Awas nanti jadi suka, lho, begitu kata orang kebanyakan kalau lihat ada dua orang lawan jenis yang (mengaku) saling benci. Meski nggak selalu terjadi, tapi nggak jarang juga fenomena ‘benci jadi cinta’ini terjadi. Penelitian soal cinta dan benci dalam konteks hubungan romantis membuktikan dan memberi penjelasan soal betapa tipisnya jarak antara cinta dan benci. Kalau benci bisa jadi cinta, begitu pula cinta yang bisa jadi benci. Ini ada hubungannya sama gimana kamu mengelola perasaan dan hubungan interpersonal. Simak fakta-fakta berikut, ya!
Hubungan Cinta dan Benci
Alford (2005) menyatakan kalau benci adalah ‘imitasi’ cinta. Dalam konteks hubungan romantis anak muda, rasa benci bahkan disebut sebagai cerminan dari cinta. Cara ilmiah buat menjelaskan dekatnya hubungan cinta dan benci sendiri cukup kompleks, mulai dari segi dinamika perilaku sampai jalannya bagian-bagian tertentu di otak manusia.
Cinta dan benci dalam kaitannya dengan otak salah satunya diteliti dalam penelitian Zeki dan Romaya (2008), dan ditemukan fakta bahwa ketika orang dihadapkan dengan foto orang yang dicintai ataupun dibenci, hal itu mengaktifkan bagian-bagian otak yang sama. Di antara bagian tersebut adalah insula, bagian yang menentukan intensitas emosi dan sebesar apa upaya yang diambil untuk terlibat sama sesuatu (dalam hal ini orang yang dicintai/dibenci) yang memicu emosi itu.
Benci biasanya menimbulkan rasa permusuhan. Dari musuh, berubah menjadi rival begitu ditemukan kalau kedua pihak punya kesamaan nilai-nilai tertentu. Persaingan kemudian memicu kecenderungan untuk saling belajar dari pihak saingan. Kalau udah mulai saling tergantung, hubungan di antara dua rival bisa membaik. Membaiknya hubungan ini adalah dasar dari cinta. Begitu gambaran sederhana soal dinamika perilaku yang bisa bikin benci berubah jadi cinta.
Sekarang gimana ceritanya cinta bisa berubah jadi benci? Penelitian Jin, Xiang, dan Lei (2017) menemukan kalau semakin mencintai orang lain, semakin besar benci yang mungkin ditimbulkan. Fakta itu dijelaskan lebih jauh dengan perumpamaan ketika apa yang diberi seseorang buat pasangannya nggak sepadan sama apa yang didapat sebagai balasan. Semakin kamu mencintai seseorang, semakin kamu lebih banyak memberi. Lebih banyak memberi waktu luang, usaha, menaruh harapan, dan sebagainya. Kala semua itu nggak terbalas, cinta bergeser menuju benci. Penelitian juga menyebutkan kalau orang dengan cinta yang besar itu lebih sensitif. Sekalinya dikhianati, benci yang muncul bisa jauh lebih besar.
Selain perubahan dari benci jadi cinta dan cinta jadi benci, keduanya pun bisa ‘berjalan bersamaan’. Ini yang disebut orang-orang dengan love-hate relationship. Di satu sisi kamu bisa aja cinta sama seseorang, tapi orang yang sama juga yang jadi penyebab rasa benci. Kamu nggak bisa memilih sendiri film yang mau kamu tonton berdua. Kamu nggak bisa me time sesukamu ketika harus membantunya sewaktu-waktu. Sampai ke derajat tertentu, nggak bisa melakukan hal yang kamu mau ini jadi contoh gimana satu orang yang sama bisa jadi alasan bagi rasa cinta dan benci. Walau terkesan bertolak belakang, cinta dan benci ini bisa jadi beda-beda tipis.
Mengenal dan Mengelola Perasaan Sendiri
Manusia pada dasarnya termasuk makhluk emosional, dan bagian yang kadang sulit adalah mengenali perasaan sendiri dengan tetap berpikir rasional. Mengelola perasaan termasuk cinta dan benci lantas bersikap rasional itu penting dalam rangka menjaga hubungan baik sama orang lain. Berikut ini ada tips-tips yang mungkin bisa membantu kamu melakukan itu.
- Belajar meregulasi emosi.
- Buat mood tracker; ini bisa membantu kamu mengenal dan meregulasi perasaan kamu sendiri.
- Ketahui dan terimalah kalau perasaan itu memang mudah berubah.
- Terima perasaan yang ada alias nggak serba denial.
Di waktu-waktu tertentu perasaan bisa sebegitu intensnya sampai mengambil alih logika. Mengelola perasaan dan menjaga hubungan yang sehat sama orang lain juga termasuk cara buat memaksimalkan fungsi kehidupan kamu, lho. Kamu yang lagi kepalang benci sama orang lain, hati-hati, mana tahu besok-besok udah berbalik jadi cinta, dan begitu pula sebaliknya~
Referensi:
Jin, W., Xiang, Y., & Lei, M. (2017). The Deeper the Love, the Deeper the Hate. Frontiers in Psychology, 8, 1-7. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01940