~Karena wajah kebaikan dan kejahatan sebenarnya satu (Coelho, The Devil & Miss Prym)
Beberapa bulan terakhir ini, Indonesia dikejutkan dengan beberapa perilaku kekerasan diantaranya aksi teror di jalan Thamrin dan juga pembunuhan Mirna Salihin yang ditengarai menggunakan racun sianida. Pelaku-pelaku kekerasan pada awalnya adalah orang baik-baik. Tentu saja ‘baik-baik’ bisa berarti bermacam-macam, misalnya tidak ada catatan kejahatan sebelumnya seperti Jessica yang sekarang menjadi tersangka, atau mereka yang terlihat tidak melakukan kejahatan apapun di lingkungan terdekatnya, berperilaku baik terhadap keluarga, tetangga atau bahkan rajin ikut kegiatan keagamaan, tetapi mengapa melakukan teror? Merusak fasilitas umum dan melukai orang-orang yang tidak bersalah?
Apakah sebenarnya hal mendasar dari manusia? Apakah baik? Apakah jahat?
Mengapa orang baik-baik bisa melakukan kejahatan? Alasan apakah dibalik kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang semula baik?
Stanley Milgram (1963) dan Phillip Zimbardo (1971) sama-sama berpendapat bahwa faktor dari luar (external factor) menjadi hal mendasar yang mendorong manusia untuk memilih berbuat jahat. Ya, memilih adalah hak, tetapi faktor situasi seringkali menjadi alasan. Sekali lagi, eksekusi seseorang untuk berbuat jahat memang pilihan pribadi, faktor dari dalam (internal factor), tetapi faktor luar lah yang menjadi pendorong. Faktor luar yang dimaksud adalah situasi dan juga figure otoritatif yang berada di lingkaran pelaku kejahatan itu.
Stanley Milgram (1963) melakukan studi kepatuhan dengan menggunakan eksperimen yang membuktikan bahwa situasi dan figure otoritatif mendorong seseorang yang normal -(tidak memiliki penyimpangan mental), tidak memiliki catatan kejahatan, belum pernah melakukan kekerasan, berpendidikan-, mampu melakukan kekerasan jika berada dalam situasi tertentu dan terdapat figure otoritatif yang memerintahkan untuk melakukan kekerasan. Situasi perintah dari figure otoritas dan aturan (situasi) yang mengharuskan adanya hukuman atas kesalahan, menyebabkan seorang baik-baik ‘tega’ menyentrum orang lain dengan voltage yang jika dilakukan dalam seting sebenarnya akan menyebabkan kematian (baca: eksperimen milgram). Demikian juga eksperimen yang dilakukan oleh Zimbardo (1971) yang dikenal dengan Stanford Prison experiment, eksperimen yang memberikan peran pada partisipan sebagai penjaga penjara, pelaku kejahatan yang dipenjara, dan otorita penjara. Apa yang terjadi? Mereka yang mendapat peran sebagai penjaga penjara dan otorita penjara, melakukan ‘kekerasan’ bahkan lebih dari scenario yang sudah disiapkan dalam eksperimen. (baca: standford prison experiment). Zimbardo (1971) menyebut hal ini sebagai Lucifer effect, efek Iblis.
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Mari kita lihat dimanakah kita bisa menemukan situasi dan figure otoritatif? Yap, lingkungan paling kecil adalah keluarga, dan figure otoritatif terdekat adalah ayah-ibu, atau orang dewasa yang signifikan di sekitar anak-anak. Ya, situasi dan figure otoritatif yang mengatur otoritasnya dengan kekerasan akan melahirkan anak-anak yang juga melakukan kekerasan. Kekerasan tentu bukan kekerasan fisik saja, tetapi juga verbal. Ayah atau ibu yang berteriak dan marah-marah dengan nada tinggi akan melahirkan anak-anak berperilaku sama. Ayah yang mendominasi, memanipulasi ibu, atau ibu yang mendominasi, memanipulasi ayah, atau orang tua yang mendominasi dan memanipulasi anak-anak akan melahirkan anak-anak yang mendominasi dan memanipulasi teman-temannya yang lebih kecil, demikian seterusnya seperti lingkaran setan. Demikian juga kelompok, kelompok rentan untuk menularkan kekerasan, disebabkan karena potensi group think (pikiran kelompok yang subyektif atas nama kelompok), bisa kita lihat kelompok-kelompok yang memiliki pemikiran tertentu akan menjadikan anggotanya memiliki pemikiran yang sama, dan menyetujui nilai-nilai yang sama, termasuk jika nilai-nilai di dalamnya adalah nilai-nilai kekerasan dan penyimpangan.
Kelompok teroris jalan Thamrin dan juga yang lain, terdiri dari orang-orang baik yang menyakini nilai-nilai yang menurut saya ditafsirkan dengan tidak tepat, nilai-nilai kekerasan, yang disebabkan karena kelompok (situasi) dan figure otoritatifnya memerintahkan demikian. Daya kritis hilang, yang ada hanya kepatuhan. Meskipun harus merusak fasilitas umum dan melukai orang-orang yang tidak bersalah. Padahal, kode etik perang dalam agama yang dianut justru melarang untuk merusak, melukai wanita dan anak-anak, dan menebang pohon-pohon. Ironis!
Bagaimana kejahatan individu seperti yang dilakukan dalam pembunuhan Mirna Shalihin? Jika benar Jessica yang membunuh sahabatnya, ia melakukannya karena pilihan pribadi. Sejak kapan ia memiliki nilai-nilai kekerasan? Itu yang perlu diselidiki. Tetapi motif kejahatan hampir selalu sama, balas dendam, iri dan dengki seperti hal yang dilakukan Iblis pada saat ia diusir dari surga, menurut terminologi agama.
Dalam kitab-kitab agama samawi (Injil, Al-Qur’an dan Taurat) terdapat kisah yang hampir sama tentang Iblis. Bahwa semula ia adalah malaikat yang paling disegani, namun membangkang ketika diperintahkan untuk menyembah Adam. Ia enggan, disebabkan karena merasa lebih baik, lebih hebat karena penciptaan mereka dari api (18: 50). Maka sejak Iblis diusir dari surga ia mendendam dan iri pada manusia dan berupaya untuk mengajak manusia menjadi bagian dari kelompoknya. Jadi, demikianlah, kejahatan kemudian menjadi bagian dari diri manusia, atas nama dendam, iri dan dengki yang ditiupkan Iblis ke dalam dada manusia. Fakta ini menyedihkan, sungguh sedih, bahkan malaikat pun berubah menjadi jahat, karena dendam
Demikianlah, pada dasarnya, saya percaya manusia dilahirkan dalam kebaikan. Tetapi situasi, figur otoritatif lah yang menyalakan bagian buruk dari manusia. Jadi, satu-satunya cara adalah menghindari situasi kekerasan adalah berkumpul dengan orang-orang yang memiliki nilai-nilai kasih sayang dan jauh dari kekerasan, berpikir kritis dalam situasi apapun yang berpotensi mendorong kita untuk melakukan kekerasan. Jika kita diberikan amanat untuk memimpin sekelompok manusia, atau bahkan bangsa, maka tugas kita adalah menciptakan situasi yang aman dan nyaman, adil dan konsisten. Dan menjadi figur yang memberikan keamanan dan kenyamanan, memberikan keadilan tanpa membeda-bedakan serta konsisten antara kata dan perbuatan. Seperti Nabi SAW mengajarkan.
Mampukah kita?
Semoga.