Percaya Lewat Suara
Pagi yang Aaarrrggghhh….!!!!!
“ Skak mat…!!! kali ini kau kalah lagi Surya! Mau sampai kapan pun kau tidak akan pernah mengalahkan ku….!!!.”
Gubrak…! aduh bokong ku sakit sekali. Lagi-lagi aku terjatuh dari tempat tidur, dan ah… tunggu yang tadi itu hanya mimpi, tapi kenapa seperti nyata. Ya, aku seorang pecatur ternama dikota kami dan Surya adalah lawan terberatku, walaupun aku selalu menang darinya, tetapi untuk mengalahkannya bukanlah perkara yang mudah, dan kali ini bukan pertama kalinya aku bermimpi mengalahkan Surya bermain catur, tetapi perasaanku tidaklah nyaman akan mimpiku kali ini, aku seolah merasa terancam, jangan-jangan ia sedang menyusun rencana untuk mengalahkan ku dikemudian hari.
Alunan lagu Over the Horizon dari ponselku terdengar. Sambil mengomel, aku raih ponsel, dan astaga…!!! Ibu menghubungi ku? Apa yang membuat ibu menghubungiku sepagi ini?
“ Yuu… pasti kau baru bangun tidur, aduh Yuuhi anak kesayangan ibu, mau sampai kapan kamu bangun siang terus? Tidak baik seorang gadis bangun siang, nanti jodoh mu diambil orang!!!” oceh ibuku.
” Iya ibu, aku sudah bangun, kali ini aku bangun lebih awal 10 menit dibandingkan kemarin pagi” jawab ku lemah.Ya begitulah ocehan ibu ku tiap kali menghubungiku, tanpa bertanya kabar, ibu selalu menasehati ku tentang jodoh. Entah apa yang ada dipikirannya, tiap kali bercerita, pasti akan membahas masalah jodoh. Memang apa hubungan nya bangun pagi dengan jodoh, atau kalau gadis yang sering bangun siang susah dapat jodoh begitu…?
Ya, nama ku memang sedikit unik, ibu ku adalah seorang sarjana sastra jepang. Senja menyambut kelahiranku 20 tahun silam, oleh karena itu aku dinamakan Yuuhi yang dalam bahasa jepang berarti Senja.
Selama 25 menit aku berbincang dengan ibu melalui ponsel, aku sangat senang mendengarkan semua cerita ibu, walaupun banyak diantaranya yang tidak aku mengerti, maklumlah bincang-bincang seorang ibu tidak selalu dimengerti anaknya bukan, begitu juga dengan sebaliknya. Sangat membahagiakan hati jika mendengar ibu bercerita dengan riangnya, menurutku keriangan ibu lah indikasi bahwa ibu sehat disana saat aku jauh darinya.
Baiklah, cukup permulaan hari ini mulai dari mimpi mengalahkan Surya hingga membuat ku terjatuh dari kasur, sampai ocehan ibu tentang jodoh, sudah cukup membuat mood ku dihari ini ditutupi dengan awan kelabu. Dan ada satu hal lagi yang membuat awan kelabu ku hari ini menjadi lebih pekat, hah? Apakah aku harus melakukan hal itu ibu? Seseorang tolong aku…!!!
Bersikap manis itu kata ibu…
Mobil kodok ku melaju pelan membelah ibu kota pagi ini, sambil ditemani siaran radio favoritku. Tanpa kusadari aku sudah berada di depan gedungkantor ku, dan astaga gerbang gedung ini masih ditutup.
Kenapa gerbang kantor masih tertutup? Apakah aku telat lagi, atau aku yang datang terlalu pagi? Tetapi kenapa kantor begitu sepi hari ini? Aku masih berada didalam mobil kodok ku sambil memikirkan apa yang terjadi dengan kantor ku. Dan astaga, pantas saja kantor sepi, ini akhir pekan waktunya libur. Kemana saja pikiran ku sampai hari libur pun aku tak tahu.
Yah, tak ada gunanya juga mengeluh, tak akan mengembalikan mood ku hari ini menjadi lebih baik. Ku putar arah tujuan ku menuju taman kota, tempat dimana aku lebih banyak menghabiskan waktu ku dikala kesepian menghampiri.
Mesin mobil telah kumatikan, lalu ku langkahkan kaki menusuri taman, ahh… pemandangan taman selalu berhasil menyihir hatiku. Bunga-bunga bermekaran dengan indahnya, aroma nya semerbak menyejukkan hati. Kupu-kupu dengan riangnya berterbangan diantara bunga-bunga. Aku terhanyut dalam kedamaian yang disuguhkan taman ini. Pikiran ku tiba-tiba terganggu saat aku ingat kata-kata ibu tadi pagi, terselip satu pesan yang penuh arti yang aku sendiri tak mengerti apa maksud dari perkataan ibu tadi. “ bersikap manislah hari ini sayang” entah apa yang ingin ibu sampaikan tetapi itu cukup membuat ku merasa tertekan hari ini. Apakah selama ini ibu memperhatikan ku? Tetapi bagaimana caranya? Apakah sikap ku selama ini kurang manis menurutnya.
Alunan Over the Horizon kembali terdengar. Dan kembali muncul dipikiranku adalah ibu, pasti ibu ingin menanyakan apakah aku sudah bersikap manis atau belum hari ini.
“ Halo, ibu” jawab ku dengan singkat. Tanpa kusadari ternyata yang menghubungiku bukanlah ibu , aku mendengar suara seorang pria yang sedang bebicara padaku.
“Haha, kamu lucu sekali… aku bukanlah ibu mu Yuu. Apakah kamu seperti ini terus, jika ada yang menghubungimu, selalu yang kamu kira ibu mu?” jawabnya sambil tertawa.
Siapa gerangan pria ini, dari mana ia tahu namaku? Lalu dari perkataannya tadi seola-olah ia mengenal dengan ibu ku? Untuk beberapa saat aku terdiam sampai aku mendengar kembali suara dari ponsel ku.
“Apakah kamu masih disana? Aku menunggu mu berbicara kepadaku”, lanjutnya lagi.
Aku tetap terdiam seribu bahasa ketika mendengar suaranya kembali. Kuberanikan diri untuk membalas perkataannya.
“ Entah dari mana aku harus memulai perkataan ini, tetapi hanya satu pertanyaan yang ingin aku sampaikan kepada mu, siapakah kamu sebenarnya? Dari mana kamu tahu namaku?”
“Tak perlu bertanya dari mana aku tahu namamu, sebagai sebuah keluarga, mana mungkin aku tidak tahu nama sepupuku sendiri?”
Hah…!!! apa dia bilang? Sepupu? Sejak kapan aku punya sepupu, bukankah ayah dan ibu adalah anak tunggal? Apa yang ia katakan merupakan kebohongan terbesar yang pernah aku dengar. Aku tidak akan mudah percaya dengan yang ia katakan.
“Baiklah,,, kamu yang berada disana, entah siapa kamu sebenarnya, tetapi lancang sekali kamu mengatakan bahwa kamu ini adalah sepupu ku, mana mungkin? Ayah dan ibuku adalah anak tunggal begitu juga dengan aku, sekarang katakan siapa kamu sebenarnya dan apa tujuan dari perkataanmu tadi ?”
“ Ya,,, aku sadar ketidakpercayaan mu akan muncul saat aku mengatakan hal ini. Tetapi aku harus mengatakan yang sebenarnya bahwa kita bersaudara. Maafkan aku telah menimbulkan kesalah pahaman ini. Awal nya aku juga tidak percaya bahwa aku memiliki sepupu yaitu kamu. Baiklah Yuu, aku akhiri pembincangan kita hari ini, aku tidak mau membuat kesalahpahaman kita semakin menjadi, daah…”
Tut tut tut tut… apa dia mematikan ponselnya. Tanpa memberi aku kesempatan berbicara lagi. Meninggalkan sejuta pertanyaan yang hanya bersarang dibenakku tentang pembicaraan ini.
Hah… ya sudahlah aku tak mau memikiran kejadian tadi. Aku kembali ketujuan awal ku ditaman ini, menyejukkan pikiranku, aku berjalan sampai diujung taman, melihat sepasang kakek dan nenek duduk mesra berpegangan tangan. Senang rasanya melihat mereka. Cinta mereka kekal, hingga rambut memutih. Tak sadar aku hanya berdiri melihat mereka selama beberapa waktu. Terbersit keinginan yang sama untuk kedua orangtuaku mendapatkan kebahagian hingga senja menghampri mereka.
Matahari sudah meninggi, mengingatkanku pada satu hal. Yap.. makan siang. Ini waktu nya makan siang, hah cacing-cacing di perutku sudah mulai bernyanyi. Baiklah cukup hari ini, lebih baik aku pulang kerumah.
Mobil kodokku kembali melaju, 20 puluh menit kemudian aku telah sampai dirumah, dengan sigap aku pergi kedapur, membuka lemari pendingin dan melihat bahan makanan apa saja yang akan aku olah menjadi makanan enak hari ini.
“Oke, aku masak sayur bayam dan perkedel.”
Setelah sekian lama berkutat dengan kompor, pisau dan teman-temannya, akhirnya masakan ku telah siap. Tersaji dengan cantik dimeja makan. Ku ambil nasi beserta hasil masakanku, dan aku selalu ingat dengan ajaran ibu, sebelum makan harus berdoa. Setelah berdoa, ku mulai makan suap demi suap.
“Ahh… kenyang, terima kasih kepada Tuhan telah memberikan rejeki hari ini.”
Kebiasaan ku selesai makan siang dihari libur, adalah duduk santai di teras rumah ditemani alunan radio dan sebuah buku. Terkadang aku juga membaca surat kabar, atau sekedar membersihkan taman kecilku.
Ditengah kedamaian yang sedang kunikmati, ponsel ku berdering. Dan astaga!!! Kali ini aku hampir pingsan… ibu menghubungi ku lagi.
Rahasia terungkap
“Yuu…ini ibu nak. Apa kamu sudah makan siang?”
Itu kalimat pertama yang ku dengar dari ibu ku. Ibu selalu mengkhawatirkan kesehatanku. Karena hal itu pula, sejak dulu aku tidak diperbolehkan untuk pergi merantau ke kota, menurut beliau kalau nanti aku sudah tinggal sendiri akan lupa untuk menjaga kesehatan, lebih sibuk dengan kegiatan yang lain hingga kesehatan dianak-tirikan.
“Sudah bu, aku sudah makan siang, hari ini aku memasak sayur bayam dan perkedel. Tetapi ada apa bu, ibu menghubungi ku siang ini? Bukannya tadi pagi kita telah berbicara? Atau ada hal yang yang belum tersampaikan tadi pagi bu ?”
“Loh kenapa kamu berbicara seperti itu Yuu..? apa ibu tidak boleh menghubungimu lebih dari satu kali dalam sehari. Ibu sangat rindu padamu nak, kamu adalah putri ibu satu-satunya. Ibu tak ingin kamu mengalami hal buruk disana.”
“Aku baik-baik saja, mungkin lebih dari kata baik, namun apa yang membuat ibu sangat cemas hari ini dengan keselamatan ku? Tidak biasanya ibu seperti ini?”
“Ibu hanya memastikan, apakah ada seorang pria yang menghubungimu pagi ini?”
Dari mana ibu tahu bahwa ada seorang pria yang menghubungi ku pagi ini. Apa yang sebenarnya yang disembunyikan ibu dari ku. Aku hanya terdiam tidak berkata sedikit pun. Aku menginginkan ibu sendiri yang menceritakan hal ini semua padaku. Setelah sekian lama kami berdiam diri, akhirnya ibu memulai percakapan kami kembali.
“Mungkin banyak pertanyaan dibenakmu, semenjak pria itu menghubungimu. Tetapi ibu dan ayah mu tidak bermaksud untuk menyembunyikan hal ini dari mu. Ibu hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Ibu rasa inilah waktunya.”
Sesak napas seketika hinggap disekitar tenggorokanku, seakan ada sesuatu benda asing yang hendak menghambat jalan udara masuk keparu-paru ku. Terpaku bak patung yang dingin. Tak dapat berkata-kata apalagi. Rahasia apa lagi yang hendak ibu katakan padaku, mengapa semua terdengar seperti sebuah rahasia yang membahayakan hidupku.
Aku masih terdiam, dan ibu meneruskan cerita yang selama ini beliau simpan. Dan alangkah terkejutnya aku, setelah mengetahui inti dari semua rahasia yang ibu katakan.
Ayahku memiliki seorang adik perempuan yang tidak diakui oleh ibunya sendiri karena gadis kecil itu diberi karunia lebih, yakni kesulitan dalam hal mendengar. Karena malu, gadis kecil itu diasingkan disebuah desa tidak jauh dari tempat tinggal ayah ku dikala kecil. Tetapi ayah tetapi menyayangi adik kecilnya tersebut. Setiap hari setelah pulang sekolah ayah menyempatkan diri untuk berkunjung sekedar melihat dan memberikan makanan kecil yang dibelinya disepanjang jalan menuju rumah. Walaupun tidak bisa mendengar dan tidak dapat berbicara, gadis kecil mengetahui bahwa masih ada yang menyayanginya, yakni kakak nya. Ayah merawat adiknya tanpa sepengetahuan ibu mereka. Ayah menyisihkan sedikit dari uang sakunya untuk dapat mendaftarkan adiknya ke kursus menjahit. Singkat cerita setelah ayah mendaftarkannya, dan akhirnya adiknya lulus dan menjadi seorang penjahit yang terkenal, hasil jahitannya sangatlah indah.
Hingga suatu saat ayah menikah dengan ibu, dan akhirnya mereka memiliki aku. Tetapi aku dibesarkan oleh nenek hingga berada sekolah ditingkat menengah pertama. Alasan ayah dan ibu mengijinkan aku tinggal bersama nenek karena nenek sekarang hanya seorang diri, rasa tega menyelimuti ku setiap kali aku berkunjung ketempat beliau. Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal bersamanya untuk sementara waktu.
Disela-sela keberadaan ku bersama nenek, beliau banyak bercerita tentang masa kecil ayah. Dan didalam ceritanya nenek menyebutkan bahwa ayah merupakan anak tunggal dengan artian aku tidak akan pernah memiliki saudara sepupu. Pernyataan neneklah yang menjadi alasanku mengapa sejak awal aku tidak percaya bahwa pria itu adalah sepupuku.
Ayah dan ibu seakan melupakan adik mereka. Bagaimana mungkin hal ini terjadi, ayah telah melupakan adiknya, yaitu bibiku.
Air mata mengalir deras dipipiku setalah penjelasan dari ibu berakhir. Aku tidak mempermasalahkan masalah pria itu lagi entah siapa dia sepupuku atau bukan aku tidak peduli, kesedihan yang sangat pilu kurasakan, betapa menyedihkannya hidup seperti bibi yang tidak diakui oleh nenek. Nenek yang selama ini aku sayang tega melakukan hal itu hanya karena memiliki anak yang tidak sempurna.
“Cukup, cukup bu! Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Berikan aku waktu untuk dapat menerima semua ini, dah ibu selamat siang. Aku cinta ibu.” Aku segera mematikan ponsel ku.
Rasa bersalah melingkupi pikiran ku, apa yang tadi aku lakukan, aku berkata kasar pada ibu. Tidak seharusnya aku membentak ibu seperti tadi. Oh Tuhan maafkan aku, telah melakukan hal buruk terhadap ibu hamba.
Kesepian dan pelarian
Untuk beberapa waktu, masalah yang kemarin tidak pernah terdengar lagi. Aku sudah mulai menerima bahwa aku bukanlah satu-satunya cucu nenek. Dibalik rasa kekecewaan, aku juga menyimpan rasa bahagia, memiliki saudara adalah salah satu mimpi besar ku. Semenjak ibu menderita sakit, dan ibu harus merelakan rahimnya diangkat untuk menyelamatkan nyawanya, impian mama untuk menambah keramaian dirumah kami pun sirna.
Kesepian yang mendalam itulah yang mendorongku untuk merantau kekota. Selepas nenek pergi untuk selamanya saat aku memasuki sekolah tingkat atas, aku memutuskan untuk kembali kerumah orangtua ku. Selama tiga tahun lamanya tinggal bersama mereka, tiap hariku dirundung dengan kesepian, ayah sibuk bertani sedangkan ibu lebih banyak menghabiskan waktunya disekolah dasar menjadi seorang guru disana. Tinggallah aku sendiri ditemani kesepian, andai ibu tidak sakit kala itu, mungkin aku telah memiliki seorang adik yang bisa menemaniku setiap hari. Setelah kelulusan diumumkan, aku segera memantapkan diri untuk mencari kehidupanku sendiri dikota, dengan alih-alih menghilangkan rasa kesepian tersebut.
Dikota aku menghabiskan diri dengan bekerja diagen pengiriman paket, gajinya memang tidak seberapa, oleh karena itu aku mengasah kemampuanku dibidang yang lain. Disuatu ketika, aku mendapatkan sebuah brosur yang didalamnya bertuliskan kompetisi diajang turnamen catur tahunan yang diselanggarakan oleh pihak olahraga kota setempat, hadiah yang ditawarkan sangat menarik, cukup untuk membeli satu unit mobil kodok impianku.
Aku putuskan untuk mengikuti turnamen tersebut. Aku mendapatkan ilmu bercatur dari ayah. Menurut ku ayah adalah pemain catur yang hebat. Setelah mendaftar, nomor audisi pun telah kudapatkan. 111 adalah nomor audisi ku, bersaing dengan peserta dengan nomor audisi 112. Awal pertandingan yang menyenangkan. Lawan demi lawan berhasil kukalahkan. Mereka memberikan dukungannya padaku saat final nanti. Menurut mereka, aku adalah pendatang baru yang tidak pernah kalah dalam turnamen ini. Difinal aku menghadapi surya, pertandingan kami berlangsung dengan sengit. Pertandingan terlama yang pernah berlangsung selama tiga dekade turtamen ini diselenggarakan. Hasil akhirnya adalah seri, suatu prestasi yang luar biasa bagiku, namun bagi Surya hal ini merupakan malapetaka, bahwasannya ia merupakan juara bertahan selama 5 tahun berturut-turut.
Setiap tahun aku mengikuti turnamen ini, dan selalu melaju kefinal, dan hal yang sama selalu ku temui tiap tahunnya, Surya selalu berada tepat didepan mata ku untuk kesekian kalinya. Dan ditahun ketiga aku baru bisa mengalahkannya, dan kemenanganku berlanjut hingga tahun keenam. Selama itu juga aku mengalahkannya.
Akhir tahun ini turnamen tersebut akan kembali diselengarakan, dan aku akan pastikan tahun ini adalah tahun keempat kemenanganku atas Surya. Namun mengapa sekarang aku mulai merasa takut akan kekalahan. Aku sangat terganggu dengan mimpiku beberapa waktu yang lalu.
Dibalik kebahagian ku sebagai pecatur ternama, aku adalah seorang gadis yang sangat kesepian. Kementrian olahraga setempat meminta ku untuk menjadi pelatih catur dibadan usaha mereka untuk melatih para atlet catur muda untk mewakili negara kami dalam ajang catur internasional. Namun aku enggan untuk menerimanya. Aku bukanlah orang yang ingin terlihat hebat didepan orang lain. Hanya ingin menjadi teman dalam keseharian mereka itu juga sudah cukup. Aku lebih memilih untuk tetap dipekerjaan lama ku sebagai salah satu karyawan di jasa pengiriman paket. Aku lebih nyaman dengan orang-orang disana. Lebih menyenangkan dibandingkan dengan mereka yang menegurku dan bersikap baik padaku hanya demi sebuah cara menjadi pemenang catur internasional.
Kesepian yang kualami, semakin menjadi, dikala tak ada seorang pria pun yang menyatakan cintanya padaku, jangankan untuk memenitaku menjadi kekasihnya, berjalan sekedar menonton bioskop dengan seorang pria pun tidak pernah ada dalam sejarah hidupku.
Menyisakan satu minggu lagi sebelum turnamen dimulai, hari ini aku berencana untuk berlatih dengan salah satu kurir di kantorku bekerja. Ia bersedia membantu ku berlatih, menurutnya bermain catur dengan seorang gadis merupakan hal yang menarik.
“Dek, Yuu. Selesai antar pengiriman yang terakhir, akan bapak tepati janji yang kemarin. Ditunggu ya ”, janji pak Rahmat.
Demi latihan bersama pak Rahmat, khusus hari ini aku pulang lebih lama dari kemarin. Menunggu sang pelatih menyelesaikan tugasnya.
“ Ayo dek, latihannya dirumah bapak kan ya? Kebetulan kedatangan dek Yuuhi bapak beri tahu kepada istri bapak, jadi beliau telah menyiapkan makan yang lezat untuk kita.”
Senang rasanya memiliki keluarga baru disini, pak Rahmat beserta keluarga sangatlah baik kepadaku, aku juga sering berkunjung ke kediaman mereka. Keluraga pak Rahmat adalah keluarga yang menyenangkan, beliau memiliki 3 orang anak, yang sulung sudah menginjak bangku sekolah menengah pertama, dan 2 lagi yang merupakan anak kembar masih berada di tingkat sekolah dasar.
Sepanjang sore hingga jam menunjukkan pukul 8, kami masih berkutat dengan papan kotak-kotak hitam dan putih, dan kali ini benar dugaan ku, Pak Rahmat pandai sekali memainkan pion, kuda, benteng serta teman-temannya. Kemampuan beliau mungkin setara dengan kemampuan ayah. Sangat sulit membuat beliau kalah. Aku harus mengerahkan seluruh kemampuan yang ku miliki hanya untuk mendapatkan hasil seri. Menurut ku, Surya pun takkan mampu menghadapi beliau.
Akhirnya aku menyerah, dengan segera aku memohon ijin kepada beliau untuk kembali kerumah, waktu sudah larut. Baiknya melanjutkannya esok hari lagi.
Awal yang baik atau buruk
Turnamen segera berlangsung, aku telah siap dengan pelatihan yang diberikan oleh sang pelatih andalan, dan kali ini kejutan datang menghampiri ku, tanpa sepengetahuan ku ibu dan ayah duduk diantara kursi penonton untuk menyaksikan aksi ku kali ini, dan ini merupakan kali pertama mereka hadir untuk mendukungku. Tetapi, tunggu dulu, siapa mereka? Ada sepasang orang tua dan seorang laki-laki muda yang mungkin putra mereka berbincang dengan hangatnya bersama ayah dan ibu. Belum sempat benakku menerka nomor peserta ku dibacakan, dan ahh… tak ada waktu sedikitkah untukku menerka siapa mereka.
Sambil berjalan, menuju area pertandingan, aku disambut degan hiruk-pikuk dan sorak-sorai para pendukung ku.
“Yuuhi… Yuuhi… Yuuhi… Yuuhi… ” namaku terus berkumandang didalam gedung olahraga ini.
Pertandingan dimulai, lawan yang mudah untukku, dan kesempatan untuk melaju ke tahap final semakin terbuka.Selama satu minggu babak penyisihan berlangsung, pada akhirnya aku memantapkan diriku sebagai pertama yang masuk keputaran final, namun lawannya difinal belum dapat ditentukan, karena kali ini Surya mendapatkan lawan yang tangguh, hasil dari juri selalu imbang, hingga penentuan siapa yang berhak lolos kebabak final masih diperdebatkan.
Sambil menunggu hasil, ibu ternyata bukan hanya berkunjung sehari atau dua hari. Mereka bermaksud tinggal bersama ku dalam satu bulan penuh. Sungguh berita yang sangat membehagiakan hati. Biasanya akulah yang berkunjung, pada saat libur panjang datang, tetapi berbeda dengan kali ini.
Sepanjang hari ibu memasak makanan kesukaanku, kue kesukaan, bernyanyi bersama tiap waktu. Sungguh hari yang sangat menyenangkan, ingin sekali rasanya mereka ada setiap waktu bersamaku, tetapi itu satu hal yang jauh dari kata mungkin.
Namun, disela-sela hari ku bersama ayah dan ibu, tiba-tiba kau teringat dengan orang yang bersama dengan orang tua ku saat awal babak penyisihan turnamen beberapa waktu yang lalu. Aku sangat ingin mengetahui siapa mereka. Sepertinya mereka sangatlah akrab dengan ayah dan ibu, layaknya sebuah keluarga atau memang mereka adalah keluarga? Ahh… tidak sepertinya mereka?
“Masakan ibu enak sekali, rasanya ingin sekali menghabiskan semua makanan ini, tetapi apa daya, perut ku sudah tidak dapat menampung makanan lagi. Lain kali akan kuusahakan untuk tidak makan dalam sehari agar bisa menghabiskan makanan ibu dalam sekali makan”, ya begitulah kata pujian yang keluar dari mulutku, bukan pura-pura agar ibu senang tetapi memang kenyataan, ibu adalah koki terbaik didunia.
“Kau sangat pandai memuji Yuu… setiap hari sejak dulu ibu selalu menyiapkan makanan untukmu dan selalu kata-kata yang keluar dari mulutmu adalah hal yang sama, tidak bisa kah kau lebih kreatif sedikit untuk memuji wanita tua ini?”
“Oh iya bu, aku ingin bertanya, saat ibu datang bersama ayah beberapa waktu yang lalu ketika aku mengikuti babak penyisihan, aku melihat ada sebuah keluargayang berbicara dengan ayah dan ibu, siapa mereka, kelihatannya kalian cukup akbrab, mereka salah satu kawan lama ayah dan ibu ya?” ku atur dengan sedemikian rupa pertanyaanku agar ayah dan ibu tidak salah-paham.
Seketika ayah dan ibu saling bertatapan, mata mereka seolah berbicara, seakan membicarakan sesuatu dengan menggunakan bahasa yang hanya mereka berdua yang paham. Aku sedikit bingung dengan sikap yang dipertunjukkan oleh kedua orangtuaku. Sepertinya ada hal lain yang hendak ayah dan ibu sembunyikan dari ku, tetapi apa gerangan?.
“ Hhmmm,,, baiklah Yuu, akan ayah coba jelaskan padamu. Sebenarnya yang dirimu lihat bersama kami adalah…” kali ini ayah menghentikan bicara nya dan kembali menatap ibu.
“ Yang bersama kami adalah…”
“ Iya ayah,,, katakanlah siapa mereka, apa salah nya kalau aku tahu. Kenapa ayah berhenti berbicara?” , aku mulai mendesak ayah untuk mengatakan yang sebenarnya.
Ayah menghela napas, seolah beban yang berat untuk mengatakan hal ini kepadaku.
“ Mereka adalah paman dan bibi mu Yuuhi, dan pemuda yang bersama mereka adalah anaknya, sepupu mu yang beberapa waktu yang lalu menghubungimu.”
Mulutku menganga mendengarkan penjelasan dari ayah, yang selama ini aku pikir orang-orang itu hanyalah teman orangtua ku, tetapi kenyatan berkata lain, mereka keluargaku.
Sebenarnya ada dua perasaan yang muncul disaat ayah memberitahu semuanya, yang pertama aku kecewa terhadap orangtua ku, membiarkan aku hidup selama ini tanpa memiliki keluarga yang lain, namun disisi lain aku sangat bahagia bahwa aku mimpi ku menjadi nyata, memiliki sepupu, ini adalah sebuah keajaiban.
“ Dimana mereka tinggal yah? Aku sangat ingin bertemu dengan mereka. Bolehkah aku berkunjung kerumahnya ?”
“ Baiklah, ayah akan memberikan alamatnya kepadamu, namun kali ini kami tidak dapat menemanimu, ayah dan ibu memiliki janji kepada mereka, tidak akan memaksa mu untuk menemui mereka, selain dengan kehendakmu sendiri. ”
“ Taman Bougenville Raya No. 41, Meadow Green. Hah… aku tahu dimana tempat ini ibu, mereka tingga tidak jauh dari kota ini. Baiklah aku akan pergi kesana sekarang juga. Terima kasih ayah telah memberitahu ku. Sampai jumpa nanti.”
Aku berlari menuju mobil kodokku, menyalakan mesin, namun sebelum mobil ku melaju, ayah berlari mengejarku yang masih berada didalam bagasi.
“ Ingat nak, kamu harus sabar jika berbicara dengan bibi, dia tidak dapat mendengar. Jangan sesekali kamu menghina nya karena ketidakmampuannya untuk mengerti apa yang kita ucapkan. “
Begitulah pesan ayah, dan untung saja ayah memberitahu hal itu, aku bahkan tidak ingat akan cerita ibu beberapa waktu yang silam. Aku akan mematuhi seluruh perintah yang diberi ayah kepada ku.
Sepanjang jalan aku membayangkan wajah paman dan bibi, bagaimana mereka? Apakah mereka akan menerima aku dengan baik. Lalu disela-sela aku membayangkan paman dan bibi, seketika terlintas dibenakku, astaga mereka memiliki seorang putra, dan apa yang akan terjadi?
Waktu itu aku telah bersikap padanya. Walaupun hanya lewat suara, tetapi aku yakin ia masih mengingat jelas kekasaran ku saat itu.
Kendali mobil kuarahkan kearah barat kota ini, lagi-lagi melewati taman kota, tempat pertama kali aku melakukan kekasaran pada seseorang melalui suara.
Dua puluh menit berlalu, akhirnya aku telah sampai di depan rumah bibi. Detak jantung ku semakin terpacu cepat, hampir sesak napas aku dibuatnya. Rasa ini lebih-lebih melebihi rasa menghadapi Surya saat di final kemarin. Apa yang harus aku perbuat? Tak seharusnya aku berada disini. Lebih baik aku pulang saja.
Kembali ku nyalakan mesin mobilku, hendak kembali kerumah dan berkata kepada ayah dan ibu bahwa aku belum siap bertemu mereka, tetapi ini sudah terjadi. Saat suara mobilku terdengar, seketika seorang pria tua keluar dari rumah itu, dan memperhatikanku dari depan pintu rumah mereka.
“ Hah, apa boleh buat ini sudah terjadi, aku harus berani menghadapi mereka, toh mereka juga saudara ku, saudara yang selama ini aku harap-harapkan.“
Kulangkahkan kakiku menuju gerbang rumah itu, pria itu juga melakukan hal yang sama, sepertinya hendak membukakan gerbang untukku.
“ Kami sudah lama menunggu mu, gadis kecil “, begitulah sapa pria tua ini kepadaku.
Rumah mereka sangatlah sederhana, satu hal yang membuatku tertarik akan rumah ini adalah taman kecil mereka, sangatlah cantik, dihiasi dengan bunga mawar dan anggrek yang mengelilingi kolam ikan kecil ditengah taman ini, dan langkah ku terhenti didepan taman itu, memperhatikan mawar merah mekar dengan sempurna.
“ Hhmmm… mau sampai kapan berdiri disitu, ayo masuk kedalam “, ajaknya kembali
Aku disambut dengan senyuman dari seorang wanita, wanita itu memiliki wajah yang cantik, sangatlah bersahabat, wajah yang sangat hangat sedang menyambut kedatanganku. Namun hanya senyumanlah yang kudapatkan, tanpa ada kataa-kata yang mengiringi senyuman itu. Namun dari bahasa tubuhnya, ia mempersilahkanku duduk diruang tamu mereka.
Ku beranikan diri untuk menyapa mereka terlebih dahulu, sebagai tamu yang baik, bukankah itu hal yang lazim dilakukan oleh siapa pun yang hendak bertamu.
“ Maaf sebelumnya, mungki kedatangan saya mengganggu waktu kalian, namun saya sudah mendengar cerita dari ayah saya, bahwa kalian adalah….”, belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, pria tadi mengambil alih perkataanku.
“ Kami sudah tahu siapa kamu sebenarnya. Yuuhi… sudah lama sekali kami ingin bertemu dengan mu, namun apa boleh buat keadaan saat itu tidaklah memungkinkan. Dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk kita memperbaiki semuanya “, sambut pria itu.
“ Jadi, setelah kita berhubungan baik sekarang, bolehkah aku memanggil kalian paman dan bibi? Tanyaku dengan penuh harap.
Mereka saling bertatapan, setelah sekian lama mereka bertatapan, akhirnya sebuah senyum yang kudapatkan dan anggukan dari mereka. Rasa bahagia menyelimuti hatiku, dengan riang kupeluk paman dan bibiku. Terima kasih ya Tuhan, akhirnya aku memiliki paman dan bibi yang baik.
Namun ada yang aneh dirumah ini, dimana anak mereka? Bukankah mereka memiliki seorang putra? Tetapi dimana dia.
“ Tunggu dulu paman, bukankah kalian memiliki seorang putra, beberapa saat yang lalu ia menghubungiku, dan saat turnamenku kemarin bukankah ia bersama kalian ?”
“ Kedatanganmu kali ini telat, anak kami sudah kembali ketempat ia bersekolah, waktu kamu melihatnya bersama kami, itulah waktu libur sekolah, oleh karena itu ia kembali kesini. Saat libur kemarin, ia selalu berharap bahwa kamu bersedia mengunjungi kami, sampai kemarin ia masih menunggumu, berharap kamu datang kerumah ini. Namun jawabannya dari harapannya terjadi hari ini, disaat ia telah kembali bersekolah “, jelas paman.
Jujur dengan segala kebahagianku saat ini, aku juga merasakan kesedihan. Salah satu tujuanku datang kemari untuk meminta maaf padanya atas kekasaran ku saat itu, namun apa yang harus ku perbuat, semua seakan sirna.
“ Tetapi paman, apakah aku boleh tahu, nama sepupu ?”
“ Tentu saja, sepupu mu bernama Prabu, lebih tepatnya Prabu Sanjaya. Ia laki-laki yang baik, paman harap ia akan menjadi saudara dan juga sahabat yang baik nanti disaat kalian bertemu.”
Pertemuanku dengan paman dan bibi sangat menyenangkan. Banyak canda tawa yang diciptakan paman untuk menghibur kami. Walaupun bibi tidak bisa mendengar, tetapi bibi dapat membaca gerak mulut yang kami ucapkan. Sungguh lengkap kebahagianku hari ini, dan aku memutuskan bahwa pertemuanku dengan mereka adalah awal yang baik.
Kring… kring… kring…
Setelah sebulan sejak kunjungan pertamaku kerumah paman dan bibi, aku semakin sering mengunjungi mereka, ibu dan ayah pun sudah kembali kekampung. Hari demi hari kuhabiskan dengan bekerja dan membaca buku diteras depan rumah. Sembari menikati angin sore yang membelah langit lembayung diatas sana.
Ponselku berdering, dan kali ini nomor asing yang terlihat dilayar ponsel ku.
“ Hah… ada kode negaranya? Siapa yang berada diluar negeri sana yang menghubungiku? Aku bahkan tidak memiliki koneksi dengan orang diluar negeri ?”, tanya ku dalam hati.
“ Halo…”
“ Selamat pagi Yuu… apakah kamu masih ingat dengan suara ku ?”
Apa yang sebenarnya diucapka laki-laki inii, baru saja menghubungi ku sudah mengatakan apakah masih mengingatnya atau tidak. Laki-laki yang aneh.
“ Siapa kamu sebenarnya, beraninya kamu berkata seperti itu. Aku baru saja mendengar suara mu, mana mungkin aku punya ingatan tentang suaramu ?”
“ Hahaha… kamu sama seperti dulu Yuu, disaat pertama kali aku menghubungimu, kalau kamu tidak percaya, tolong periksa kembali daftar panggilan masuk yang terdapat di ponsel mu tanggal 28 April yang lalu, aku menghubungimu dengan menghubungimu dengan menggunakan nomor yang berakhiran 552 “, jelasnya.
Apa…!!! apa mungkin ada orang yang mengingat semua panggilan yang dilakukannya? Orang yang sangat detail. Tanpa komando dari siapa pun, aku langsung memeriksa perkataannya, dan benar saja, semua yang dikatakannya benar-benar ada. Aku terdiam. Hening tak bersuara.
“ Bagaimana Yuu, apakah kamu sudah memeriksanya, benar tidak yang aku ucapkan? Kalau aku salah aku tidak akan menghubungi mu lagi.”
“ Ya, apa yang kamu katakan benar adanya. Semuanya tepat, namun aku tidak ingat siapa kamu sebenarnya.”
“ Wajar saja kamu tidak ingat pada ku, saat pertama kali aku menghubungimu, pembicaraan kita diakhiri dengan tidak baik. Kala itu terjadi kesalah pahaman diantara kita. Namun seiring berjalannya waktu, aku rasa kesalah pahaman itu seolah hilang, disaat kamu mengunjungi ayah dan ibuku disabtu sore sehari setelah aku meninggalkan rumah untuk kembali bersekolah.”
Apa yang baru aku dengar tadi, aku mengunjungi orangtuanya sabtu sore, sehari setelah ia meninggalkan rumah untuk bersekolah. Jangan-jangan ia Prabu? Prabu anak paman, sepupuku?
“ Baiklah aku sudah tahu siapa kamu sebenarnya. Tetapi bolehkah aku bertanya satu hal kepadamu? Apakah kamu seperti ini, hidup dengan semua teka-teki. Hanya untuk memberitahu siapa dirimu yang sebenarnya kamu bahkan memaksaku untuk berpikir keras mengingat kejadian yang telah lama terjadi? Oh… ayolah Prabu. Kita ini bukan lagi anak-anak, bisakah kau bersikap manis kepada seorang gadis, tanpa harus membuat gadis itu kesusahan dengan teka-tekimu “, keluhku kepadanya.
“ Hahaha… hahaha… hahaha… aku tidak bermaksud membuatmu kesusahan Yuu. Aku hanya ingin membuat kesan yang indah disaat pertama kali kita mengetahui dan menerima bahwa kita adalah saudara, itu saja tidak ada maksud lain.”
Setelah penjelasannya, aku menikmati perbincangan ku dengannya. Lama sekali kami berbincang. Menceritakan masa kecil masing-masing, tertawa bercanda ria, dan ku akui baru kali ini aku merasakan bahagia berbicara dengan laki-laki yang seumuran denganku. Ternyata memiliki saudara itu sangatlah menyenangkan.
“ Baiklah Yuu… besok lagi kita sambung cerita kita, esok pagi sekali aku harus kuliah, esok sore seperti tadi akan ku hubungi kamu lagi. Ohh, iya ingat satu pesanku, jangan pernah menghubungiku, karena aku tidak pernah suka kalau seorang gadis yang menghubungiku terlebih dahulu, biar aku yang menghubungimu.”
“ Baiklah, akan ku ingat pesanmu.”
Dan untuk pertama kali dimalam itu aku tidak bisa tertidur, hanya karena mengingat semua suara laki-laki yang menghubungiku.
Tujuannya sebenarnya
Semenjak perbincangan pertama itu, perbincangan hangat yang lain pun berlanjut. Sekarang aku memanggilnya abang, seperti yang dikatakan mama, secara adat yang kami miliki ia adalah kakak ku, dan umurnya juga dua tahun lebih tua dibandingkanku. Dia juga seorang laki-laki yang baik, selama itu juga, aku tidak pernah menghubunginya untuk yang pertama, aku tidak mau mengingkari janji padanya. Dia lah yang selalu menghubungi ku, setiap bulan tak lupa ia mengirimkan oleh-oleh kecil dari negara tempatya menuntut ilmu. Disana ia tidak hanya menuntut ilmu, ia juga bekerja di kedutaan besar negara kami untuk negara tersebut. Walaupun aku sudah selesai menuntut ilmu kejenjang perguruan tinggi, namun aku merasa malu, jika mendengar ceritanya, walaupun ia sudah mencapai jenjang pasca sarjana, tetapi ia masih semangat untuk menuntut ilmu. Katanya ilmu tidak akan habis sampai kita mati, jadi kita harus jadikan ilmu makanan sehari-hari, karena makanan adalah kebutuhan dasar makhluk hidup, sama seperti ilmu.
Bang Prabu mengajarkan aku banyak hal. Mulai dari cara berpikir, mengenalkan aku tentang luasnya dunia dan keindahannya, dalam pengajarannya, seolahh-olah mengajakku untuk membuka hati menuntut ilmu lagi.
“ Bagaimana, kamu sudah putuskan untuk sekolah lagi? Kalau belum, berpikirlah lagi, abang akan tunggu sampai kamu siap “, begitulah kata-katanya setiap kali ingin mengakhiri perbincangan lewat ponsel, dan seperti biasa aku hanya bisa diam.
Dibulan selanjutnya, ayah dan ibu kembali mengunjungiku kekota, rindu kepadaku kata mereka. Aku tahu ayah dan ibu sangatlah kesepian tanpa kehadiranku disisi mereka.
Keesokan harinya, kami berkunjung kerumah paman dan bibi. Ada hal penting yang ingin dibicarakan kata ayah, entah apa itu, aku tidak berminat untuk mengetahuinya. Sesampai dirumah bibi, aku hanya duduk jauh dari mereka, sepertinya mereka membicarakan hal yang benar-benar serius. Lalu hal yang tidak kuduga terjadi. Aku dipanggil ibu.
“ Yuu kemari nak, ada yang perlu kamu ketahui dari kami “, panggil ibu agar bergabung dengan mereka.
Aku mengangguk, tanda aku mau berada bersama mereka. Namun sejuta pertanyaan berkecamuk dibenakku.
Ayah berbicara panjang lebar tentag adat yang selama ini kami miliki. Didalam penjelasan ayah menceritakan jika seorang anak laki-laki memiliki adik perempuan atau kebalikannya. Maka suatu hari jika kedua anak ini menikah dan memiliki anak maka anak mereka bisa dijodohkan. Dan ayah berniat menikahkanku dengan Prabu.
Namun ini merupakan kabar buruk untukku, hubunganku selama ini dengan Prabu hanyalah sebatas kakak dan adik, aku juga tidak memiliki perasaan yang aneh padanya. Mana mungkin kami bisa dijodohkan. Aku jelas-jelas tidak mau hal itu terjadi.
Aku berlari keluar, ku tinggalkan ayah dan ibu, aku berlari terus, tak tahu hendak kemana. Bagaimana mungkin orangtuaku menjodohkan ku dengan sepupuku sendiri. Aku bahkan tidak mencintainya. Pada kenyataannya aku tidak bisa menerima semuanya. Namun ditengah keputus-asaanku, Prabu menghubungiku.
Isak tangisku terdengar olehnya disaat ia menghubungiku.
“ Apa yang terjadi padamu dik, apa yang membuatmu sedih ?”
Namun aku tidak berkata apa pun selain suara tangis yang terdengar. Aku tidak sanggup untuk bercerita apa pun padanya.
“ Baiklah aku tahu, apa yang menyebabkanmu bersedih. Apakah paman dan bibi beserta orangtuaku telah mengatakan sesuatu tentang perjodohan kita? Sebelumnya aku ingin mengatakan hal ini lebih dulu dengan mu, namun apa daya ku jika orangtua kita telah memberi tahumu terlebih dahulu. Maafkan aku dik, aku tidak bermaksud menyembunyikan hal ini dari mu. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk menceritakannya “, Jelasnya.
“ Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan bang, aku sama sekali tidak menginginkan hal ini terjadi, bagiku menjadi saudara mu saja sudah cukup bagiku. Namun apa jadinya kalau orangtua kita menginginkan kita lebih dari sekedar saudara. Aku bahkan tidak mencintaimu, mencintai laki-laki lain pun aku tidak berani.”
“ Namun, bagaimana kalau aku yang mencintaimu.”’
“ Apa yang kamu katakan? Aku yakin itu hanya gurauan kamu saja kan? Mana mungkin kamu mencintaiku, kita bahkan belum pernah bertemu.”
“ Tetapi, aku telah jatuh cinta dengan suaramu, suaramu laksana oase dipadang gurun, sangatlah menyejukkan hatiku. Baiklah tidak perlu kita bicarakan hal ini lagi, dan kamu tidak perlu menghiraukan perkataanku tadi. Sekarang sudah larut, bukankah esok pagi kamu ingin naik gunung bersama komunitas pencinta alammu itu? Jagalah kesehatanmu selama berada digunung. Bye…”
Berpaling dan kejahatan
Keesokan harinya aku telah berada di gunung dekat perbatasan provinsi kami, dan selama seminggu aku tidak mendapatkan telepon dari siapa pun, maklum saja digunung sinyal merupakan barang langka.
Setelah turun gunung, aku kembali membawa sejuta kenangan indah tentang keindahan dan kemegahan karya Tuhan, aku berjanji untuk menjaga alam agar menjadi warisan untuk anak-cucu dimasa yang akan datang. Setibanya dirumah, kelelahanku memuncak, kulewatkan hari ini dengan berbaring dikasur, dan akhirnya aku pun tertidur.
“ Yuuhi, maukah kau menikah denganku ?”, seorang pria berlutut dihadapanku dengan menunjukkan sebuah cincin emas bertahta berlian, cincin itu sangatlah indah, namun alangkah terkejutnya aku, setelah mengetahui siapa pria tersebut. Prabu…..
“ Hah…hah…hah… hanya mimpi rupanya, syukurlah.“
Kali ini mimpi ku sangatlah aneh, mana mungkin hal itu terjadi, aku tidak mungkin menikah dengannya, aku bahkan tidak mengenal wajahnya, lagi pula ia jauh disana, seandainya kami berpacaran pun bagaimana aku bisa percaya pada seseorang hanya lewat suara?
Hari-hariku semakin tidak karuan, setidaknya sudah tiga kali aku bermimpi hal yang sama selama sebulan ini. Mimpi ini sangatlah mengganggu ku. Hidupku seakan terpuruk dibuatnya.
Untuk mengalihkan pikiranku, akhir-akhir ini aku sering datang ke cafe dekat taman, sekedar duduk-duduk santai mendengarkan band lokal menunjukkan kebolehan mereka, namun dikejauhan sudut cafe ini, ada seorang pria yang memperhatikanku, lalu menghampiriku.
“ Sendirian saja, boleh aku bergabung ?”
Aku hanya mengangguk memperbolehkan keinginannya.
“ Namaku Rio, Denario lebih tepatnya, kalau kamu siapa ?”
“ Namaku Yuuhi “, jawabku singkat.
“ Nama yang unik, Senja bukan artinya ?”
Hah? Dari mana ia tahu arti namaku? Apa kah ia bisa berbahasa jepang sama seperti ibu? Waw , aku sangat terpukau kepada orang yang memiliki kemampuan berbahasa asing selain bahasa inggris.
“ Ya, itulah arti namaku. Apakah kamu bisa berbahasa jepang. Maaf aku mohon jangan memakai bahasa itu denganku, aku hanya memiliki nama dalam bahasa tersebut, namun tidak menguasai bahasanya.”
“ Haha… mana mungkin aku menggunakan bahasa lain dinegara ku sendiri dengan orang yang sama senegara dengan ku? Aku dulu pernah menempuh ilmu disana, jadi sedikit banyaknya aku mengerti bahasa mereka, namun mengapa kamu memiliki nama yang sedikit unik untuk orang dinegara kita ?”
“ Ibuku, seorang sarjana sastra jepang. Senja kala itu menyambut kelahiranku, oleh karena itu aku diberi nama Yuuhi.”
Semenjak saat itu, kami sering bertemu dicafe, berjalan ditaman, pergi ketoko buku, menghabiskan malam dengan berbaring ditaman bermandikan kilau bintang dan sinar rembulan, sangatlah nyaman bersamanya. Kebahagianku seakan nyata. Tak tertandingi dengan kebahagian siapa pun.
Semenjak pertemuan ku dengan Rio, Prabu seolah kuabaikan, tiap teleponnya kurespons dengan dingin. Tak ada canda tawa tercipta ditiap perkataan kami, aku seakan tidak membutuhkannya lagi, aku sudah memiliki Rio yang jauh lebih nyata daripada Prabu. Prabu hanyalah radio, sedangkan Rio lebih dari itu, ia adalah televisi bagiku.
Tetapi kebahagianku bersama Rio tidak berlangsung lama, Rio jatuh sakit, hal itu aku ketahui melalui surat yang dikirimnya kepadaku. Didalam suratnya dia berkata, untuk beberapa saat untuk pengobatan, tak usah mencarinya, iaakan kembali segera.
Kenapa semua ini terlalu cepat berlalu, memang benar kami bukanlah sepasang kekasih, namun bagiku Rio lebih dari itu. Sebenarnya, ada apa dengan perasaanku, disatu sisi aku sangat ingin bersama dengannya, namun disisi lain aku seolah bahagia dengan keadaan ini, dan tiba-tiba Prabu muncul dipikiranku.
Benar saja, sesaat aku memikirkannya, Prabu menghubungiku. Bertanya bagaimana kabarku, beberapa hari ini aku sangat sulit untuk dihubungi.
“ Aku sangat khawatir dengan keadaanmu. Sebetulnya apa yang terjadi denganmu, atau ada perbuatanku yang salah sehingga membuatmu menghindar dari ku. Kalau memang benar aku sangat menyesal, maafkan aku.”
Kata-kata yang kudengar dari Prabu terdengar memilukan bagiku. Apa yang kuperbuat kepadanya, aku sangat jahat. Demi seseorang yang nyata didepan mataku yang baru ku kenal, ku tinggalkan seseorang disana yang selalu menyempatkan waktunya yang sangat padat untuk sekedar mengetahui kabarku. Orang yang selalu mengingatkanku untuk hidup sehat, pergi beribadah, menghubungi setiap hari tepat dijam 7 setiap malamnya. Oh, Tuhan apa yang telah kuperbuat.
Terdiam dan membisu, hanya itu yang bisa kulakukan aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk mengeluarkan suara hanya untuk berkata aku baik-baik saja disini. Aku sangat jahat, sangatlah jahat.
“ Baiklah dik, kalau kali ini kamu belum mau bicara dengan ku, aku akan menghubungimu esok tepat jam 7 malam seperti biasanya, dan kuharap esok malam kamu sudah berkenan berbicara dengan ku.”
Dan hari ini, tidak ada kemajuan tentang Rio, entah berada dimana ia sekarang. Sungguh pikiranku sangatlah kacau, disaat aku memikirkan kesehatan dan keberadaan Rio, Prabu muncul dengan segala pertanyaan yang belum sempat aku jawab.
“ Aaarrggghhh… kepalaku hampir meledak karena dua pria ini. Apa yang harus aku perbuat. Bahkan untuk bernapas pun aku kesulitan dibuatnya.”
Aku memang jahat. Sangat jahat, Prabu dan Rio adalah pria yang baik, tak pernah sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka yang menyakitiku. Aku sangatlah bimbang. Prabu adalah pria pertama yang mampu mengusir sepi yang telah bersarang dalam hidupku, namun Rio hadir memberikan warna dalam kecerian yang pertama Prabu ciptakan. Aku sangat tersiksa dengan perasaanku sendiri.
Bisakah suaranya dipercayai?
Sebulan berlalu semenjak surat dari Rio ku baca, semenjak itu juga hubunganku dengan Prabu mulai membaik, malam ini ia berjanji untuk menghubungiku kembali.
“ Dik… apa kabar? Aku harap dirimu sehat dan bahagia disana.”
“ Iya bang, aku baik-baik. Aku juga berharap abang sehat disana.”
“ Ada satu hal yang ingin ku minta dari mu, aku mohon untuk dengar baik-baik perkataanku.”
“ Baiklah, aku akan mendengar semua dengan seksama.”
“ Dengar perkataanku baik-baik, aku mohon kamu untuk mempercayaiku, walaupun kita tidak pernah bertemu, namun perasaanku padamu tidak pernah sirna, aku lelah telah memendam perasaan ini. Selama kita berbincang, aku menemukan kenyamanan bersamamu, indahnya hidup yang inginku bagikan bersama, namun mohon maafkan aku, aku bukanlah pria yang bisa mengungkapkan isi hatiku didepan hadapanmu, tetapi janjiku padamu, setelah pendidikanku selesai, orang yang pertama kali akan kutemui adalah dirimu, aku akan kembali padamu, menemuimu dan memintamu secara resmi untuk menjadi pasangan hidupku kelak, dan akan kulakukan itu dihadapan kedua orangtuamu dan dihadapan orangtuaku. Aku harap kamu percaya padaku walau hanya lewat suara.”
Apa yang harus aku perbuat, baru saja Prabu mengungkapkan perasaannya dan memintaku sebagai pasangan hidupnya, apakah ini artinya aku dilamar olehnya. Lalu suaranya kembali terdegar.
“ Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang dik, aku bersedia menunggumu sampai kamu menemukan jawaban yang terbaik untuk dirimu sendiri.”
“ Akan ku pikirkan terlebih dahulu, semoga aku bisa memutuskan yang terbaik untuk kita berdua, terima kasih sudah menghubungiku malam ini bang. Selamat malam, selamat beristirahat.”
Malam ini diakhiri dengan sebuah tanda tanya besar didalam benakku, pengalaman pertama mendengar seseorang menyatakan perasaanya kepadaku, waktu itu saat kedekatanku dengan Rio, sampai sekarang ia pergi entah kemana, tidak pernah terucap darinya tentang perasaannya terhadapku, hanya satu yang kuingat darinya, untuk sekarang hanya kau lah yang aku inginkan dalam hidupku. Namun apakah perkataan itu sebuah ungkapan rasa cinta, tak satu orang pun mengetahuinya selain Rio sendiri.
Minggu-minggu berlalu setelah pernyataan Prabu, namun aku tidak mendapatkan sebuah pentunjuk. Kabar bahagianya, Prabu tidak pernah memaksaku untuk menentukan keputusan, sungguh pria yang pengertian.
Esok hari ulang tahunku, tak banyak yang aku inginkan, hanya petunjuk dari Tuhan atas pertanyaan hidupku. Berikan aku keberanian untuk mempercayai nya lewat suara.
Kejutan hadir dihari ini, diluar dugaanku, Rio muncul dihadapanku dengan keadaan yang lebih baik tentunya. Entah dari mana ia mengetahui hari ulang tahunku. Ia tidak datang sendiri, sebuah boneka kumbang besar dan rangkaian bunga mawar merah dan putih turut serta bersamanya.
“ Selamat ulang tahun Yuuhi… semoga rahmat Tuhan menyertai Hidupmu.”
Mulutku terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang kulihat. Benarkah ini Rio. Mengapa ia muncul sekarang. Dimana ia selama ini, dikala aku sangat membutuhkanya. Apa yang hendak ia lakukan. Gerangan apa yang akan terjadi?
“ Te… terima kasih…” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“ Maafkan aku telah meninggalkanmu dengan perasaan yang tidak jelas, aku hanya tidak ingin membuatmu cemas dengan keadaanku saat itu, maka kuputuskan untuk menjauh sementara darimu, setelah aku dinyatakan sembuh aku kembali kepadamu, ingin mengungkapkan apa yang sebelumnya ingin aku ungkapkan kepadamu.”
Aku menelan air liurku, seakan belum siap untuk mendengar pernyataan darinya.
“ Awal aku bertemu padamu, aku hanya berpikir bahwa kamu adalah gadis yang kesepian, aku menghampirimu kala itu hanya bermaksud menghiburmu saja, namun apa yang kubayangkan jauh dari kata itu, kamu bukanlah gadis yang sedang dirundung kesepian, melainkan gadis yang sangat menarik. Memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh gadis lain, mulai saat itu perasaanku padamu menjadi sangatlah aneh, semakin aku menghindar untuk tidak memikirkanku, semakin dalam kamu masuk kedalam relung jiwaku, semakin sakit hatiku jadinya. Aku tidak tahan dengan perasaan ini. Ingin secepatnya kau ucapkan hal itu kedapamu, namun kesempatan berkata lain, aku harus mementingkan kesehatanku terlebih dahulu.”
“ Selama aku menjalani proses penyembuhan, hanya kamulah yang berlari-lari dibenakku, senyummu menjadi semangatku untuk menjadi sembuh, dokter mengatakan sakit yang kualami sudah memasuki stadium akhir. Namun kenyataan berkata lain, sakit itu telah pergi jauh dari tubuhku,dan semua itu berkat senyummu. Setiap suntikan yang kuterima, tidak kurasakan sakit kalau aku mengingat mu, senyummu adalah obat yang ampuh untukku. Aku ingin senyum itu hadir disetiap hariku sampai kapanpun itu.”
“ Oleh karena itu aku datang kembali padamu sekarang untuk menyampaikan hal ini, dan bermaksud untuk memintamu untuk menjadi pasangan hidupku dan mewarnai perjalanan hidupku dengan senyumanmu itu. Sekarang maukah kau menjadi istriku?”
Apa yang ia katakan tadi. Ia sudah sembuh dari sakitnya dan sekarang melamarku? Apa aku tidak mimpi? Belum juga aku mendapatkan jawaban dari lamaran Prabu sekarang Rio juga melakukan hal yang sama. Apa yang harus aku perbuat?
“ Terima kasih Rio, telah memilihku untuk mejadi pasangan hidupmu, namun aku belum bisa menjawabnya sekarang, aku butuh waktu untuk semuanya. Sekali lagi terima kasih untuk ucapan ulang tahunnya.”
Aku berlalu meninggalkan Rio seorang diri ditaman, kali ini rasa bersalah kembali bersarang didalam benakku. Aku tidak bisa seperti ini terus. Baiklah malam ini aku akan pergi kegereja untuk meminta petunjuk darinya.
Malam itu juga kau berjalan kegereja yang berada diseberang komplek perumahan kami. Sesampainya disana, aku berlutut berdoa kepada sang Maha pencipata untuk memberikan secercah cahaya atas pergumulan yang aku hadapi. Disela-sela doaku, aku berdoa untuk kedua pria itu, namun hanya Prabu lah yang muncul dipikiranku, kata-kata manisnya selalu terngiang saat aku berdoa. Setelah selesai aku kembali kerumah, sepanjang jalan yang kutelusuri kembali Prabu muncul dibenakku, “ percayalah padaku walau hanya lewat suara “ kata-kata itu terus menghantuiku.
Kuulang semua kisah yang telah kulalui bersama kedua pria ini, namun lagi-lagi canda tawa serta nasehat yang diciptakan Prabu lebih hidup dibandingkan dengan keceriaan dengan Rio. Rio bahkan tidak pernah mengingatkanku akan Tuhan, yang ia inginkan hanya duduk berdua denganku seharian. Prabu jauh lebih terbuka, sedangkan Rio tertutup, aku bahkan tidak tahu dimana ia tinggal selama ini dan apa sakit yang ia alami kemarin.
Dengan segala kesadaran yang kumiliki, akhirnya aku putuskan untuk mempercayai suara hatiku, dan aku memilih Prabu. Dia saudaraku, tidak mungkin ia akan menyakitiku. Sedangkan Rio aku bahkan tidak tahu dari mana asalnya, kemungkinan untuk menyakitiku sangatlah besar, karena ia adalah orang asing bagiku.
Pertentangan terjadi…
Rio kembali datang kepadaku untuk menanyakan jawabanku. Kali ini aku sudah siap untuk menjelaskan semua kepadanya.
“ Bagaimana Yuu, apakah kamu sudah memiliki jawaban. Pastinya sudah bukan? Dan jawabannya adalah kamu bersedia untuk menjadi istriku kan?”
Aku hanya menatapnya, aku tidak sanggup menyakiti hatinya, walaupun sikapnya sangatlah tertutup, namun ia adalah pria yang baik. Aku kumpulkan semua keberanianku untuk mengatakannya.
“ Rio, aku sudah memikirkan hal ini matang-matang, namun untuk kali ini hubungan kita hanya sampai disini saja, maafkan aku tidak bisa mewujudkan impianmu untuk menjadi sepasang kekasih.”
“ Ba… ba… bagaimana bisa?”
“ Maaf sebelumnya, aku tidak menceritakannya kepadamu, beberapa bulan yang lalu, jauh sebelum aku berjumpa denganmu, aku sudah mengenal seorang pria, pria itu sudah melamarku, dan aku sudah menerima lamaran itu. Aku tidak bisa membatalkannya. Maafkan aku sekali lagi.”
“ Tidak mungkin, ini hanya gurauanmu saja kan, aku tidak bisa terima hal ini. Dimana pria itu, aku harus bertemu dengannya, dan memintanya untuk menarik kembali lamarannya untukmu. Kamu harus menjadi milik ku.”
“ Kamu tidak akan menemuinya, ia tidak ada disini, ia sekarang berada diluar negeri. Sebetulnya aku pun belum pernah bertemu dengannya, namun…”
“ Bagaimana kamu bisa menerima lamaran dari seorang pria, bahkan kamu saja belum pernah bertemu dengannya. Ayolah Yuu, jangan memuat lelucon yang tidak masuk akal seperti ini.”
“ Namun, pada kenyataannya benar, aku tidak bercanda. Aku percaya padanya, aku mempercayainya.”
“ Sekarang aku bertanya padaku, hanya dengan suara kamu bisa percaya dengan cinta seorang pria kepadamu? Itu hak yang paling mustahil yang pernah kudengar.”
“ Tetapi mustahil bukan berarti tidak bisa bukan? Kemungkinan kepercayaan yang kuberikan untuk tidak dikhianati masih ada kan? Aku mungkin tidak mengenalnya, namun hati kecilku tidak mampu membohongi kepercayaan itu. Aku percaya padanya.”
“ Aku sungguh heran dibuatmu, kamu adalah wanita yang paling mudah untuk dibohongi bagiku, seharusnya seorang wanita tidak boleh memiliki pemikiran seperti itu. Karena tak banyak pria diluar sana yang menyalah-gunakan kepercayaan wanitanya untuk membodohinya. Aku berharap kamu tidak menyesal dengan semua keputusan yang telah kamu ambil. Sebaiknya aku pergi dan tidak lagi mengganggu hidupmu lagi, aku ikhlas dengan keadaan ini. Selamat tinggal Yuu…”
Pada akhrinya Rio mau menerima keputusan yang aku ambil, walaupun sedikit berat untuk membuatnya mengerti, aku tidak menyalahkan Rio dalam hal ini, reaksi yang ditunjukkan Rio adalah hal wajar untuk rasa tidak percaya atas penolakan. Tetapi, semua masalah telah selesai, semenjak hari itu, aku masih sering ke cafe itu, aku juga masih melihat Rio minum di pojok cafe. Dari tampangnya, sepertinya ia baik-baik saja. Aku tidak memiliki kuasa yang besar untuk meghampirinya. Sekarang hubungan kami sangatlah renggang, lebih tepatnya Rio seolah menjauh, seakan tidak mengenalku lagi. Tidak masalah bagiku, selama perpisahan kami tidak menimbulkan pertentangan yang berarti.
Jawabanku adalah…
Lama setelah kejadian ku bersama Rio terjadi, aku seakan melupakan satu masalah lain, ya jawabanku kepada Prabu belum sempat kuutarakan. Sungguh pria yang mempunyai tingkat kesabaran yang luar biasa, hampir tiap malam menghubungiku, namun tidak pernah menngucapkan pertanyaan itu lagi. Aku berniat untuk memberi tahu jawabanku ini, tetapi aku malu. Aku sangat malu.
Aku tertawa dalam hati, untuk apa aku malu? Ia bahkan tidak melihatku, jadi tidak perlu aku malu nanti. Malam ini akan aku katakan semua, dan pada akhirnya aku memilihnya bukan karena perjodihan antara orangtua kami, melainkan hatiku telah memilihnya. Aku telah jatuh cinta padanya, dan hal terkonyol yang pernah kulakukan. Aku mencintai seseorang pertama kali dalam hidupku bukan dari wajahnya namun dari suaranya.
Simphoni dari ponselku terdengar, aku berlari dengan cepat dari dapur menuju ruang keluarga untuk mengambil ponselku, dan benar saja telepon dari orang yang kuharapkan datang. Prabu menghubungiku seperti malam-malam sebelumnya.
“ Selamat malam “, sapa ku pertama kali. Hal ini pertama kali juga aku lakukan, biasanya Prabulah yang melakukannya terlebih dahulu.
“ Apa yang kamu katakan dik, wah aku sungguh terkejut mendengar suara riangmu malam ini. Tidak seperti biasanya? Apa gerangan yang membuatmu terdengar sangat bahagia?”
“ Ahh itu perasaan abang saja, apa kabarmu hari ini?”
Kami berbincang banyak malam ini, disaat Prabu hendak mengakhiri percakapan malam ini, aku menghalanginya.
“ Sebentar bang, sebelum kita mengakhiri perbincangan kita malam ini, ada satu hal yang ingin aku sampaikan padamu.”
“ Ya, apakah itu ?”
“ Untuk pertanyaan mu waktu itu, jawabannya ya, aku bersedia.”
Tidak ada suara terdengar.
“ Kenapa hanya diam, apa abang lupa dengan pertanyaanmu sendiri?”
“ Apa aku tidak salah dengar, kamu menjawab pertanyaanku waktu itu dengan ya, itu artinya kamu bersedia menerima ku untuk menjadi pasangan hidupmu?”
“ Iya, aku bersedia, aku bersedia menjadi pasangan hidupmu, dan aku bersedia untuk menuruti keinginanmu untuk selalu percaya padamu walau hanya lewat suara.”
“ Kamu tahu dik, itulah kata-kata yang selalu aku tunggu tiap malam darimu, ternyata butuh waktu yang cukup lama untukmu mempercayai suaraku, kali ini bukan hanya suara yang keluar dari mulutku yang harus kamu percaya, namun suara hati kecilmu juga harus kamu dengar dan kamu percaya, bahwa pilihanmu tidaklah salah. Aku berjanji setelah kelulusanku akan kutepati semua perkataan ku padamu. Terima kasih dik.”
Terdengar isak tangis disela-sela perkataannya, mungkinkah itu tangis bahagia atas jawabanku. Aku berharap seperti itu. Malam itu rasa bahagia menyelimuti hatiku. Kini ku tidak sendiri lagi, ada Prabu yang jauh disana menemani hari-hariku.
Kelulusan dan …
Setahun berlalu, setelah kami memutuskan untuk menjalani hubungan jarak jauh. Meskipun jarak memisahkan cinta kami, namun semua terasa indah jika malam berselimutkan kerinduan datang. Aku sangat mencintainya dan entah dari mana aku tahu bahwa aku sangat membutuhkan sapaan lembutnya tiap malam. Aku sangat percaya padanya, aku tidak takut, bahwa ia akan tergoda wanita cantik disana. Aku mempercayai setiap ucapannya.
Tetapi akhir-akhir ini ia jarang menghubungiku, apa yang terjadi padanya? Apa ia sakit disana. Aku bertanya kepada paman dan bibi tentang keadaannya, mereka pu tidak mengetahuinya. Ahh, sungguh kali ini aku hampir gila dibuatnya, bagaimana bisa tidak memberi kabar hampir empat bulan lamanya.
Hal itu terus berlanjut sampai suatu hari aku mendapatkan surat darinya. Setelah ku buka surat tersebut, alangkah terkejutnya aku, sebuah poto pria berdiri ditengah paman dan bibiku sedang memakai toga kelulusan. Didalam poto itu juga terdapt sebuah surat, berisikan permohonan maaf dari pria tersebut, bahwa tidak memberikan kabar karena sibuk dengan penelitian akhir studinya. Air mata jatuh kepipiku, ini alasannya tidak menghubungiku selama beberapa bulan, dia berhasil membuatku gila karena cemas, tetapi aku bahagia sekarang bahwa dia baik-baik saja, dan studinya telah selesai.
Namun apa yang terjadi, surat ini dikirimkan dua minggu yang lalu, kalau tidak ada yang penting lagi disana, bukankah artinya ia telah kembalu kesini. Mengapa tidak langsung mengunjungiku, mengapa hanya surat yang datang?
Belum habis pertanyaan yang silih berganti muncul dibenakku, suara bel rumahku berbunyi.
“ Aduh siapa lagi yang datang, aku bahkan tidak sedang menunggu paket dari siapa pun?”
Ting… tong.. ting… tong… ting… tong…
Benarkah ini terjadi?
“ Iya sebentar…” aku teriak dari dalam.
Lembaran poto dan surat masih berada ditanganku, dan saat aku membuka pintu…
“ Selamat siang Yuu…”
Seorang pria berdiri dihadapanku, dan pria itu sama seperti yang ada dipoto yang masih aku pegang, aku kembali melihat poto tersebut, aku tidak percaya… benarkah ini terjadi? Prabu ada didepan ku, tepat didepanku.
“ Wajahmu lucu sekali, tidak perlu kaget seperti itu, aku benar pria dipoto itu, dan juga yang mengirimkannya kepadamu. Aku Prabu Yuu…”
Aku masih tidak percaya, untuk beberapa menit kami berdiri didepan pintu, dan Prabu masih terus tertawa memperhatikan tingkahku, aku tidak peduli betapa konyolnya tingkahku. Ini bukan mimpi kan?
Kekonyolanku bertambah setelah orangtuaku muncul bersama paman dan bibi.
“ Anak ini sangat tidak sopan,dari jauh kami memperhatikan kalian, hanya berdiam diri didepan pintu”, sahut ayah dari belakang.
Aku tidak berkata apa-apa, hanya menggunakan bahasa tubuh untuk mempersilahkan mereka masuk, lagi-lagi Prabu masih tersenyum melihat tingkahku. Mempersilahkan mereka duduk diruang keluarga, aku bergegas kedapur menyiapkan teh dan makanan untuk ayah, ibu paman serta bibi. Sesampainya didapur tak kusangka Prabu mengikutiku.
“ Mari ku bantu, aku pandai dalam membuat teh yang nikmat”, katanya sambil tersenyum.
Aku masih tidak bisa berbicara, seperti membisu mendadak, tolong lepaskan aku dari penderitaan ini. Tetapi senyumannya sangatlah manis.
Prabu menyusun enam cangkir teh beserta teko dinampan, memegangnya dengan penuh percaya diri, aku menyusul dari belakang dengan membawa kue kering buatan ku kemarin sore. Entah mengapa kemarin sore aku sangat ingin membut kue kering yang banyak, ini rupanya yang terjadi
Kami beriringan keluar dari dapur, namun orangtua kami tidak kami temukan diruang keluarga, ternyata mereka pindah keteras depan rumah.
“ Lihat mereka, sangat serasi bukan?” celoteh ibu dengan bibi.
Bibi hanya mengangguk sambil tersenyum, Prabu menoleh kebelakang melihatku sejenak, tetapi aku menunduk tersipu malu dengan perlakuannya.
“ Mereka seperti sudah sering bertemu, padahal baru kali ini bertemunya”, kali ini paman ikut menyambung kalimat ibu.
Entah harus bagaimana lagi kau sembunyikan rasa maluku, ini terlalu cepat, aku bahkan tidak sempat bersiap-siap. Seperti tampil cantik layaknya gadis lain yang hendak dikunjungi keluarga kekasihnya. Aku bahkan baru bangun siang, bersolek pun tidak sempat ku lakukan.
Orangtua kami bercerita dengan hangatnya, aku dan Prabu hanya menjadi pendengar yang budiman. Bukan pertama kali aku bertemu dengan paman dan bibi, namun kali ini atmosfernya berbeda. Sangatlah mencekam bagiku.
“ Ada hal yang hendak kami bicarakan, ini urusan orangtua, ada baiknya kalian pergi kelaur sebentar menikmati indahnya sore ini”, beitulah cara lembut ayah mengusir kami agar tidak mengetahui percakapan mereka.
“ Tapi sebelum kalian pergi, lebih baik kamu membersihkan dirimu nak, ibu tidak mau melihat anak gadis ibu, berkeliaran dijalan tanpa polesan rias sedikitpun”, begitulah perintah ibu yang tidak bisa ku bantah.
Kuanggukan kepala tanda aku menyetujuinya.
Aku berlari menuju kamar. Membersihkan diri, memakai pakaian terbaik, merias diri seperti yang diiginkan ibu, sudah aku sudah cantik. Kasihan Prabu terlalu lama menunggu ku merias diri.
Kami berencana menuju taman kota dengan menggunakan mobil kodokku. Kami berjalan disepanjang taman. Prabu selalu memancingku untuk berbicara, namun aku tidak bisa. Sampai aku tidak fokus berjalan tak tersandung batu. Aku jatuh dan kepala ku terantuk ke batu. Aku kehilangan kesadaranku.
Hingga kesadaranku kembali, aku sudah ada dipangkuan Prabu dan masih ditaman kota.
“ Apa yang terjadi”, tanyaku.
“ Kamu tersandung batu disana, dan kepalamu terantuk kebatu, maafkan aku tidak sigap menangkapmu saat terjatuh, hingga kamu pingsan seperti ini. Aku sungguh menyesal.”
Aku bersyukur, berkat kejadian tadi, aku dapat berbicara kembali. Rasa canggung menghampiri kami berdua. Hingga ia memuali percakapan terlebih dahulu.
“ Kira-kira apa ya yang dibicarakan ayah dan ibu kita?”
“ Mungkin bicara masa yang lampau”
“ Kalau masa lampau kenapa kita diusir?”
“ Sudahlah tidak baik berbicara seperti itu, oh iya bang, bagaimana kelulusannya? Nilainya bagus semua kan?”
“ Pastinya, semua itu berkatmu, kamu selalu menjadi semangat belajarku”
Senyumku merekah mendengar kata-kata itu. Lama kami berbincang, rasa canggung seolah pergi entah kemana, kami seperti biasa lagi, seperti saat mengenal hanya dengan suara. Perlu ku akui, Prabu ternyata memang pribadi yang menyenangkan, sama seperti suaranya. Sangat beruntungnya diriku menjadi kekasih seseorang yang pintar, terpelajar, memiliki karir yang bagus. Tetapi kenapa memilih aku, bukankah wanita dilaur sana banyak yang lebih cantik dariku?
Prabu memiliki mata yang sangat indah, senyum yang manis, suara yang sangat tegas. Setiap perkataannya tertata dengan baik, sungguh terpelajar. Alangkah bahagianya bersamanya. Aku tidak menyesal dengan pilihanku.
Matahari sudah tenggelam dik, mari kita pulang, aku rasa ayah dan ibu kita telah selesai dengan rahasianya.
Sesampai dirumah, orangtua kami masih berada diteras, tertawa dengan lepasnya.
“ Ah, kalian sudah kembali rupanya?” tanya paman.
“ Sudah ayah, langit sudah gelap, kami takut melewatkan makan malam bersama kalian. Seperti yang tadi aku dengar dimobil, bibi dan ibu ingin masak bersama, aku khawatir hasil masakan mereka hasil dimakan ayah dan paman”, begitulah candaan ala Prabu.
Tidak hanya pintar namun pandai membuat lelucon juga dia. Sungguh paket komplit.
Makan malam kali ini ibu dan bibi yang menyiapkan, ada dua master c