Kamu mungkin udah familiar sama yang namanya trauma, tapi tahu nggak, kalau trauma juga bisa dimiliki seseorang tanpa harus secara langsung mengalami peristiwa penyebabnya, kalau mental health issue bisa ‘diwariskan’?
Bagai rantai dan juga lingkaran nggak berkesudahan, masalah kesehatan mental bisa turut dirasakan sama generasi-generasi penerus dari mereka yang mengalami kejadian traumatis lewat beragam cara. Hal ini perlu banget disadari karena dampaknya udah bukan soal diri sendiri, tapi juga lintas generasi. Untuk itu, baca ulasan soal intergenerational trauma berikut ini, yuk!
Intergenerational Trauma
Intergenerational trauma atau trauma antargenerasi (kadang disebut juga transgenerational trauma) merupakan trauma yang diwariskan dari mereka yang secara langsung mengalami kejadian traumatis ke generasi berikutnya. Trauma antargenerasi bisa dimulai dari kejadian traumatis yang dialami satu orang, beberapa anggota keluarga, hingga trauma kolektif pada komunitas, suku, ras, atau kelompok lainnya yang lebih besar lagi.
Konsep trauma antargenerasi pertama diidentifikasi pada anak-anak dari para korban Holocaust, pembantaian oleh rezim Nazi di tahun 1940-an. Studi tahun 1988 yang dilakukan ke cucu korban Holocaust menemukan bahwa anak-anak tersebut cenderung hidup dengan perawatan psikiater. Penelitian soal trauma antargenerasi ini kemudian berkembang lagi, dan dinyatakan bisa terjadi pada anak-anak yang orang tua, kakek-nenek, atau leluhurnya mengalami hal-hal seperti perang dunia, kelaparan, penjajahan, dan kejadian traumatis lainnya.
Di samping peristiwa-peristiwa yang kesannya ‘luar biasa’ tadi, trauma apapun pada dasarnya bisa berkembang jadi trauma antargenerasi. Hasilnya adalah kecemasan, depresi, sampai PTSD. Terkadang, kecemasan bahkan disebut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui cerita-cerita. Para orang tua menceritakan kisah-kisah leluhur keluarga, yang tanpa sengaja menumbuhkan kecemasan pada anak-anak.
Kamu mungkin juga pernah dengar soal toxic parent. Nah, intergenerational trauma adalah salah satu penjelasan kenapa hal itu bisa terjadi. Apa yang orang tua lakukan kepada anaknya boleh jadi adalah proyeksi atas apa yang mereka alami di kehidupan mereka dulu. Jadi jawaban untuk pertanyaan soal ‘siapa yang salah’ dalam fenomena toxic parent ini udah bisa kamu kira-kira sendiri jawabannya; nggak ada yang bisa disalahkan. Kejadian traumatis dan efek psikologisnya bak rantai yang terus bersambung dari generasi ke generasi kalau nggak ada upaya buat memutusnya.
Apa Rantai Intergenerational Trauma Bisa Diputus?
Kalau memang intergenerational trauma eksis, apa yang bisa dilakukan terhadapnya? Kamu bisa memilih buat memutus rantai trauma itu. Sesuai apa yang udah dijelaskan sebelumnya, intergenerational trauma hadir karena ada trauma yang belum terselesaikan, yang akhirnya ‘diwariskan’ ke generasi selanjutnya, ke anak-cucu yang lahir. Kamu bisa mulai dari hal-hal kecil seperti:
- banyak membaca soal isu-isu kesehatan mental;
- nggak malu buat bertanya ke yang lebih kompeten soal apa yang belum kamu pahami;
- menumbuhkan mindset bahwa kamu bisa jadi agent of change;
- Menikah dan punya anak hanya jika kamu udah siap; dan
- berhenti menyalahkan orang lain dan keadaan.
Ada pepatah bilang, ‘mengetahui’ dan ‘aware’ adalah setengah jalan menuju kesembuhan. Bagian terpenting dari banyak-banyak belajar soal kesehatan mental adalah supaya kita semua semakin tahu isu-isu apa aja yang mungkin kita miliki sebagai manusia yang nggak sempurna. Bukan buat bikin kamu khawatir, cemas, overthinking mikirin ‘apa jangan-jangan aku begini, ya?’ melainkan sekadar supaya kamu dan kita semua aware dulu sama masalah yang ada. Selebihnya, masih ada orang-orang yang lebih kompeten buat membantu kamu mengatasi masalahmu seperti konselor atau psikolog. Soal intergenerational trauma ini, gimana pendapatmu?
Referensi:
Menzies, P. (2010). Intergenerational trauma from a mental health perspective. Native Social Work Journal, 7, 63-85.