979 lah, masih ada di perpustakaan harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, tempat ibu saya bekerja sebagai jurnalis, dan menjejali saya dengan segala macam buku dan majalah. Tiba-tiba saya merasa tua 😀

Iya, lantas saya takjub dengan cerita-cerita di dalam kumpulan cerpen ini. Cara bertuturnya yang realis dan manis, serta latar cerita dari seluruh dunia, menggambarkan ia adalah pejalan yang sempurna.  Sebut saja, latar Itali untuk cerpen Bologna-Milano, Hongkong untuk cerpen Rumput, John Charles Showerd, dan Petang Panjang di Central Park berlatar New York,  Seattle adalah latar untuk cerpen Santa, bahkan peperangan di Sarajevo  dalam cerpen Doa Seorang Perawan,  serta masih banyak kota-kota lain di seluruh dunia bertaburan dalam kumpulan 25 cerpen setebal 334 halaman ini. Iya, dia Wartawan tentu saja banyak jalan untuk liputan, tetapi seberapa banyak yang menuliskannya dalam kisah-kisah indah? Cara bertuturnya yang lancar dan simpel jauh dari perbincangan filsafat dan teori-teori yang memusingkan kepala. Mungkin karena cara tuturnya mirip dengan saya yang tak biasa dengan tulisan absurd, maka saya jatuh cinta.

Selain mengagumi latar ceritanya yang mendunia,  saya juga menyukai pesan dalam cerita-ceritanya untuk menghargai cinta dan kasih-sayang. Sebagaimana hampir semua pengarang yang menjadikan tema cinta sebagai tema yang abadi, demikan pula Bondan. Bahkan untuk cinta yang tak bisa dimiliki seperti dalam cerpen: Pada Sebuah Beranda.

Menurut saya, cerpen “Pada Sebuah Beranda” adalah puncak dari seluruh cerpen yang dituliskannya. Setelah ia berjalan ke seluruh belahan bumi bercerita kesana kemari tentang perang, tentang konflik antar agama, tentang perempuan,  dan segala carut-marut dunia, ia duduk mencakung di beranda sambil “membelai-belai” kepala kekasih yang tak dimilikinya, sebab hatinya telah penuh dengan istri dan anak-anaknya. Sebuah metafor manis yang humanis tentang family man yang melepas seseorang yang mengaguminya untuk jatuh cinta dan dimiliki orang lain.

Demikianlah hidup bukan? Apa  yang diinginkan dan tak didapatkan, kadang tak perlu membuat kita menyesali takdir. Sebab kita punya beranda yang memungkinkan kita bertemu, berinteraksi dan menyaksikan orang-orang tanpa membuka pintu dan mempersilakan masuk. Kematian Pak Bondan Winarno dan pesannya sebelum wafat,  agar keluarganya selalu kuat seperti sebuah pesan untuk kita semua. Hidup tak selalu menyediakan apa yang kita inginkan dan kita idealkan lalu nampak sempurna, tetapi tugas kitalah yang menjadi kuat untuk menyempurnakannya.

Hari ini, gagal jantung, telah menyempurnakan hidup Bondan Winarno. Selamat jalan pak. Kumpulan cerpen Anda akan abadi, paling tidak di hati saya, pembaca Anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *