Seperti biasa ketika saya jenuh membaca jurnal ilmiah, maka saya membaca sastra ilmiah (Haha). Dua-duanya seperti kekasih yang ganteng dan smart di sebelah kiri dan kanan (begitulah, cuma bisa poaliandri sama buku :D). Maka buku ganteng dan smart itu yang baru saja berbisik-bisik dan mendorong saya menulis teks ini adalah Tanjung Luka, karya Benny Arnas. Pada dasarnya bagi saya semua penulis adalah pendongeng, dan Benny adalah pendongeng yang hebat karena baru sampai halaman 22 saya sudah ‘gatal’ pingin komentar, sebab yang lain karena kebetulan saya baru saja mendengar kuliah dari si ganteng dan smart yang lain di sisi kiri saya: paper ilmiah tentang psikologi jarak (psychological distance).
Tanjung Luka bercerita tentang Markonet seorang perempuan ‘tomboi’ yang dituduh berbuat sundal sebelum menikah, hanya karena tidak ada darah keluar dari rahimnya saat pertama kali berhubungan suami istri dengan Zawalib, suaminya. Dan oleh karena peristiwa itu, maka Markonet akan terlibat dengan segala masalah dalam hidupnya terkait dengan tidak berdarahnya dia di malam pertama (mudah-mudahan tebakan saya benar, karena saya baru tiba di halaman 22), beginilah cara sebuah konflik ditaruh di awal sebuah cerita, pembaca jadi tak ingin berhenti membaca, atau seperti saya tak sabar ingin segera berkabar di media sosial.
Tahukah Anda, bahwa kisah Markonet dan masyarakat yang memberinya stigma sundal, dan mengutuknya dengan stigma tersebut sedikit banyak mewakili tipologi masyarakat kita? Ya, lihatlah Markonet telah dihukum oleh sesuatu yang berjarak psikologis, berjarak secara mental. Dan, sedihnya, stigma yang dituduhkan disebabkan karena jarak terhadap pengetahuan, dan realitas seperti ini adalah sesuatu yang menyedihkan (setidaknya bagi saya). Markonet dituduh sebab hipotesis (hypotheticallity) yang belum dibuktikan oleh masyarakatnya, Markonet dihukum tanpa diadili. Dan betapa sering kita melakukan hal ini, menduga lalu menghakimi. Terlebih lagi, apa yang diduga adalah masalah pribadi, bukan sesuatu yang berdampak sosial. Apakah kebiasaan ini adalah itu kutukan bagi masyarakat kolektivis? Yang sangat senang mengulik masalah pribadi orang lain, lalu ramai-ramai menghakimi. Bagi saya hal-hal pribadi adalah: pilihan hidup, keluarga, kekayaan, keyakinan.
Apa sebenarnya jarak psikologis? Teori yang ditekuni oleh Neira Liberman, Yacov Troope, dan Elena Stephan (2007) ini mengatakan bahwa: Jarak psikologis terhadap segala sesuatu (bisa benda/obyek atau peristiwa) adalah segala sesuatu yang tidak hadir di hadapan kita disini dan sekarang (distant from here and now). Dimensi dari jarak psikologis ini ada empat: Waktu (temporal), Ruang (spatial), Sosial dan Hipotetikal (Dugaan, hipotesis). Apa yang terjadi pada Markonet ada pada dimensi sosial dan hipotetikal. Secara sosial Markonet memiliki kebiasaan yang berbeda dengan kelompok sosialnya, jadi Markonet berjarak secara sosial dengan masyarakatnya. Ia biasa dan sangat senang menunggang kereta unta (mungkin maksudnya sepeda ya, Ben? Pengetahuanku berjarak soal diksi ini :D, sudah kucoba bertanya pada google yang muncul foto-foto unta berkerta beneran ) sesuatu yang tak lazim dilakukan perempuan-perempuan di Ulakkungkung. Jarak sosial akan mengaktivasi in group- out group thinking, lalu in group-out group behavior, ini adalah cikal-bakal prasangka. Prasangka adalah generalisasi negatif terhadap sesuatu yang berjarak secara sosial (diluar kelompok, diluar kebiasaan kelompok), betapa gejala ini sering kita temui pada masyarakat kita, prasangka memicu konflik, disebabkan karena jarak pengetahuan, informasi yang kita miliki atas kelompok diluar kita, yang menjadi obyek prasangka.
Markonet, ditokohkan sebagai perempuan yang sudah secara sosial berjarak, berjarak pula dalam hal pengetahuan tentang keperawanan dan pemaknaan tentang keperawanan, demikian pula masyarakat Ulakkungkung berjarak dengan Markonet tentang kebiasaan, pengetahuan serta pemaknaan soal keperawanan . Maka ketika Zawalib mengatakan tak keluar darah dari selangkangan Markonet, generalisasi negatif pemicu prasangka muncul kembali, stigma kembali menghukum Markonet, disebabkan jarak hipotetikal (hypothetical distance) tentang keperawanan. Pengetahuan bahwa selaput dara bisa pecah bukan hanya karena hubungan kelamin, tetapi juga karena benturan dari luar tubuh, tidak pernah dimiliki masyarakat Markonet. Bahkan oleh Markonet sendiri, sehingga ia tidak memiliki penjelasan yang cukup untuk menolak hipotesis yang sesungguhnya tak terbukti dari masyarakatnya.
Duh! Markonet. Saya penasaran, apakah Ia akan bisa mengatasi stigma yang dikutukkan oleh masyarakatnya? Betapa banyak Markonet-markonet lain di negeri ini, yang dihukum tanpa diadili karena jarak hipotetikal pengetahuan masyarakatnya?
Saya penasaran, saya lanjutkan baca dulu ya