“Berbuat baiklah pada situasi yang tepat, orang yang tepat”

-Intan Savitri

Beberapa hari ini saya seperti dibombardir beberapa peristiwa yang mirip, tentang berbuat “baik”. Diantaranya bahkan dialami oleh saya sendiri, saat melihat anak ketiga saya, menghadapi dosennya yang ‘kritis’ tapi bermulut ‘kotor’. Dosennya selalu mengritik tugas desainnya, dan mengatakan ‘dodol!’ padanya, tak sedikitpun mengapresiasi.

Lalu, saya menawarkan perbuatan ‘baik’ pada Fadila. “Kamu mau, Umi bantu apa? Karena menurut Umi dosenmu keterlaluan, kasar pada siswa itu tidak boleh, mengritik boleh, berkata kasar tidak boleh”. Dila menjawab, sambil nangis “Tidak usah, Mi. Biar kuhadapi sendiri, cuma aku jadi takut, deg-degan dan keringat dingin kalau mau kelas dia, kasih tahu aja, aku harus gimana?” Baiklah, karena dia memilih saya untuk mengintervensi dia, alih-alih dosennya, saya lalu adakan konseling dadakan untuk fadila. Mengajarkan teknik relaksasi, lalu mengajaknya memikirkan insight apa yang bisa dia peroleh secara positif dari peristiwa itu. Syukurlah dia mendapatkannya, katanya: mungkin nanti kalau sudah terjun ke dunia fashion design juga akan lebih kejam dari ini, ya Mi? Dia hanya melatihku aja. Saya mengangguk sambil tersenyum (menelan dalam hati kata-kata: iya, sih, tapi mengatai ‘dodol’ pada anak murid itu sungguh tidak relevan!)

Lalu beberapa waktu kemudian saya mendapatkan Fadila berbinar-binar matanya, akhirnya Mr. F, itu memujiku Mi! Udah 3 kali. Katanya desainku bagus, dia suka! Yayy akhirnya.

Kemudian, ada lagi peristiwa ‘berbuat baik’ Ibu lain. Ini peristiwa yang dihadapi teman dari universitas lain yang ‘curhat’ pada saya. Katanya, menurutmu bagaimana mbak? Ini ada Ibu yang menghadapi ke kampus dan mau mencabut anaknya dari fakultas, sudah dua semester, padahal dia dapat beasiswa dari universitas. Alasan anaknya, “tidak cocok aja”, Ibu pun membela anaknya dan menyalahkan diri sendiri, katanya “memang kami orang tua, salah tidak bisa memahami anak”. Kata teman saya, tingkat SMA juga sudah sering pindah-pindah sekolah. Di kepala saya langsung terbayang, nanti bagaimana kalau kelak dia juga akan pindah-pindah ‘pasangan’ karena ‘tidak cocok aja’?

Dan terakhir, kemarin seorang Ibu mengirim pesan ke saya dan menanyakan, mengapa nilai Skripsi anaknya tidak bagus! Tega sekali dosen penguji memberi nilai ‘segitu’ memangnya anak saya ‘bloon banget’. Lalu sang ibu juga menghubungi dosen pembimbing skripsi anaknya, menanyakan hal yang sama. Sang ibu seolah berbuat baik, untuk anaknya. Kalau anaknya berusia sebelum 18 sih, saya masih terima diskusi tentang nilai. Tapi ini Mahasiswa! Sudah lulus pula! Membela anak adalah berbuat baik bukan? Benarkah bisa dilakukan di setiap situasi?

Perilaku pro-sosial atau menolong, pada dasarnya dianggap sebagai sebuah perbuatan baik. Tetapi kita sering lupa bahwa juga terdapat batasan-batasan perkembangan, batas-batas sosial, batas-batas deskripsi pekerjaan, bukan?

Contohnya, saat kita melihat ada dua orang pasangan suami-istri bertengkar. Jika pertengkaran dilakukan di restoran milik kita, maka kita berhak menegur karena mengganggu kenyamanan pelanggan lain, yang juga makan di restoran kita. Tetapi ketika pertengkaran dilakukan di jalan, kita baru boleh mengintervensi saat salah-satu dari pihak yang bertengkar melakukan kekerasan, paling tidak kita panggil polisi. Kalau hanya saling teriak sih, dengerin aja :D.  Hitung-hitung hiburan. Menolong mendengarkan curhat orang lain yang lawan jenis, juga berbahaya, apalagi kalau yang dicurhatkan masalahnya dengan pasangan. Kecuali, Anda konselor perkawinan profesional.

Kalau dalam kasus pendidikan, kita bisa memilih menolong dengan cara yang tidak mengerdilkan anak-anak kita, jika sudah remaja beranjak dewasa. Menolong menyelesaikan masalahnya justru akan membuatnya tidak pernah berlatih menghadapi masalahnya. Demikian juga ketika di kantor. Ketika teman kita berkonflik dengan kolega atau atasan. Sebaiknya tanyakan dulu: Apakah perlu bantuan? Apa yang bisa saya bantu untuk menolong? Sebab kadang-kadang kita lupa, berbuat (hal yang kita kira) baik, tidak selalu direspon atau berakhir baik.

Selamat berakhir pekan! Ayo berbuat baik dengan proporsional ! 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *