Amir adalah namaku, saat ini aku berusia 27 tahun yang hidup dalam sebuah keluarga yang sangat berkecukupan. Sejak kecil aku dibesarkan oleh seorang ibu tanpa adanya kehadiran seorang ayah, “ya … bisa dibilang” aku hidup dalam sebuah keluarga “broken home“ . Ayah dan ibuku berpisah (cerai) saat aku berusia 4 tahun. Pada saat aku berumur 5 tahun ibuku menikah lagi dengan seorang laki-laki yang akan menjadi ayah tiriku dan pada saat itu aku belum mengerti apa-apa tentang apa arti seorang ayah tiri atau ayah kandung.

Pada saat aku berumur 8 tahun, ibuku melahirkan lagi seorang anak perempuan bernama Irma yang dimana anak tersebut adalah adik tiri ku. Aku merupakan anak sulung di dalam keluargaku walaupun aku dengan adik perempuanku adalah saudara tiri. Aku selalu berprilaku baik kepada ayah tiriku dan selalu menganggap ayah tiriku seperti ayah kandungku sendiri karena sejak ayah dan ibuku berpisah ayah tak pernah mengunjungiku sehingga yg ada dalam benak ku adalah ayah tiriku adalah ayahku.

Seiring dengan berjalannya waktu, aku tumbuh menjadi seorang remaja dan menganggap jika ayah tiriku yang selalu ku anggap ayah kandungku telah berprilaku tidak adil terhadapku. Ayah tiriku hanya memperhatikan dan menyayagi adikku saja, begitupun dengan sikap ibuku yang dimana segala perhatian dan kasih sayangnya hanya tertuju kepada adikku. Hal tersebut sangat mengganggu pikiranku dan membentuk suatu sikap jelous dalam diriku terhadap adik ku. Padahal jika dipikir sekarang setelah aku tumbuh dewasa, bahwa sikapku terhadap adikku tersebut adalah salah, karena adik ku adalah seorang anak perempuan yang sangat membutuh perhatian khusus.

Awal memasuki bangku SMP dimulailah pengalaman aku sebagai anak remaja yang mencoba –coba mencari jati diri dan mencari sesuatu yang tidak aku dapatkan di dalam keluarga ku? ……. “sebuah kasih sayang seorang ayah yang benar-benar ayah kandung” ya boleh di bilang aku mencari kepuasan diluar, sampai-sampai aku ikut segala kenakalan remaja, baik itu tawuran, bolos sekolah dan terpengaruh oleh pergaulan narkoba. Saat itu aku tidak berpikir panjang yang ada dalam benak ku hanya menikmati masa remajaku yang penuh dengan kenakalan.

Saat aku berumur 14 tahun ayah tiriku meninggal karena sakit, sejak saat itu kehidupan ekonomi keluarga kami sangat menurun dengan drastis. Ibuku yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang hanya bisa mengurus keluarga dan menopangkan dirinya kepada suaminya berubah menjadi seorang ibu yang harus memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, sehingga ibuku bekerja banting tulang.

Ibuku selalu marah-marah dan bersikap keras terhadapku dikarenakan aku tidak bisa menerima keadaan ekonomi keluarga yang berubah drastis setelah ayah tiriku meninggal, yang dimana saat ayah tiriku masih ada aku selalu terbiasa dengan hidup mewah dan berkecukupan, segala apapun yang aku mau pasti terpenuhi walaupun segala kasih sayang mereka selalu diberikan kepada adikku.

Tetapi semenjak ayah tiada semua serba susah,ini yang membuat aku semakin setress makin terjerumus kedalam pergaulan yang menyesatkan, aku mulai mencoba dengan dunia narkoba. Awalnya aku mencoba iseng-iseng dengan meminum obat panadol dicampur dengan soda…..awalnya hanya membuat pusing tapi lama-lama nge fly, sampai akhirnya aku mencoba yang namanya narkoba dari mulai ganja sampai dengan sabu-sabu. Saat aku mengenal narkoba sekolah aku berantakan, aku sering bolos dan dipanggil guru BP bahkan sampai-sampai ibu harus bolak balik kesekolah karena ulahku.

Ibu sangat over protektif terhadapku apa yang aku lakukan harus selalu kemauan ibu tidak boleh inilah, itulah bahkan bermainpun dibatasi karena takut terjerumus lagi sehingga sekolah di SMU pun merupakan sekolah yang dipilihan oleh ibuku. Aku tidak diberi kebebasan untuk memilih sekolahku sendiri dengan alasan bahwa “biar aku tidak terjerumus lagi dengan pergaulan-pergaulan remaja yang sangat mencoreng nama keluarga”.

