In a very real sense, people who have read good literature have lived more than people who cannot or will not read. It is not true that we have only one life to lead; if we can read, we can live as many more lives and as many kinds of lives as we wish. (Hayakawa, 1990, p. 84)

Sudah membaca artikel I, Me, My, Mine : Menulis Kala Patah Hati, kan? Iya demikian sebenarnya peranan emosi yang saling berinterelasi antara teks dan pembaca. Ketika dalam dunia nyata kita tidak bisa mengakses emosi dan pikiran orang lain, kecuali kita memaknainya melalui mimik muka, gesture (gerak tubuh) dan apa yang dia katakan, ini yang dikatakan oleh theory of mind, bahwa kita manusia tidak bisa mengakses pikiran, intensi, keinginan, dan emosi orang lain (baca: menajamkan empati dengan membaca fiksi). Ketika membaca fiksi (naratif), maka emosi dan pikiran tokoh yang digambarkan dalam teks bisa kita ketahui, dan jika kita memiliki pengalaman emosi dan pikiran yang hampir sama dengan si tokoh, maka kita akan tercerap ke dalam emosi dan pikirannya.

Riset yang dilakukan Kauffman & Libby (2012) membahas tentang hal tersebut, mereka menyebutkan sebagai Experience Taking, atau mengalami. Fiksi yang baik sebagaimana dikatakan Hayakawa (1990) mengizinkan pembaca untuk mengalami apa yang dialami oleh oleh tokoh di dalam teks. Mengalami berarti apa yang dirasakan, dipikirkan, dilihat, dihirup, disentuh, didengar oleh tokoh dalam teks juga dirasakan, dipikirkan, dilihat, dihirup, disentuh, didengar oleh pembaca teks.

Coba kita lihat teks di bawah ini dan melihat perbedaannya.

Tiba-tiba terjadi keributan.

“Hey! Hey! Ada penyusup!! Hati-hati Rapatkan barisan! Satu komando!! Hey! Heeeeey…!!” Suara Herr Basuki tiba-tiba menghilang, sebongkah batu sebesar kepalan tangan melayang. Tepat mngenai pelipisnya. Ia roboh.

Para demonstran perempuan menjerit-jerit, sebab barisan mahasiswa kini terdorong ke depan, adu kaki, adu kepala, pukulan pentungan karet berayun berkali-kali.

Jeritan. Tembakan kearah udara.

Darah mengalir dari telinga.

(Edelweiss, Intan Savitri) dikutip apa adanya, dengan immersed strategy. Teks melibatkan pembaca dalam pengalaman teks.

Terjadi kerusuhan. Para demonstran saling merapat. Polisi mulai merasa perlu untuk melawan para demonstran. Demonstrasi berlangsung ribut dan penuh provokasi. Mungkin sebentar lagi akan jatuh korban jiwa.

(Teks Edelweiss) Teks ditulis ulang dengan distancing strategy. Pembaca menjadi observer (pengamat) terhadap apa yang teks.

Mana dari paragraph di atas yang menurut Kamu, membuatkan merasa berada mengalami (experience taking) seperti yang dialami tokoh di dalam teks? Hampir pasti teks yang pertama bukan? Pembaca terdorong untuk merasakan sakitnya kepala Herr Basuki ketika sebongkah batu melayang dan mengenai pelipis kepalanya, membuatnya roboh. Tetapi paragraph yang kedua tidak terasa demikian. Mengapa begitu? Pertama adalah : 1. Sudut pandang ; 2. Bahasa yang dipilih. 3. Situasi yang dibangun.

  • Sudut pandang orang pelaku digunakan dalam paragraph yang pertama, sudut pandang pengamat digunakan pada paragraph yang kedua.

  • Bahasa yang dipilih. Bahasa pada teks paragraph pertama lebih banyak menggunakan kata-kata kongkrit (batu melayang, mengenai pelipis, ia roboh) sementara paragraph kedua lebih banyak menggunakan kata-kata abstrak (kerusuhan, ribut, penuh provokasi, korban jiwa, demonstran)

  • Situasi yang dibangun. Karena komposisi dari pilihan bahasa serta sudut pandang yang dibangun pada paragraph pertama lebih kongkrit, maka proses mengalami (experience taking) yang dirasakan pembaca menjadi lebih kuat daripada paragraph kedua. 

    • Demikian, jika analisisnya dari segi teks yang ada.

    • Nah! Jika kamu melihat seseorang sedang membaca fiksi atau menonton film sedih, menangis dan kamu mengatakan, ‘ih ngapain nangis sih? Baper ya?! ‘ maka ada pembahasan dari sudut pandang pembaca fiksi atau pemirsa film. Kauffman & Libby (2012) mengatakan bahwa ada karakteristik (trait) person tertentu yang mendorong atau mempersulit terjadinya experience taking. Komponen inti dari mengalami adalah self concept atau konsep diri.

    • Pertanyaannya? Bagaimana seseorang bisa menurunkan konsep dirinya dan tercerap lalu mengalami apa yang dialami tokoh di dalam teks, sementara ada yang meningkatkan konsep dirinya, dan tidak bisa mengalami apa yang dialami tokoh di dalam teks?

    • Tunggu lagi ceritanya yaaa! 

    • D.N.S Bhat (2004) “Pronouns” Oxford Studies for Typhology and Lingustic Theories,  Oxford University Press Inc., New York

      Kauffman., G.F. & Libby. L.K., (2012). “Changing Believe and Behavior Through Experience Taking”, Journal of Personality and Social Psychology

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *