LOKUS 1
Aku tidak tahu apakah tulisanku ini akan membuatmu berhenti percaya, atau sebaliknya menjadi semakin yakin bahwa hanya Dia yang pantas untuk mendapatkan seluruh kepercayaan kita dan pada akhirnya menguatkan kita. Ya, aku tahu aku tidak akan mampu memaksakannya padamu. Itu pilihan.
Dan, semua pilihan ada pada kita. Seperti yang sering diucapkan oleh orang-orang bijak.Tetapi tentu saja, bagi yang menjalani, mengalami, jatuh-bangun dalam peristiwa-peristiwa buruk, akan lebih mudah untuk mengerti. Membaca buku dan menghadiri seminar, melihat dan mendengar pastilah tidak sama seperti kita mengalami. Itu juga kata orang bijak, Confusius namanya.
Pada akhir buku ini, engkau akan tahu bahwa meletakkan takdir sebagai alasan kita terhadap pilihan-pilihan manusia tetap saja bisa dilihat dari dua sisi, kepengecutan atau keimanan. Lagi-lagi terserah kita, manusia, yang diberikan kemewahan untuk memilih.
Yang pasti, pada saat aku mengetikkan huruf-huruf ini dan kamu bisa membacanya, aku sedang berjuang, berjuang untuk menyerah. Menyerah pada takdir. Menyerah pada pasrah, yang sering kukutuki sebagai kelemahan.Tetapi dalam perjalananku untuk menyerah itu, sesungguhnya menyerah pada pasrah seringkali menjadi jendela untuk udara yang akanmembantuku sedikit untuk merasa lega. Sebab ternyata masih ada tempat untuk menghela nafas dan menghembuskannya dengan sukacita. Tempat di antara kemarin yang mungkin penuh penyesalan dan esok yang mungkin saja ada harapan.
Tempat itu adalah hari ini.
**
Al Jannah Memorial Garden: Jakarta 2035
Ini adalah hari ke tiga puluh, setelah kepergian Ibu. Laki-laki itu masih tetap datang, selalu tepat pada waktu aku mengunjungi makam Ibu. Seperti biasa ia selalu berhasil memunggungiku, tetapi dengan posisi duduk yang sama, memegang sebuah buku dan segenggam bunga wangi, sepertinya melati dan kantil. Ia duduk di samping makam, kira-kira tepat di samping kepala Ibu di baringkan dalam tanah. Ia seperti membacakan buku itu, pada Ibu. Dan seperti hari-hari lalu, aku hanya dapat melihat punggungnya, yang sedikit melengkung tetapi bahunya masih tegap, kaki dan tubuhnya masih terlihat kuat. Siapa laki-laki itu? Penggemar Ibuku? Seseorang yang merasa begitu bersalah sehingga dia meluangkan beberapa jam setiap harinya untuk membacakan buku pada orang mati? Sebegitu penting ibu untuknya?
**
Tak mudah memang, setiap mengingat apa yang terjadi tiga puluh hari lalu. Masih menyisa sesak di dalam dada, seperti semacam luka sayat yang terkena keringat. Seperti sekarang, tetiba semuanya terbayang, Mataku memanas, dadaku bergetar. Ibu yang tertelungkup, darah yang bersimbah, mata yang terpejam, dan setumpuk tanda-tanya. Ketidakmengertian selalu menjadi mimpi buruk, kecuali kita berhenti mempertanyakan, atau berhasil memaknai, atau mencari solusi. Menekan ketidakmengertian hanya akan beresiko pada suatau saat ia akan meluap, dan mungkin melukai, kecuali kita bisa menyerahkannya pada penguasa hidup. Aku tidak ingin yang terakhir, tetapi ketidakberdayaanku saat ini membuatku harus melakukannya.
Kata petugas kepolisian tidak ada tanda-tanda kekerasan yang membuat ibuku terbaring kaku di jalan raya, bersimbah darah, melayang terlempar dari lantai enam. Ibu bunuh diri? Hal yang paling tidak ingin kupercayai. Seseorang ingin melenyapkan ibu? Untuk apa? Apakah ada seseorang yang terganggu oleh seorang penolong seperti ibu? Hari-harinya dipenuhi anak-anak remaja delinquent yang membutuhkan terapi, orangtua-orang tua cemas yang merasa perlu berkonsultasi pada ibu, orang-orang patah hati yang mencoba menyambung kembali hatinya yang retak, para pekerja depresif yang meluangkan waktunya demikian banyak untuk mendapatkan uang dan berakhir dengan cara menghabiskan uangnya untuk membeli anti depressan, xanax dan sejenisnya. Atau, mungkin pada dasarnya semua orang menyimpan sedikit atau banyak kepribadian raja Solomon, yang begitu bijak memberikan solusi pada orang lain, tetapi harus berjuang sangat keras untuk menyelesaikan masalah hidupnya sendiri. Paradoks.
Tunggu, Raja Solomon? Ibuku, Ratu Solomon?
**
Laki-laki yang sejak tadi terpekur di makam ibu bergerak. Sungguh aku berharap dia akan bergerak ke arahku, sehingga aku bisa memindai wajahnya. Tetapi seperti tiga puluh hari lalu, aku hanya bisa menangkap punggungnya yang sedikit melengkung, ia seperti tahu dari arah mana aku akan datang, nalurinya seperti menangkap aroma tubuhku dan menyiapkan punggungnya saja untuk kuamati. Lelaki itu menaburkan bunga-bunga yang sedari tadi ada dalam genggamannya, menutup buku yang beberapa saat telah selesai dibacanya, berdiri dan berjalan kearah berlawanan dari tempatku berdiri. Aku mengamati langkahnya yang tegap, kurasa ia telah cukup berumur tetapi kaki-kakinya yang kokoh itu mengisyaratkan ia sangat sehat. Ya, aku tahu, seharusnya aku bisa saja mendatanginya, menyapa, menanyakan hubungannya dengan ibuku, tetapi bukankah itu akan mengurangi kenikmatanku dalam upaya memahami ketidak-mengertianku ini? Ya, tentu saja , hidup yang tidak dihayati adalah hidup yang tak pantas dijalani.
Maka demikianlah, aku disini. Duduk terpekur dalam posisi yang sama dengan laki-laki tadi. Hanya saja aku tidak membaca buku, aku hanya diam menatap gundukan tanah berbentuk persegi panjang dengan rerumputan yang tumbuh subur terawat. Ya, Al-Jannah Memorial Garden pemakaman dengan luas berhektar-hektar ini pernah disebut-sebut Ibu tempat yang ia siapkan sendiri untuk dimakamkan. Ya, sendiri, sebab ibu menabung khusus untuk tinggal di sini. Perempuan yang penuh rencana, itu ibuku. Aku mengerucutkan bibir, untuk menahan apa yang menyesak di dalam dada, hampir meluap jika aku tidak segera mengambil jarak ke udara. Melihatku sendiri yang sedang menekuri makam dan berduka. Sampai kapan? Mungkin hingga terjawab segala ketidakmengertian. Aku tengadah memandang langit, aku ingin melihat-Mu menunjukkan dan menjawab ini semua, agar terasa adil di hatiku.
Sesaat segalanya menjadi lebih lapang ketika aku bisa melihatku sendiri dalam lanskap hektaran tanah dengan hamparan hijau berbentuk persegi dan taman-taman kecil penuh bunga di setiap sudutnya. Aku melihat diriku sendiri seperti sebuah titik diantara jutaan kata, kalimat, paragraph yang akan merangkai seluruh cerita ini. Menunggu tanda-tanda dan narasi lain untuk bergabung agar tuntas kisah tentang ibu dalam hatiku, meski aku tahu Ibu pasti menyimpan detil-detil cerita di suatu tempat dan pasti ia ingin aku mencarinya. Sesungguhnya bukan rasa kehilangan yang aku takutkan, tetapi alasan kehilangan yang kukhawatirkn.
Ponselku bergetar, nomor kantor. Aku menatap sekilas tanda waktu: 15.50 Astaga, hari ini aku ada janji ketemu dengan klien, pukul 17.00. Kuusap pusara ibu pelan, seperti aku mengusap punggungnya setiap kali ia merasa lelah.
“Permisi dulu, Bu. De harus bekerja” Dadaku kembali memberat, mata dan ujung hidungku memanas.
Sungguh, salah satu hal yang paling berat dilakukan dalam hidup adalah merelakan sesuatu. Sebab merelakan mengharuskan kita melepaskan semua keterikatan kita dengan masa lalu. Dan melepaskan rasa khawatir akan ketidaknyamanan yang mungkin muncul disebabkan kita tak lagi merasakan apa yang pernah ada, dan membersamai kita, apa yang mungkin pernah menjadi bagian dari identitas diri kita. Aku tahu semua itu, tetapi ternyata pengetahuan tidak cukup.
“Ayo, Pak. Kita kembali ke kantor” Aku memberi aba-aba pada pak Rom, sopir pribadi Ibu, yang sekarang menjadi sopir pribadiku sekaligus sopir kantor. Semenjak ibu meninggal, Pak Rom memintaku agar boleh tetap bekerja, maka aku memindahkan Darto sopirku, menjadi sopir bagian marketing, dan Pak Rom menggantikan posisi Darto. Itu juga kemauan ibu, tertulis lengkap di wasiatnya. Salah satu dari tulisan eksplisit yang bisa aku pahami dan bisa ditindaklanjuti, sisanya aku masih berusaha memahaminya. Beberapa waktu lalu, kepolisian meminta agar wasiat ibu yang dituliskan dalam buku harian itu dibuat salinannya, untuk keperluan penyidikan, aku sudah memberikannya, meski dengan berat hati. Sebagaimana Ayah keberatan jenazah ibu diotopsi. Diantara keinginan untuk mengubur dalam-dalam kenangan bersama Ibu, aku masih ingin menjawab setumpuk pertanyaan yang terus bergaung di kepala: Mengapa Bu? Apa yang terjadi?
**
Buku harian ibu ada dalam puluhan map yang ada di dalam laptopnya. Ibu memilah tulisannya berdasarkan tahun. Jumlah map berdasarkan tahun itu, aku tidak tahu persis berapa jumlahnya. Sepertinya ibu menulis dengan menggunakan laptop, sejak usia remaja akhir. ketika Ibu bersekolah di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, ibu menulis dalam buku dengan kunci sebagaimana remaja-remaja lain, aku sudah membongkarnya semua. Tapi masih nihil, aku tidak menemukan hal-hal aneh, kecuali ada kata-kata yang tak kumengerti yang terserak tak terangkai dengan baik.
Sudah hampir sebulan ini, sepulang kantor aku menyempatkan membaca catatan Ibu. Ya, rasanya sangat tidak nyaman, aku seperti memeriksa dengan cermat seluruh detil-detil sejarah hidup ibuku, menelanjanginya satu demi satu. Ya, hidup Ibu sepertinya belum semuanya sempat diceritakan, atau sebenarnya tidak ingin Ia ceritakan. Tetapi aku harus melakukannya, demi sebuah jawaban yang semoga akan memberikan ketenangan pada hidupku.
Di dalam mobil aku menyempatkan membuka salah-satu map Ibu. Tertulis di dalamnya, banyak kata-kata yang tidak kumengerti. Gerakan KJ, Bakin, N2I2, faksi moderat dan faksi islam, welfare approach. Apa ini? Ibu terlibat gerakan terlarang? Atau ini catatan tentang pemikiran delusif klien-kliennya? Keningku berkerut. Kenapa juga aku terlalu penurut, aku tak pernah punya wawasan organisasi. Duniaku hanya kampus, rumah sakit, rumah, sesekali panggung boneka si Papi tempatku berlatih olahsuara menghibur anak-anak dari sekolah-ke sekolah, ulang-tahun ke ulang tahun. Hanya itu kegiatan sosial yang kulakukan, aku tidak dididik untuk mengerti politik. Bahkan mungkin, Ayah dan Ibu sengaja mengasingkanku darinya.
Setahuku, pada saat remaja Ibu memang terlibat dengan berbagai organisasi kemahasiswaan, bahkan ibu adalah salah satu tokoh penting sebuah gerakan sosial Islam yang sekarang menjadi salah satu partai Islam yang dikenal cukup solid. Tetapi bukankah Ibu sudah memilih berhenti di tahun 2009 ? Masih terngiang di telingaku ketika aku bertanya pada Ibu, saat aku masih semester IV fakultas Kedokteran UI : “Dea ingin aktif organisasi, Bu? Tapi sering bingung bagi waktu sih? Hmm sebaiknya organisasi apa ya?” Ibu menjawab panjang lebar dengan nada dingin: “Kamu.. fokus kuliah saja, jadi professional. Kalau kamu pingin aktif organisasi pilih organisasi intrakulikuler, ada Senat, ada Himpunan Mahasiswa kan? Tidak usah berkiprah di organisasi-organisasi yang digunakan para mahasiswa untuk jadi kendaraan politik ketika kelak mereka telah lulus kuliah, seperti HMI, KAMMI, PRD, GP Anshor, Pemuda Muhammadiyah, KNPI, atau yang lainnya. Gunakan saja keahlian profesionalmu untuk hidup, jangan bergantung pada kelompok, kecuali kelompok professional.”
“Ah, Ibu apolitis? Bukankah Ibu dulu aktifis partai?” Aku menatap wajah Ibu. Aku ingat senyum ibu saat itu, Ibu mengulum bibir bawahnya. Senyum getir.
Kematian ibu terkait dengan politik?
Selulerku berdering lagi. Kantor. Lamunanku tentang Ibu menguap.
“Ya?”
“Aeesha sudah tidak sabar Mbak, jam berapa tiba di kantor? Dia uring-uringan, tidak terkendali!” suara Nindya terdengar panik. Nindya masih kuliah di psikologi UI, belum terbiasa menangani klien dengan kepribadian seperti Aeesha.
“Sabar Nin, kamu tenangkan dia dulu.., paling 5 menit lagi, tahu sendiri, Kuningan selalu macet!”
Wajah manis Aeesha melintas. Hidung mungil, kulit gelap, matanya sipit dan bibir tipis, manis sekali. Usianya sebelas tahun lebih muda dariku, jenius, IQ-nya 150, cara bicaranya mempesona, charming, perencana yang handal, penggemar detil yang luar-biasa, banyak yang memujanya tak cuma pria, tapi…
“Sudah tiba Non!” suara pak Rom membuyarkan lamunanku. Mobil berhenti di depan lobby gedung bertingkat 12 di daerah Kuningan. Aku bergegas. Mengabaikan security yang memberi hormat dan resepsionis yang berdiri menyambut kedatanganku.
**
-Lokus 2-
Lelaki berusia 27 tahun itu menatap cermin dengan penuh khidmat. Seperti Narcissus sedang mengagumi citra dirinya yang terpantul dari danau. Ia menjulurkan lidahnya sendiri. Tertawa lebar tanpa suara. Mengerenyitkan alisnya. Lalu menyampingkan wajahnya, melihat pantulan dirinya dari samping, mengatupkan sedikit mata kirinya lalu menatap cermin seperti tatapan mata agen 007. Ia seperti sedang menjajal seluruh otot-otot wajahnya, dan meyakinkan kata-kata apa yang pantas untuk pantulan di cermin.
“Jelek!” katanya sambil menjulurkan lidah pada cermin. Lalu ia menciumi sendiri ketiaknya, endus kiri, endus kanan. Lalu berteriak,”Jelas parfum ketek!! Tapi kenapa cewek-cewek itu suka sama gue ya? Mereka yang bodoh, atau gue yang pintar?
Seluler yang berada diatas nakas berbunyi, sebuah nama berkedip. Ia meraih seluler itu dengan ringan, sorot matanya melembut.
+ “Ada apa sayang..” ia mengetik teks, lalu mengirim
-“Sebeeeell..” hanya beberapa detik ia sudah mendapatkan balasan.
+“Kenapa..”
-“Nungguu ini luamaaaa..”
+“Kalau yang ditunggu aku? Gimana? Terasa lama juga gak?”
-“Enggaaak.. deg-deg an…”
+“Deg-degan? Kenapa siih”
-“Enggak tahuuu!”
+“Yaaa.. yang sabar yaaa..”
-“Eh itu udah datang, bentar ya!”
Lelaki itu meletakkan selulernya. Iya, memang begitu saja caranya. Ia tidak menginterogasi, ia hanya menjawab pertanyaan yang ada dalam teks, ia bahkan tidak bertanya menunggu siapa. Ia hanya melayani keluhan-keluhan sederhana. Perempuan tidak perlu solusi, mereka hanya butuh didengarkan, untuk hal-hal remeh-temeh semacam itu. Man who doesn’t know how to treat a lady, pasti langsung kasih solusi! Lalu perempuan-perempuan itu tidak akan merasa dimengerti, bosan dan pergi. Ia menggaruk-garuk kepalanya sendiri, ia tidak tahu darimana ia mendapatkan pengetahuan seperti itu, it’s just comes out of the blue. Mungkin gue kebanyakan nonton film romantis Hollywood!
Selulernya berkedip lagi. Nama yang lain. Ia mengangkat alisnya. Lalu membaca teks.
+“Lagi apaaaaa?” teks terbaca.
Mulutnya mengerucut. Membaca teks itu sambil berpikir. Seseorang yang bertanya sedang apa, terbayang dalam benaknya. Mungkin ia sedang menunggu pesawat di bandara, sendirian. Atau pikirannya sedang buntu karena belum menemukan solusi pekerjaannya, sehingga perlu rehat sejenak. Atau habis diomelin atasan sehingga membutuhkan dukungan sosial. Ini sih.. kata pacar gue yang satunya lagi, yang calon dokter spesialis kandungan itu.
+”Lagi ngacaaaa” jawaban jujur
-“Waaaa.. emang mau kemana dandan?”
+”Nggak dandan, lagi ngeliatin muka, kenapa jelek begini yaaa” jujur lagi
-“ Hihihi.. baru tahu? Kemane aje?” pertanyaan retoris menggoda
+”Tapi kamu suka kaaan?” pertanyaan iseng
-“Sukaaa bangeeetts!” jawaban serius.
Nah lho, gue jelek tapi cewek suka. Ah, cewek memang aneh. Saling berkirim obrolan kecil terus berlanjut. Bahkan selama ia mengemudikan mobilnya. Keduanya sama-sama saling memenuhi, kebutuhan akan hal-hal kecil tak penting yang menjadi seolah-olah penting. Bagi si laki-laki tetap menjadi tak penting sebab siapapun yang mengirim teks baginya anonim saja, bagi si perempuan, ia membiarkan sekerat demi sekerat hatinya untuk diberikan secara suka dan rela pada lelaki yang tetap saja memandang bahwa obrolan kecil itu tak punya makna lain, selain sebagai sebuah obrolan.
Lelaki 27 tahun itu. Profesional muda di sebuah perusahaan IT. Wajahnya biasa saja, kulit warnanya coklat terpanggang matahari, dagunya tumbuh berewok penanda kejantanan, dan kacamata yang minus 3 yang mencitrakan intelektual. Kaki-kakinya kokoh, mungkin ia separuh olahragawan. Tetapi, otaknya sama seperti semua otak laki-laki, belahan hemisphere kanan dan kirinya terpilah dengan baik, dengan jaringan corpus callosum yang tipis sehingga memungkinkan ia memisahkan antara afek dan kognisi, hormon tidak bercampur.
Tahukah kamu, itu sebabnya, laki-laki bisa menyalurkan hasrat tanpa mengaitkannya dengan afek, sebab kemampuan untuk meredakan hasrat terletak built in di dalam kognisinya, insting untuk bereproduksi yang tak pernah reda, beberapa pakar menyebut otak bawah pinggang. Kecuali secara fisik menjadi disfungsi, atau mengalami ketertekanan mental.
Jika perempuan memproses ketertarikan pada pasangan potensial pada wilayah nucleus caudata pusat perhatian, ingatan dan emosi , sementara laki-laki memproses hal yang sama pada korteks visual yang bertanggungjawab atas terciptanya rangsang seksual. Maka, perempuan mengingat, mengenang. Laki-laki melihat untuk terangsang, menuntaskan dan mungkin segera pergi. Kecuali ia telah bersedia memberikan komitmen.
“Pagi, Honey! “ Ia menyapa Honey Manulang resepsionis yang manis.
“Pagi, Pak Asmara” Perempuan muda itu segera berdiri, lalu tersenyum semanis mungkin, sambil berharap bos mudanya menatapnya lebih lama. Tetapi nampaknya Asmara Dahana, nama lengkap laki-laki muda itu, asik dengan selulernya. Menelpon kesana-kemari dengan nada bicara yang cepat, dan seperti kebanyakan orang-orang Jakarta. Seolah waktu adalah sumberdaya yang selalu segera habis digerogoti dan dikeroyok oleh seluruh penduduk bumi. Maka ia mengatupkan bibirnya, kecewa.
Segera setelah Dana -begitu ia dipanggil sehari-hari- tiba di ruangannya, ia meletakkan tas berisi berkas-berkasnya. Ia menatap meja yang penuh dengan kertas rancangan sistem. Ia sedang menangani beberapa pembangunan sistem di beberapa rumah sakit. Ia menggaruk kepalanya. Kapan pacarannya nih, kalau kerjaan seabreg begini?
“Pagi Bos,” Seseorang membuka pintu dan melongok ke dalam. Andri Tanu, sahabat sekaligus anak buah kepercayaanya. Cuma pada Andri, Ia membuka seluruh rahasia hidupnya. Dana menatap wajah kalem di pintu. Alisnya terangkat. “Jangan lupa jam 10 ada rapat dengan pemilik RS Hermana.” Lanjut Andri.
“Hari ini ada rapat ya?” Dana bergumam seolah-olah tak percaya. Perlahan Andri menyorongkan seluruh tubuhnya dan berdiri diantara pintu dan kusen. Ia tahu, kalau Dana memberikan pertanyaan retoris seperti itu, ia sedang banyak pikiran. Pasti gara-garak ketiga ceweknya!
“Nape Lu? Ribet lagi ngatur jadwal dan venue?” Tanya Andri pelan. Bibirnya menipis. Tidak ada yang bisa membuat laki-laki berhenti bertualang memang, Mungkin cuma Tuhan yang bisa kasih tahu.
“Iya, aku ternyata tidak tahu, kalau ada dua orang yang ulang-tahunnya sama..” Dana menggumam lirih.
“Ha?! “ Andri melotot.
Dana merengut mendengar reaksi Andri.
“Dah, sana pergi aja Lu! Kasih tahu Honey saja soal rapat ini, biar dia yang atur semuanya. Soal ulang tahun, nanti gue aja yang pikirin! Brengsek lu!”
Andri tertawa geli tanpa suara. “Good luck my bro! “ Pintu lalu tertutup. Meninggalkan Dana yang masih masygul. Gimana skenarionya ya? Ia tak hentinya menggumam. Sambil mengangkat intercom untuk memanggil sekretaris sekaligus resepsionis di depan. Honey Manulang.
“Kamu kesini, segera ya”
Perempuan manis yang mengangkat intercom tergagap. “Iya, Pak. Tadi Pak Andri sudah menyampaikan soal rapat.”
“Ini soal lain, sini kamu! ” Dana sedikit tak sabar. Honey, sekretaris yang sangat penurut, ia mengiyakan semua yang Ia minta, perhatian dan lembut. Mirip dengan Ros, dan sangat jauh berbeda dengan Icha. Icha itu seperti anak macan, kelihatan lucu dan menggemaskan, tapi dia bisa mencakar dan menggigit kalau marah. Dana nyengir sendiri. Dan jaauh berbeda dengan Tama, kekasih ketiganya. Tomboi dan acuh tak acuh. Pelatih yoga dan pemilik studio senam itu, yang paling jarang mengontaknya, si tak pedulian. Kalau Tama yang ulang-tahun sih, tak perlu ribet begini, mungkin ia malah tak ingat tanggal berapa ia berulang-tahun. Tapi ini Ros dan Icha?
Suara pintu diketuk.
“Masuk” Dana masih melihat kearah bawah. Mengamati orang-orang yang lalu lalang dari kaca lebar di sisi kiri ruangan kerjanya di lantai 2.
“Ya, Pak?” Honey berdiri di depan meja kerja Dana. Kepalanya menunduk, entah kenapa jantungnya berdetak terasa lebih cepat jika bertemu dengan laki-laki muda ini. Ah, aku ini apalah, cuma lulusan diploma sekretaris, masa bisa ditaksir laki-laki yang pernah tinggal di luar negeri ini?
“Kalau kamu ulang-tahun, dan pacar kamu tidak datang, kamu gimana?” Tanya Dana tanpa melihat kearah Honey. Seolah-olah ia berbicara pada jendela di depannya.
“Ha? Maksud Bapak?” Jantung Honey berdetak makin cepat. Kenapa laki-laki ini bertanya masalah pribadi ya?
“Ya itu tadi pertanyaannya. Kalau kamu ulang-tahun dan pacar kamu tidak datang, kamu gimana? “
“Mmh.. cinta itu kan dalam keadaan susah dan senang, Pak. Ya tidak apa-apa, mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, atau studinya, atau orang-tuanya. Yang penting tetap berpikir positif saja sama dia, Pak.”
Dana tertegun mendengar jawaban Honey. Ia menoleh perlahan dan menatap sekretarisnya itu.
“Kamu tidak akan berpikir bahwa pacarmu itu egois, tidak pedulian dan mementingkan diri sendiri?” Dana masih menatap Honey. Yang ditatap langsung menunduk dengan cepat. Lalu menggeleng.
“Kamu tidak berpikir bahwa pacarmu sedang bersama dengan perempuan lain?” Tanya Dana lagi.
“Buat apa berpikir seperti itu, Pak? Saya nanti sakit hati sendiri.” Jawabnya pelan dan singkat.
Senyum Dana melebar. Ya, seperti itulah Ros. Maka ia sudah mendapat solusinya.
“Ok, terima kasih Han. Kamu bisa pesankan buket bunga, dua hari lagi? Tolong pilihkan yang paling bagus ya. Bunga mawar saja, Rose. Warna… mmmh, putih ya! Tolong nnti kamu pilihkan kartu yang ada bunga-bunga Ros biar saya tulis sendiri ucapannya” Dana nyerocos memberikan instruksi. Honey mendengarkan dengan tatapan kosong. Laki-laki ini sudah punya kekasih ternyata.
“Ditujukan kepada, siapa Pak?”
“Nanti kamu tahu, kan kamu nanti yang kirim. Carikan saja dulu ya, desain buketnya, nanti kamu kirimkan dulu fotonya lewat ponsel. Ok?”
“Baik, Pak. Ada lagi, Pak?”
“Siapkan ruangan untuk meeting. Kamu ikut, lobby serahkan pak Roko saja. Satu jam lagi, tamu-tamu dari Rumah Sakit datang kan.”
“Baik, Pak. Ada lagi?”
“Siapkan semua sistemnya, bilang sama Pak Andri, modul-modul dan aplikasi SIM RS-nya tolong disiapkan simulasinya, begitu.”
“Baik, Pak. Ada lagi?”
“Hmm.. terima kasih, Kamu baik hati.”
Deg. Jantung Honey hampir copot. Yang terakhir itu tidak relevan dengan semua perintah-perintah awal yang formal dan terstruktur. Wajah Honey Manulang memerah. Proses kognitif di hemisphere kanannya, memroses pesan kebahagiaan. Hormon kesenangan mengalir, endorphin, dan ia menyimpannya dalam memori, untuk dapat memanggilnya setiap saat ia menginginkan. Sebuah kenangan akan pujian, dari seseorang yang sangat signifikan. Wanita yang jatuh cinta, akan sulit melupakan.
-Lokus 3-
Gadis itu tidak lagi mengenakan kerudungnya,dahinya berkeringat, rambutnya yang lurus dan tipis melembab karena keringat. Ia sibuk melukis dengan warna-warna dengan wajah yang berseri-seri, penuh gairah. Warna-warna nyala dan kuat disapunya pada kanvas, ia melukis nyala api di tepi pantai. Goresan dari kuas yang terus-menerus digerakkannya itu begitu kuat dan percaya diri, warna biru bergradasi yang dilukisnya menghasilkan bayang-bayang ciptaan matahari membuat laut yang dilukisnya tampak sangat nyata.
Dea berdiri mematung menatap aktifitas kliennya. Ia tidak ingin mengganggunya. Gadis berusia sebelas tahun lebih muda ini, adalah klien Ibunya. Manis, jenius, dan akan menjadi sangat kreatif pada episode manic yang dideritanya meningkat. Punggung Aeesha telah basah oleh keringat, meski ruangan berukuran 4 x 5 meter persegi itu menggunakan udara kalengan, tetapi kemeja panjang yang dikenakannya lekat di kulitnya. Ia terus melukis, energinya melupa-luap. Dea perlahan mengambil buku catatan dari dalam tasnya, lalu mencatat hari, tanggal, jam dan seluruh aktifitas Aeesha, termasuk jenis gambar yang dihasilkannya. Pantai, api unggun, matahari, ombak, tetapi tak ada manusia.
Tiba-tiba Aeesha melempar kuasnya kuat-kuat kearah dinding! Tangannya gemetar. Dari balik punggungnya Dea bersiap menekan tombol alarm di dekat pintu masuk, yang terhubung ke ruangan staf klinik yang lain. Alarm bantuan. Punggung Aeesha tiba-tiba berguncang keras. Ia menangis. Histeris. Dea tertegun. Episode Manic-depression menyerang bersamaan. Ia maju perlahan. Menjulurkan jemarinya pada punggung gadis yang sedang menangis meraung itu. Membelai punggungnya pelan, seperti menggaruk, garukan ala Ibunya, setiap kali menjelang tidur, pelan dan lembut.
Aeesha serentak menoleh! Lalu menghambur dalam pelukan Dea. Masih meraung. Untuk kemudian perlahan melemah menjadi sebuah isakan yang keras, melemah lagi, menjadi sesenggukan yang kerap dan intens. Jari-jari Dea masih membelai punggung Aeesha. Dea berzikir dalam hati, seperti Ibu yang menggumamkan zikir di sisinya menjelang tidur, bahkan hingga ia dewasa dan berkesempatan tidur dengan ibunya.
“Sudah..?” Tanya Dea lirih. Gadis dalam pelukannya masih sesenggukan. Dea diam saja, menunggu badai di dunia kecil Aeesha mereda. Baru setelah nafas Aeesha tidak lagi cepat, isaknya tinggal sesekali. Udara hening melingkupi mereka berdua di ruangan itu sepertinya hanya ada suara nafas Aeesha dan dirinya.
“Ada apa..?” Tanyanya lembut? Satu pertanyaan cukup. Ia menjauhkan tubuhnya dari Aeesha, membimbingnya duduk di kursi terapi. Tapi seperti biasa Aeesha enggan duduk setengah tidur di kursi itu, ia justru berdiri menjauh dari kursi terapi dan memilih untuk memandang keluar jendela. Punggungnya sesekali bergerak karena isakan.
Dea masih menunggu. Menunggu dan diam adalah olah rasa yang hanya bisa dilakukan orang-orang yang mengerti, bahwa manusia membutuhkan waktu, waktu untuk menyembuhkan. Bahwa ada saatnya ketika lisan tak bisa mencari padanan kata-kata sebab hati dan rasa yang kelu, nyeri, dan pilu maka air mata yang akan memaksa berbicara. Bahwa tubuh menyimpa n deritanya saat rasa merasa menderita, kecewa dan luka-luka. Maka tangis adalah jendela, ketika lisan tak mampu bicara. Bahwa ingatan seringkali mengemas peristiwa dengan cara yang mendatangkan derita. Mengingat tak selalu menghadirkan bahagia.
Hening masih hadir diantara mereka berdua. Waktu seperti berhenti dalam hening yang panjang. Dunia berjalan sendiri-sendiri dalam pikiran keduanya. Udara menjadi tak berharga sebab tak menjadi perantara bahasa. Dea memusatkan perhatian pada bagian diantara kedua bibirnya, merasakan sensasi nafasnya sendiri yang hadir dan tak hadir dari lubang hidungnya. Dia peserta paling buruk dalam pelatihan meditasi reiki. Sebab berbahasa adalah hidupnya, dan berhenti menggunakannya berarti mematikan hidupnya. Diam itu sesaat meniada, seperti selamanya.
“Papa..” suara Aeesha lirih hampir tak terdengar, seperti tercekik di tenggorokan. Dea masih menunggu, sambil mengatur nafasnya sendiri. Klien paling lama yang didampinginya adalah Aeesha, sebenarnya dia adalah klien Ibu, tapi sejak Ibu meninggal, Aeesha menginginkan ia yang menggantikan. Aeesha penderita ganggua Bipolar sejak berusia remaja. Episode manic-depresifnya semakin sering muncul pada usia itu, dan dia berakhir di ruangan Ibunya, sejak delapan tahun lalu.
Dea masih membiarkan Aeesha mengatur ritmenya sendiri. Ia tidak mengganggunya sama sekali. Ia tahu, pada akhir gadis yang sejak berusia 16 tahun menjadi klien Ibunya itu akan berbicara dengan sendirinya. Ibunya yang berpesan begitu. Jangan mendesak, berikan jeda, sebab jeda menyebabkan kita memiliki kontrol diri yang cukup atas apa yang kita lakukan atau apa yang tak ingin kita lakukan.
“Papa sudah lebih dari tiga puluh hari ini tidak pernah pulang, ke rumah istrinya..” Akhirnya, sebuah kalimat yang panjang. Dea menatap punggung Aeesha.
“Jadi, Papamu pergi..” Dea hanya mengulang kalimat Aeesha dengan makna yang sama, menandai rasa empatinya dengan memilih nada suara yang lunak dan ringan.
“Iya, pergi. Dan istrinya mencarinya ke rumah kami” Suara Aeesha getas. Dea menangkap getaran di jemari kiri Aeesha. Gadis itu gemetar.
“Oke.. ia mencarinya ke rumahmu..” Dea perlahan mendekat dan membelai bahu gadis itu.
“Iya, ia melanggar janjinya untuk tidak menemui Mama! ”
“Ia menemui Mamamu. Kamu marah..?” Dea mengidentifikasi emosi Aeesha sembari menawarkan keberpihakan.
“Marah! Marah sekali!!” Kini getaran di tangan kirinya semakin nyata.
“Iya..marah sekali ya..” Dea menimpali. Sessi komunikasi terapeutik efektif seperti ini memang melelahkan, terapis hanya mengemas semua komunikasi yang dilontarkan oleh klien. Ibunya ahli dalam masalah ini. Ia merasa hanya sekian persen menguasai keahlian ibunya. Dan ia tahu, Ibunya mengalami perjalanan panjang untuk mendapatkan keahlian itu, jika tidak tentu jurnal-jurnalnya tak sebanyak itu.
“Sudah hampir 15 tahun, dia memenuhi janjinya! Kenapa harus sekarang muncul! Shit!! “ Aeesha sudah mulai mengumpat-umpat. Katarsis yang buruk, akan semakin memperburuk kondisi emosionalnya. Tapi Dea mendiamkannya. Ia sudah membaca jurnal Aeesha. Ia tahu, masa kanak-kanak Aeesha. Dibesarkan oleh Ibu yang memiliki kecerdasan tinggi tetapi memiliki kepribadian narsisstik, seorang kolerik yang demanding pada kesempurnaan hidup dan pencapaian-pencapaian duniawi. Anak-anaknya semua memiliki kecerdasan tinggi, tetapi tertekan karena dominasi ibunya. Termasuk Ayahnya.
“Keterlaluan menurutmu ya? Kenapa dia melanggar janjinya?” Tanya Dea. Bertanya adalah ketrampilan komunikasi tingkat tinggi, sebab pada dasarnya sang penanya seringkali sudah tahu apa yang akan didapat dari orang yang ditanya. Seperti Tuhan yang selalu bertanya “Maka nikmat manakah lagi yang Kamu dustakan?”
“Iya! Keterlaluan, sangat!” Aessha menggeram. “Dia cari Papa. Papa kemana aku gak tau, De! Papaku itu juga bikin pusing. Kata orang-orang di lapangan, Papa tidak muncul selama hampir sebulan ini.. Kemana Papa..” nada suara Aeesha berubah sedih. Ia sangat menyayangi Ayahnya. Walaupun ia selalu menyebut ayahnya, anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Tapi sungguh ia, sangat mencintai Papanya.
“Tapi Mama kamu tidak apa-apa kan?”
“Mama kambuh depresi anxientasnya. Aku jadi susah! Harus mengingatkan dia untuk minum penenang. Kalau kambuh, dia minta diantar ke rumah sakit. Nunggu di depan ruang operasi, melongok bayi-bayi yang dilahirkan caesar. Pernah minta diijinkan masuk ke ruang operasi! Nyusahin!! Pusiing! Malu!!” Aeesha nyerocos terus. Nafasnya mulai terengah-engah.
“Sudah.. minum obat dulu yuk..”
Cinta memang rumit. Mengapa orang saling menikah, jika pada akhirnya mereka saling membenci? Atau sesungguhnya mereka mencintai hanya untuk membenci? Apakah perasaan-perasaan itu justru membuat mereka merasa hidup? Apakah itu sebabnya kamu, hingga sekarang memilih untuk sendiri Dea? Perenungan sekilas Dea Irwina, berakhir dengan pertanyaan pada diri sendiri.
Dea menatap Aeesha yang perlahan meminum obatnya. Waktu seperti menghadirkan peristiwa-peristiwa yang sama, hadir kembali seperti labirin. Betapa tangguhnya manusia, bersedia dengan suka-rela menempuhnya.
“De.. cinta itu sebenarnya, apa ya?” Aeesha bertanya dengan menggumam. Entah ditujukan pada siapa.
Seseorang mengetuk pintung ruangannya yang sedikit terbuka. Sebuah kepala berambut shaggy melongok. Ninda tersenyum tipis melihat Aeesha sudah tertidur. Mata Dea menatap Nindya seperti bertanya, ada apa?
“Ini ada surat, sepertinya jawaban quotation kita kemarin.” Kata Nindya sambil mengulurkan amplop dengan logo salah satu perusahaan Negara itu.
“Wah kita ditunjuk?” Tanya Dea dengan mata berbinar.
“Sepertinya,” Jawab Nindya dengan senyum tipisnya.
“PT. Balai Pustaka (Persero)” Dea membaca logo perusahaan itu. Keningnya sedikit berkerut. Di mana ia membaca nama ini?
-Lokus 4-
Senja seperti rahim ibu, tempat hangat dan nyaman untuk bergelung dan menepi dari keramaian. Maka seperti biasa Dea memburu senja hanya untuk berbincang dengan warna temaramnya yang seperti selalu memihak muram hatinya. Dengan sekali putar, mobil yang kali ini dikendarainya sendiri, berhenti di parkiran pantai Ancol. Tempat favoritnya ada di sisi panggung tempat para penyuka ombak melihat latihan Angkatan Laut. Kali ini tempat itu sepi, mungkin karena hari ini tidak berada diakhir minggu. Orang-orang masih sibuk mengumpulkan uang, untuk dibuang nanti di penghujung minggu. Tak seperti dia, perlu sekarang membuang muram hatinya.
Kakinya melepas sepatu datarnya, pertanya yang kiri, lalu kanan, menggerakkan lehernya ke kanan dan kiri, menghirup udara laut dengan mata terpejam dan membiarkan telapak kakinya dibelai pasir dan wajahnya diciumi angin. Matanya menatap senja yang turun perlahan di ufuk barat. Matahari membesar, cahayanya tak lagi silau, melainkan melembut mengukung awan yang lisut. Angin pantai membuatnya repot menahan ujung jilbab agar tidak terbang. Dea menarik ujung bibirnya, menyenyumi debur pantai, dan gulung ombak berlapis biru gelap dan terang. Ia duduk.
Duduk diam menatap ombak lantas membincangkan semua tanpa kata-kata adalah kebiasaannya. Hanya kedip matanya yang beraturan, dan dadanya yang menghela nafas berat dan ringan, berganti-gantian. Hari ini laki-laki itu menelponnya lagi. Menanyakan apakah ia boleh menemani perjalanan hidupnya. Dea tidak bisa menjawab, sebab ia tahu, berpasangan belum juga menjadi prioritasnya. Masih ada Ibu yang perlu diprioritaskan. Hmmh.. tidak! Ini lebih pada keingintahuannya tentang Ibu yang perlu diprioritaskan. Ia bahkan tidak yakin, ibu menginginkan ia melakukan semua ini. Tidak ini bukan untuk Ibu, ini untuk dirinya sendiri. Sebab kita tak pernah dibenarkan untuk memberikan tanggungjawab pada orang lain, sebab kitalah yang memutuskan, bahkan sejak takdir dituliskan.
Dea membuka map ibu pada tahun terakhir ibu menyelesaikan sarjana tingkat satunya. Ia tahu Ibu adalah salah satu aktifis kampus, Ia curiga dari sanalah persoalan itu berasal. 1995 dua tahun sebelum kelahirannya. Map ibu semua berwarna putih pada tahun ini dan tahun-tahun setelahnya, lalu berwarna hitam setelah tahun 2008 dan kuning pada tahun kematiannya 2035. Apa arti warna-warna ini? Tanda apa? Mulutnya mengerucut, tanda ia berpikir keras. Ibu psikolog, tentu ia tidak menggunakan konsep Saussure untuk memberitahukan padanya apa makna warna-warna ini. Nonsenses syllabus pasti, teks dan simbol tak bermakna kecuali sudah ditemukan konteksnya. Lalu apa konteks putih yang dipilih ibu? Putih, tanda suci? Hitam gelap? Kuning, cahaya? Ah, Ibu mengapa jadi semisterius ini?
Dea membaca lagi pada map 1995. Melihat nama ayahnya di tuliskan, dan sebuah tempat, sepertinya nama masjid, dan sejumlah nama-nama. Lalu petikan surat dari Al-Qur’an “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21), lalu sebuah kata yang tercetak agak tebal: On Duty.
“Argh..! “ Dea menggeram. Tugas apa? Tugas yang dilakukan di masjid, bersama nama-nama itu? Apa hubungannya on duty dengan ayat-ayat Qur’an yang berisi tentang penciptaan pasangan? Dea merengut. Ia mulai menelusuri lagi. NKK BKK apa itu? Ia dengan segera membuka mesin pencari, dan mengetik kata NKK BKK. Sederet informasi muncuk tentang NKK/BKK, Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus adalah upaya pemerintah Orde Baru untuk meredam gerakan Mahasiswa. Tunggu, era ini Ibu belum jadi mahasiswa, kenapa ibu mencatat rentang waktu ini? Apakah ini semacam sejarah panjang aktifitas Ibu? Ibu kuliah pada tahun 1990-an. Gerakan mahasiswa selalu bisa ditarik benang merah bukan? Itu sebabnya, Ibu melarangku untuk aktif dalam organisasi ekstra kampus, dan menyarankan untuk aktif dalam intra kampus yang cenderung menekankan profesionalitas? Agar tidak terlibat dengan hal-hal ini? Kenapa? Berbahaya? Seberapa berbahaya?
Dea terus mencari, sekarang ia mengetikkan kata gerakan mahasiswa tahun 1990. Muncul berderet informasi. Hampir sama, seperti tahun-tahun sebelumnya, gerakan mahasiswa selalu berupaya dibungkam oleh pemerintah. Jika tahun 1966 Gerakan mahasiswa didukung militer, sehingga menumbangkan orde lama, maka tahun 1974 peristiwa Malari, Malapetaka Lima belas Januari justru sebaliknya, gerakan mahasiswa melawan militer! Tahun 1990, meskipun NKK/BKK dicabut tetapi Mendikbud saat itu Fuad Hasan mengeluarkan PUOK, Pedoman Umum Organisasi Kampus yang sebagian besar ditentang oleh Mahasiswa, karena dianggap sama dengan kebijakan sebelumnya, yakni mengebiri mahasiswa. Mahasiwa yang merasa tidak mandiri, menuntut agar didirikan lembaga yang lebih mandiri, tetapi tentu saja tidak akan pernah ada, utopia belaka. Kening Dea berkerut-kerut, Ibu apa hubunganmu dengan peristiwa-peristiwa ini? Ia sudah berupa mengetik nama ibunya dan mengaitkannya dengan gerakan Mahasiswa ini, tidak pernah terkoneksi kedua kata kunci itu. Apakah data itu dihapus? Oleh siapa? Mengapa? Dea mengerucutkan mulutnya. Kepalanya pening. Ia masih ingat,sekilas-sekilas, Ibu menceritakan padanya bahwa ia adalah peserta demonstrasi terkecil pada demonstrasi besar-besaran di tahun 1998, di sebuah kota budaya bernama Solo. Jadi apakah Ibu terlibat? Bukankah masa itu Ibu tak lagi mahasiswa? Apa peran ibu? Penonton? Pengamat? Think tank? Bukankah Ibu bukan siapa-siapa? Atau siapa-siapa? Ingatan itu begitu tipis sebab ingatan sebagian adalah bukan milih kita sendiri, ia bahkan seringkali diciptakan dan dikreasikan kembali oleh orang-orang di sekitar kita.
Berbarengan dengan itu, tanda bunyi masuknya surat elektronik yang telah diberi tanda penting, dalam telpon cerdas mengusiknya. Surat elektronik dari Nindya tentang PT. Balai Pustaka.
Balai Pustaka (Ejaan Van Ophuijsen:Balai Poestaka,bahasa Jawa ejaan lama:Balé Poestaka) adalah sebuah perusahaan penerbitandanpercetakanmilik negara Balai Pustaka didirikan dengan namaCommissie voor de Volkslectuur(bahasa Belanda: “Komisi untuk Bacaan Rakyat”) olehpemerintahHindia Belandapada tanggal14 September 1908.Commissie voor de Volkslectuur kemudian berubah menjadi “Balai Poestaka” pada tanggal22 September 1917 Balai Pustaka menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputikamus, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.
Menurut Menteri BUMN pada kabinet Indonesia Bersatu jilid II (2009), Mustafa Abubakar menyatakan Balai Pustaka terancam bangkrut dan akan dilikuidasi karena terus mengalami kerugian.
………………………..
Kening Dea berkerut lagi, ia berhenti membaca dan berpikir keras. Tahun 2009 sudah dinyatakan bangkrut dan sekarang tahun 2035 perusahaan ini masih ada? Ajaib sekali? Atau memang demikian tabiat perusahaan plat merah?
Reflek ia menelpon Nindya. Wajah Nindya langsung terpampang di layar
“Kamu cari informasi ini dari mana?”
“Tentu saja, internet, mbak. Dan juga situs resminya serta situs resmi Kementerian BUMN”
“Siapa nama Direktur utamanya sekarang? “
“Sebentar… “ jawab Nindya di seberang. Terlihat di layar ia membuka-buka dokumen. “Azra Anindya” jawabnya lugas.
“Cucunya Bakrie? Anaknya Anindya Bakrie? ” Dea melonjak. Ia pernah melihat ibunya berfoto dengan pengusaha muda tampan itu di tahun 2014.
“Kenapa mbak?” Tanya Nindya dengan cengiran khasnya. “Namanya mirip namaku ya? Anindya” lanjutnya lagi. Dea tidak menanggapi keisengan Nindya. Kenapa Bakrie?
“Mbak nemu apa di map Ibu? “ Nindya mengalihkan perhatian Dea.
Dea mendekatkan telpon cerdasnya pada layar laptopnya yang menampakkan kata terakhir yang ditelusurinya di map ibunya
: OTB
***
.