Tetiba pagi ini saya mengingat-ingat kembali frasa dan diksi apa saya yang mengandung kata Ibu. Ibu negara, Ibu Pertiwi, Ibunda (Ibu ananda), I-bupati (ada lagi?).

tetiba saya melihat ada ranah kuasa dalam frasa yang mengandung kata Ibu.  Karena setelah Ibu sebagai kata pertama, lalu ada kata ikutannya dan di dalamnya ada relasi kuasa.

Kekuasaan akhir-akhir ini sedang gonjang-ganjing, mungkin disebabkan karena sedikitnya karakter ibu di dalamnya? 

Ketika seorang perempuan memilih untuk menjadi ibu, maka ia secara sadar memilih jalan berkorban, jalan kesakitan, jalan menumbuhkan dan mendahulukan orang lain sebelum dirinya sendiri. Ibu memilih untuk tumbuh bersama dengan orang lain di dalam tubuhnya. Ia menghirup udara, makan dan minum secara kolaboratif dengan makhluk lain di dalam perutnya. Ibu terbiasa berkolaborasi. Pengalaman kolaborasi melahirkan ketrampilan berbagi dan empati

Dari sejak benih di tanam ia sudah merelakan sebagian dari tubuh dan jiwanya digunakan untuk menumbuhkan tubuh dan jiwa lain. 

Ya, pagi ini tesis saya adalah: kekuasaan seringkali kurang keibuan (baca: kebapakan)

Relasi kuasa kebapakan adalah egosentris, kompetitif, melawan dengan terang-terangan, maskulin, politik partisan, praktis, berdaya-guna, fungsional.

Relasi kuasa keibuan adalah sosiosentris, kolaboratif, melawan dengan kasih-sayang, feminin, high politic, substantif, kurang praktis lebih filosofis

Menumbuhkan dan merelakan jiwa lain untuk tumbuh, atau paling tidak tumbuh bersama selalu ada dalam kamus ke-Ibu-an. Apakah itu mungkin dalam konsep Ibu untuk Negara?

Mungkin saja, jika para pemimpin belajar dari rasa sakit, pengorbanan, mendahulukan mereka yang melahirkan mereka dari pemilihan ke pemilihan, dari kampanye ke kampanye. Mungkin saja jika para pemimpin belajar dari ibu-ibu mereka

Demikianlah, selamat hari ibu

22 Desember 2015

-Dari Ibu tiga calon ibu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *