SASTRA INDONESIA DAN PEMERINTAHAN NIR STRATEGI KEBUDAYAAN -Sebuah Refleksi Akhir Tahun |
||||||||||||||||
SASTRA INDONESIA DAN PEMERINTAHAN NIR STRATEGI KEBUDAYAAN –Sebuah Refleksi Akhir Tahun -Intan Savitri* Strategi kebudayaan yang harus disusun ini tak lain adalah sebagai hasil perenungan, refleksi, kontemplasi mendalam dengan memahami hakekat kehidupan kebangsaan yang mengacu pada tujuan kita membentuk dan membangun negara.(SBY, pada pidato Munas Kagama ke 10, 2009) Benarkah pemerintah Indonesia saat ini, yang memikul amanat rakyat Indonesia dalam memimpin bangsa Indonesia memiliki strategi kebudayaan? Bagaimana dengan peristiwa-peristiwa ini ? 1) Klaim Malaysia atas produk budaya Indonesia: Reog (2007), lagu Rasa Sayange (2008), Batik (2009), Tari Pendet (2009), angklung (2010). 2) Tahun 2011 sebuah institusi budaya yang berada dalam lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM) yakni Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, pembiayaannya yang ditanggung oleh APBD DKI, berdasarkan SK no Surat Keputusan Gubernur (SK Gub) DKI Jakarta No. SK IV 215 tanggal 16 Februari 2011, menjadi hanya Rp 50 juta pertahun yang semula 350 juta pertahun, 3) Berubahnya Balai Pustaka, sebuah institusi yang semula menjadi salah satu eksponen sastra-budaya dan pendidikan Indonesia, berubah dari Perusahaan Umum menjadi Persero dan berstatus BUMN pada tahun 1996 hingga sekarang, tanpa dilakukan analisis memadai terkait kondisi internal institusi tersebut. 4) Perubahan Kurikulum 2013 yang memasukkan konten atau materi IPA dan IPS pada mata pelajaran Bahasa Indonesia (tanpa sastra), Bahasa Indonesia yang diajarkan secara teori dan bukan apresiasi apalagi ekspresi, semakin terbebani dengan konten IPA dan IPS. 5) Olimpiade Sastra bagi siswa tidak mendapatkan tempat sebagaimana Olimpiade Sains dan Matematika 6) Penurunan jumlah judul penerbitan buku bacaan dari 2009-2012 (data IKAPI dan edukasi kompas) dari 24.000 judul/tahun data IKAPI (untuk 693 penerbit (Perpusnas RI); 1009 penerbit (radio buku)); menjadi 18.000 judul/tahun data edukasi.kompas. Bagaimana bangsa ini mau berkesusateraan dan berkebudayaan jika jumlah penulis dan buku yang diterbitkan begitu sedikit?Sedangkan indikator IPM diantaranya adalah pendidikan, dan pendidikan tidak bisa dijauhkan dari ketersediaan bahan bacaan. 7) Universitas-universitas terkemuka menggunakan visi universitas riset, tetapi budaya universitas tidak menghargai riset, struktur dan manajemen tidak berubah menjadi kluster-kluster riset. Bagaimana bangsa ini menjadi bangsa yang berperadaban dan berbudaya tinggi, jika penelitian yang senantiasa bermaksud mengembangkan pengetahuan hanya sebatas slogan semata?Apakah gejala hipokrisi sudah menjangkiti para ilmuwan kita?Atau salah siapa? Kebijakan pemerintahan SBY yang cenderung pada hal-hal yang bersifat materialistik, lebih berorientasi pada fisik, mengedepankan ilmu-ilmu eksakta, hanya mengagung-agungkan teknologi, menganaktirikan perkembangan perkembangan humaniora dan pengetahuan sosial, merupakan bencana bagi pendidikan karakter bangsa Indonesia. Sastra dan Budaya seringkali dianggap sebagai pelengkap, jika tak ada pun tak apa, dianggap bukan hajat manusia dan bangsa Indonesia.Padahal sastralah yang berperan membentuk karakter, mengolah rasa, budi pekerja dan memanusiakan manusia. Belum lagi apa itu hakikat bangsa Indonesia, hakikat manusia Indonesia didefinisikan dengan lebih tepat, nyaris seluruh kebijakan pemerintah tidak memanusiakan manusia Indonesia. Strategi Kebudayaan Dalam politik kebudayaan dikenal istilah power, menurut Joseph. C. Nye, power adalah kekuatan atau kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.Nye menggolongkan power dalam dua spectrum, Hard Power dan Soft Power. TIGA JENIS KEKUATAN DAN KARAKTERISTIKNYA (NYE:2004)
Menggunakan pisau analisis power milik Nye (2004) kita akan dengan mudah membedakan pemerintahan siapa di Indonesia yang menggunakan strategi kebudayaan, apapun bentuknya. Jika kita tinjau periodisasi sastra,kita akan melihat distingsinya secara jelas. Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru adanya pada saat sebelum sebelum kemerdekaan. Pemerintah Belanda melalui DH.Rinkes menggunakan institusi Balai Pustaka sebagai bagian dari politik etis, untuk menertibkan bacaan liar.Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka.Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar).Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura. Setidaknya pada masa ini, pemerintahan Belanda menggunakan soft power untuk strategi kebudayaannya, menertibkan apa yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintahan saat itu. Dan tentu saja, tesis ini akan menimbulkan anti tesis berikutnya yakni saat munculnya Angkatan Pudjangga Baru, yang dipelopori oleh STA. Pada masa Pudjangga Baru, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting.Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa ituPujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis yang tentu saja mengkritisi pemerintahan Belanda yang menggunakan Balai Pustaka sebagai juru bicaranya. Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane.Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Hamka) dan Kalau Tak Untung (Selasih atau Sariamin Ismail) menjadi karya penting sebelum perang. Dalam situasi perang kemerdekaan, gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45.Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik.Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar.Selain Tiga Menguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia. Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi.Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956.Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia. Peristiwa 1965 mewarnai politik Indonesia, pada tahun-tahun ini sangat terasa strategi kebudayaan yang dilakukan oleh mantan presiden Soeharto untuk melegitimasi anti komunisme terasa hingga saat ini.Maka karya-karya sastra setelah 1965 itu, banyak mengangkat peristiwa seputar peristiwa memilukan tersebut.Muncul Angkatan 1966 Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis, yang dikemudian hari diteruskan oleh Taufiq Ismail.Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini.Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd.Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro,, dan Satyagraha Hoerip dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya. Berdasarkan riset doktoral Wijaya Herlambang (2013), pasca 1965 terjadi kekerasan budaya yang dilakukan oleh mantan presiden Suharto untuk menghabisi ideologi yang berseberangan dengannya yakni ideologi komunis. Dan sebagai kompetitornya yang kemudian berkembang adalah Liberalis Barat dengan tokohnya Goenawan Muhamad. Salihara berkembang menjadi institusi yang mengemban amanat liberalisme, sementara itu disekelilingnya muncul kelompok-kelompok sastra marjinal yang masing-masing memiliki posisi sendiri terhadap kerajaan sastra ini, seperti kelompok Boemi Putra pimpinan Saut Situmorang. Juga Forum Lingkar Pena yang mengklaim memiliki estetika sendiri (baca:Islam) yang didirikan oleh Helvy Tiana Rosa pada tahun 1997, persis setahun sebelum reformasi. Pilihan mantan presiden Suharto untuk merepresi ideologi, aliran dan kelompok-kelompok yang berseberangan merupakan harga yang harus dibayar demi pembangunan nasional.Hal ini semua terasa hingga tahun 90-an, yang pada akhirnya krisis ekonomi menjadi sumbu peledak bagi bom waktu pemerintahan represif ala Suharto. Setelah pemerintahan Reformasi (1998), sisi manakah terlihat strategi kebudayaan? Atas nama kebebasan, Indonesia kemudian menjadi semacam spons yang menyerap semua yang lewat. Remaja-remaja yang terputus benang sejarah dan tidak mendapati secara massif dan strategis produk kebudayaan yang menjadi mata rantai penghubung sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia, karena negara kita lebih banyak dibanjiri oleh produk-produk impor: Hollywood, Korean Wave, Bollywood. Demikianlah, pemerintahan nir strategi kebudayaan. Apakah kita akan menunggu kapal ini tenggelam? ———– * Pernah bekerja sebagai pekerja buku di PT. Balai Pustaka, salah satu Dewan Pertimbangan Forum Lingkar Pena, sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Indonesia fakultas Psikologi, dengan Disertasi Menulis untuk Kesehatan Jiwa |