Kehidupanku semakin tertekan dengan segala sikap ibu terhadap diriku dan yang sangat menyedihkan bagi diriku yaitu bahwa ibuku selalu menganggap aku sebagai anak kecil dan selalu membandingkan aku dengan adik tiriku, sehingga yang ada dibenak ku saat itu adalah adik tirikulah yang terbaik dimata ibu dan hidupku tidak ada artinya. Hal inilah yang menuntut aku untuk bersipat pura-pura menjadi anak yang baik dan menuruti segala kemauan ibuku dirumah tetapi bila sudah di luar rumah / dilingkungan pergaulan ya..aku makin terjerumus ke dalam dunia narkoba sebagai pelampiasan diriku akan segala tekanan yang telah aku terima dari ibuku. Semua itu aku lakukan agar ibuku menyadari, mengerti apa mauku dan membiarkan aku untuk menentukan hidupku sendiri yang tidak selalu diatur dan harus menuruti segala kemauannya, karena aku merupakan seorang anak laki yang dimana nantinya aku akan mempunyai sebuah keluarga yang harus aku pimpin.

Saat aku lulus smu aku ingin keuliah mengambil jurusan seni rupa tapi ibu bilang jangan ambil jurusan itu kamu harus jadi orang cari jurusan yang berguna, aku dipaksa masuk ambil jurusan hukum karena bila aku tidak mengambil jurusan yang ibu mau ibu tidak akan membiayai sekolah ku. Saat itu aku masuk kesalah satu perguruan negeri, aku menjalani dengan terpaksa kemauan ibu walaupun jurusan tersebut tidak cocok dengan kemauanku. Pada akhirnya aku kuliah hanya kuat sampai 2 semester kamudian aku di DO (drop out)oleh pihak kampus karena nilaiku tidak memenuhi standar. Saat ibu mengetahui bahwa aku di DO oleh pihak kampus maka ibuku marah besar dan berkata :

“Amir……!! Kamu ini memang anak yang bodoh, tolol dan tidak berguna. Bisanya cuma ngehabisin uang….uang….. dan uang….tapi otak mu nollll…. dari semenjak SMU kamu tuch hanya bisa main….main dan main saja….dasar anak gak berguna. Lihat adikmu ‘Irma’ dari SMU sampai dengan sekarang dia selalu menjadi siswa yang berprestasi”.

Dengan segala ucapan caci maki ibu terhadap diriku, aku sangat merasa sakit hati dan merasa disepelekan karena ibu selalu membandingkan aku dengan adik tiri ku ‘Irma’.

Beberapa minggu kemudian ibu memaksa aku ikut kursus bahasa inggris dan komputer yang semakin membuat duniaku serasa sempit tidak punya kebebasan. Dengan berat hati aku mengikuti kemauan ibuku sampai-sampai karena takut aku bolos, ibu menyuruh adik tiriku Irma untuk ikut kursus juga untuk mengawasi segala gerak gerikku dan melaporkan setiap waktu kepada ibuku. Anda pasti tahu bagaimana rasanya bila di ikuti terus? ruang gerakku sangat sempit.

Bila tidak kursus aku hanya diperbolehkan bermain dengan teman-teman yang rumahnya paling jauh 5 rumah kedepan, belakang, kiri, kanan dari rumahku dan aku tidak boleh main di rumah orang lain tetapi teman-teman yang harus aku ajak bermain di rumahku. Pada saat masa-masa itu yang ada dalam pikiranku yaitu aku sangat ingin menemukan lingkungan yang mengerti kondisi perasaan aku dengan teman-temanku merasa nyaman, mereka yang paling mengerti aku walaupun aku harus terjerumus didalam jalan yang salah “ yang penting aku merasa nyaman”.

Sungguh sangat tertekan semua harus berdasarkan kemauan ibuku, aku hanya bisa berontak dengan berbuat nakal agar ibu mengerti apa kemauanku…..” aku ingin ibuku tidak otoriter, egois dan berprasangka buruk kepadaku“ karena semua itulah yang membuat aku jenuh dan menuntut jiwaku ini berontak dan buta.

Semakin aku berontak dengan prilaku yang salah tetapi ibu malah semakin membatasi ruang gerakku, keras menghukumku dan ketat mengawasi aku. Aku semakin merasa serba salah dan semakin putus asa akan kehidupanku sehingga aku melarikan diri dari rumah untuk mendapatkan suatu kebebasan yang sangat aku cita-citakan sebagai mana layaknya seorang anak laki-laki dalam sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Kursus bahasa inggris dan komputer yang tinggal selangkah lagi beres dan lulus serta mendapat ijasah akhirnya aku tinggalkan dan aku tidak berpikir panjang tetapi aku hanya memikirkan semua keamarahanku terhapa ibuku yang selalu tidak mengerti apa mauku.

Selama dalam masa melarikan diri dari rumah, aku mendapatkan suatu kebebasan yang selama ini aku cita-citakan yang tidak aku dapatkan di dalam keluarga ku walaupun aku semakin terjerumus kedalam dunia narkoba dan bahkan aku menjadi seorang bandar narkoba yang cukup lumayan besar. Sampai pada suatu hari aku tertangkap oleh polisi dan mendekam di jerusi penjara, dikarenakan aku tidak mau menghubungi keluargaku. Setelah selama 1 pekan aku mendekam dalam penjara tersebut maka aku merasa jenuh dan bosan, maka dengan keadaan terpaksa akhirnya aku menghubungi dan meminta bantuan ibu untuk membebaskan aku penjara.

Setelah terbebas dari penjara aku menjadi pengangguran yang hidup luntang lantung tanpa adanya suatu tujuan yang mungkin harus ku capai. Aku melihat adikku irma kuliah dengan rajin lalu aku melihat teman-teman sudah bekerja, aku merasa malu dan minder karena “aku hanya lulusan SMU dengan nilai pas-pasan”. Rasa penyesalan selalu datang terlambat, “betapa bodohnya aku”.

Sikap ibuku mulai melembek dan berubah setelah aku mendapatkan pekerjaan dan mempunyai penghasilan sendiri, walaupun penghasilanku tidak besar tetapi cukup untuk membantu ibu menutupi biaya kebutuhan keluarga. Ibu bisa menerima apa yang aku pikirkan dan apa yang aku inginkan dan dia bialang kepadaku bahwa “Ibu keras terhadapmu karena kamu seorang anak laki-laki dan merupakan anak sulung yang harus menjadi pengganti ayah bagi adik – adik mu walaupun adik mu itu adalah adik tiri”. Aku tersadar ternyata apa yang ibu lakukan selama itu hanya untuk kebaikan ku dimasa depan.

Aku berpikir semua sudah terlambat, ibuku sudah merasa kecewa terhadapku yang dimana aku seorang anak laki-laki sulung dalam keluargaku yang tidak bisa diharapkan oleh keluarga untuk menjadi seorang manusia yang sukses dan berhasil yang dapat dijadikan contoh bagi adik-adik ku.

Rasa ketidak percayaan diri sekarang menempel dalam jiwaku dan aku baru bisa percaya diri apabila menggunakan narkoba sebagai pemicunya. Ibu mengajak aku mengikuti program santri kilat di sebuah pesantren agar aku terbebas dari kecanduan narkoba. Saat itu aku bisa pulih dengan perlahan dan bertahap untuk mendapatkan semangat baru untuk menjalani kehidupan di dunia ini tanpa ketergantunganku kepada narkoba. Hidupku mulai membaik yang seolah-olah mempunyai kepercayaan diri, merasa di akui, dihargai, dianggap dewasa dan bebas mengeluarkan pendapat di dalam keluarga. Ibuku mulai bisa menerima dan menghargai pendapat, saran dan mengerti apa yang aku inginkan serta mengghargai segala apapun yang menjadi pilihan ku.

Sejak saat itu kami saling terbuka sehingga tidak ada lagi kecanggungan antara aku dan ibu dalam berpendapat sehingga semua permasalahan dapat diselesaikan dengan baik. Pekerjaanku lancar, sehingga aku dipromosikan oleh atasanku untuk mendapat jabatan yang lebih baik dari semula dengan penghasilan yang lumayan besar. Irma adik tiriku yang selama ini bersekolah di sebuah akademi kesehatan kini telah lulus dan berhasil mendapatkan Izajah D3 kesehatan dengan nilai yang sangat memuaskan dan Irma langsung diminta oleh pihak sekolanya untuk menjadi staf pengajar di sekolah tersebut dengan mendapatkan penghasilan yang cukup lumayan dibandingkan dengan penghasilanku. Aku sebagai kakak tiri irma merasa senang dan tenang melihat irma lulus dan langsung mendapatkan pekerjaan, walaupun dalam hati kecilku ini aku merasa terkalahkan oleh adik ku Irma.

Setelah aku merasa cukup dewasa dan penghasilanku lumayan besar maka aku memutuskan untuk menikah dengan wanita pilihan aku. Pada awalnya aku merasa ragu dan khawatir bila ibu tidak setuju dengan wanita yang telah aku pilih untuk menjadi istriku, ternyata dugaan ku benar, bahwa pada awalnya ibu tidak setuju dengan keputusanku untuk menikah dengan wanita pilihanku karena ibu menganggap aku belum cukup mapan dalam memniayai kehidupan keluargaku kecilku nanti. Aku merasa bimbang antara mengikuti kemauanku ataukemauan ibuku. Dalam waktu selama 2 bulan mungkin ibuku berpikir mengenai keinginanku tersebut dan akhirnya ibuku menyetujui keinginanku dengan ikhlas.

Akhirnya aku menikah dengan wanita yang telah menjadi pilihanku dengan dukungan seluruh keluargaku “aku merasa senang dan gembira karena keluargaku sangat memberikan dukungan yang positif kepadaku”. Beberapa bulan awal menikah kami tinggal dirumah orang tua istriku, aku merasa sangat dihargai dan dianggap akan kehadiranku dalam keluarga orang tua istriku “bila keluarga istriku punya masalah aku selalu dilibatkan, ayah mertuaku selalu bertukar pikiran denganku”. Aku mulai berpikir “oh…….. begini ternyata bila hidup dalam suatu keluarga yang utuh “ada ayah,ibu dan anak”.

Sangat Kontras dengan kehidupan keluarga yang “broken home”. Sosok ayah kandung dalam keluargaku yang menjadi panutan dan tempat untuk bertukar pikiran bagi diriku tidak aku dapatkan. Hal ini dimungkinkan karena kami sesama lelaki jadi lebih mudah mengutarakan perasaan dan terbuka.

1 tahun usia pernikahanku maka aku bersama istriku memutuskan untuk belajar hidup mandiri dan hidup terpisah dari keluarga orang tuaku maupun keluarga orang tua istriku dengan mengontrak rumah kecil yang biaya kontarakannya terjangkau oleh kemampuanku dengan jarak yang cukup jauh dari rumah orang tuaku maupun orang tua istriku. Kami mengambil keputusan tersebut agar kami tidak selalu bergantung hidup pada orang tua.

2 tahun usia pernikahanku, kami dikaruniai 1 orang anak laki-laki oleh Allah SWT yang alhamdililah anak tersebut dilahirkan dalam keadaan normal dengan kondisi yang sempurna tanpa adanya kekurangan suatu apapun yang sesuai dengan harapanku. Dengan kehadiran seorang anak laki-laki dalam keluarga kecilku ini, aku merasa senang dan bahagia karena aku merasa bahwa diriku telah syah menjadi seorang laki-laki yang sempurna yang dapat memberikan keturunan kepada keluargaku sebagai generasi penerusku bagi keluargaku dan keluarga istriku.

Rasa kepercayaan diriku yang selama ini telah meninggalkan jauh dari jiwaku, bahkan boleh dianggap hilang dari jiwa ragaku akibat sikap orang tua yang sangat over protektif, kini telah kembali dan merasuk kedalam diriku bersamaaan dengan kehadirannya seorang anak dalam kehidupanku yang dilahirkan oleh istriku. Kini aku semakin giat dalam bekerja dan selalu berusaha untuk menjadi ayah dan suami yang terbaik bagi anak dan istriku. Kini prioritas utamaku adalah keluarga kecilku karena keluarga adalah tempat saling berbagi senang dan susah, terkadang lingkungan hanya bisa memberikan pengaruh baik dan buruk tergantung bagaimana kita dalam menyikapinya.

Berdasarkan segala hal yang telah aku alami, terutama dalam menjadi seorang anak dari sebuah keluarga yang tidak utuh dan bermasalah, ya…. boleh dikatakan seorang anak dari keluarga yang “broken home”. Aku mengambil keputusan dalam diriku bahwa menjadi seorang laki-laki haruslah mempertahankan keutuhan sebuah keluarga agar anak ku nanti tidak merasakan suatu sikap yang diskriminasi dalam keluarga serta memberikan kebebasan kepada istri dan anak dalam menyampaikan segala keluh kesah mereka serta menjadikan mereka sebagai teman dalam menjalani kehidupan ini di dunia ini.

———————–sekian dan terima kasih—————————

Pesan penulis :

  • Hilangkan sikap agresi dan diskriminasi dalam sebuah keluarga yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya karena sikap ini dapat mempengaruhi bahkan menghancurkan masa depan anak-anak kita.

  • Hilangkan sikap over protectif orang tua terhadap anak karena hal ini dapat menghilangkan kepercayaan diri anak kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *