Pada waktu sekolah di Sekolah Dasar dulu, saya kadang berpikir untuk apa ya, dibuat sebuah peta bumi, atau peta sebuah negara? Bagaimana ya cara membuat peta ini? Dari mana si pembuat peta tahu bahwa Indonesia terletak diantara dua benua, dua lautan, yang kemudian disebut sebagai letak geografis? Saya mungkin saat itu berpikir, apakah ada orang yang terbang dulu di atas sana, lalu melihat bumi dari tempat yang tinggi, sehingga terlihat posisi daratan dan lautan Indonesia diantara daratan dan lautan yang lain? Ketika saya tumbuh lebih besar lagi, SMP dan SMA hal itu tidak menjadi pertanyaan penting lagi buat saya. Tetapi sekarang, ketika pengalaman hidup semakin banyak, karena semakin dewasa, saya mulai mengerti, mengapa perlu sebuah peta, dan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan membuat peta itu menjadi lebih berfungsi, terutama untuk hidup kita. Mengapa hidup kita? Iya, saya percaya bahwa tulisan atau ekspresi dari pikiran dan perasaan kita, sedikit banyak adalah representasi hidup kita.

Peta dalam penulisan kreatif disebut plot, dalam penulisan ilmiah disebut kerangka. Ketika menulis skripsi, tesis dan disertasi maka kita memerluka kerangka untuk menjaga agar alur tulisan kita tidak kemana-mana dan fokus pada pertanyaan penelitian yang sedang kita coba untuk jawab melalui riset. Dan saya harus mengakui, bahwa pada awalnya saya bukan penggemar plot atau kerangka. Saya penulis yang menulis begitu saja apa yang ada di dalam pikiran saya, plot itu ada di kepala dan terasa samar, jangankan dituliskan, apakah saya plot tertentu pun, saya ragu. Ya, demikianlah, saya menjadi penulis yang immersed dengan tulisan saya sendiri, dan kadangkala ruminate (berputar-putar) tanpa bisa mengakhiri apa yang saya awali untuk tulis. Hoho, Anda mungkin juga pernah mengalami itu bukan? Dan saya melakukan hal itu juga pada penulisan disertasi, saya, terjun di rimba-raya jurnal, tersesat diantara cabang-cabang jalan, menangis karena tak tahu mana cabang jalan yang harus ditempuh, tetapi saya tetap melakukannya. Ketika orang lain memvisualisasi kerangka atau plot terlebih dulu di kepalanya, menuliskannya, lalu mulai menulis, saya melakukan sebaliknya, saya menulis dulu baru setelah itu, hadir pada tulisan saya sebagai pembaca, dan peta yang samar-samar di kepala saya tiba-tiba mulai tersusun menjadi satu. Mungkin, ini masalah perbedaan individu. Ada yang bernalar dari umum ke khusus (deductive thinking) ada yang bernalar dengan khusus ke umum (inductive thinking), saya adalah tipe kedua. Apakah ini masalah baik dan buruk? Bukan, ini masalah nyaman tidak nyaman dan efektif tidak efektif. Mana yang lebih efektif dan nyaman untuk Anda? Itulah jalan Anda.

Karena saya percaya bahwa cara menulis adalah representasi dari cara menjalani hidup. Saya sedang berpikir bahwa, mungkin ini yang sedang ditunjukkan hidup pada saya. Saya bertemu Ethan Kross, penemu teori Psychological Distance dan mengajarkan Self Distancing, karena kita bisa melihat diri kita sendiri dan melihat peta diri kita (baca:hidup kita) ketika kita mengambil jarak mental dari diri kita dan masalah-masalah kita. Rupanya saya sedang mengizinkan diri saya untuk mencoba hal lain, selain terjun bebas di sebuah tempat, mencoba, salah, mencoba lagi, salah sedikit, mencoba lagi, lalu mengerti. Jika Anda bukan pencinta proses, Anda tidak perlu melakukannya, karena mungkin anda akan frustasi. Mungkin saya seperti , Alice yang bertanya pada Chesire Cat:

“Would you tell me, please, which way I ought to go from here?’
‘That depends a good deal on where you want to get to,’ said the Cat.
‘I don’t much care where -‘ said Alice.
‘Then it doesn’t matter which way you go,’ said the Cat.
‘- so long as I get SOMEWHERE,’ Alice added as an explanation.
‘Oh, you’re sure to do that,’ said the Cat, ‘if you only walk long enough.”
?Lewis Carroll,Alice in Wonderland

Jadi menurut saya, soal plot dan kerangka tulisan pada dasarnya seperti yang dikatakan oleh Chesire Cat, diatas. Jika Anda mengerti dimana tempat yang dituju dari tulisan Anda, maka tulislah. Tetapi jika Anda memiliki energi yang cukup untuk terus berjalan, dan Anda menyukai perjalanan Anda, dan tidak masalah dengan jatuh-bangun, Anda tidak memerluka plot atau kerangka yang rigid.

Bagaimanakah kerangka yang rigid itu? Kerangka yang Mungkin seperti resep yang diajarkan oleh Dr. Elizabeth Cubller Ross, seorang psikolog yang menemukan teori tentang bagaimana mengatasi (coping) persoalan kesedihan yang berat (Grief), yang kemudian digunakan oleh penulis kreatif untuk membuat plot, yakni pola  DABDA : Denial (Menyangkal), Anger (Marah, Tidak bisa Menerima), Bargaining (Melakukan tawar-menawar), Depression (Tertekan), Acceptance (Menerima). Jadi, jika Anda sedang menulis tentang sebuah cerita sedih, Anda bisa mencoba plot ini.

Choice is yours

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *