Jakarta, 1 Januari 2016
Malam ini umur saya 29 tahun. Saya menulis ini karena sakit dan sudah 4 hari di rawat, di ruang Teratai 3A. Sebentar lagi saya pasti mati karena kanker. Dan saya sedih karena takut tidak orang yang akan cerita tentang saya semasa hidup.
Saya punya 1.235 kawan, tapi hari ini saya kesepian. Tidak ada satu dari ribuan kawan saya yang datang untuk jenguk saya di sini. Saya bersedih. Tapi saya juga tidak bisa hibur diri saya sendiri karena pikiran saya sudah terkunci pada hari kematian.
Saya bicara dengan kawan saya setiap hari. Saya berbagi cerita dengan mereka pada sore, siang, malam, pagi, atau kapanpun di saat saya ingin cerita dengan mereka. Sayangnya, tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar mengenal saya.
Masalah yang saya miliki adalah bagaimana membedakan bicara dengan orang melalui tatap mata, atau sekedar menatap nama kawan saya pada layar. Saya ingin sekali pejamkan mata, mundur ke belakang untuk menyadari bahwa media yang saya sebut sosial ini adalah segalanya. Namun di saat saya buka layar, saat itu lah sebenarnya saya tutup pintu saya.
Saya baru tahu bahwa semua teknologi yang saya punya ini adalah ilusi. Sebuah problema ketika saya menjadikannya sebagai berhala dalam bentuk baru yang saya agung-agungkan.
Saya tidak bisa melepaskan diri dari dunia maya yang menjadi tempat tinggal baru saya selama beberapa tahun terakhir. Saya pernah mencoba untuk melepaskan tatapan dari layar handphone, tapi saya melihat dunia nyata yang jadi terasa membingungkan. Saya tidak suka karena rasanya jadi asing. Akhirnya saya kembali melihat layar, di mana orang-orang sedang membicarakan mode fashion terbaru di twitter. Itu lebih menarik bagi saya dan saya merasa terdepan.
Begitulah tiba-tiba dunia maya menjadi sebuah dunia baru yang memikat untuk saya tinggal. Dunia yang sebenarnya memperbudak saya dengan segala macam teknologi yang diciptakan manusia-manusia berlagak pintar dengan kacamata tebal.
Dunia itu adalah dunia yang menjadi pusat perdagangan informasi paling rakus di seluruh semesta. Dunia yang tiba-tiba saja berubah menjadi dunia yang dipenuhi oleh kepentingan pribadi, pencitraan jiwa, dan promosi diri sendiri.
Saya berubah menjadi egois ketika memberikan segala sesuatu yang terbaik yang saya miliki tanpa menggunakan perasaan. Saya menjadi lebih bahagia berbagi pengalaman bersama mereka dengan mengirimkan foto-foto kepada orang-orang dibanding mengajak kawan-kawan saya untuk ikut juga merasakan secara langsung.
Saya malah cukup puas ketika mendapat banyak ”like” karena foto-foto yang saya unggah ke internet. Harusnya saya puas ketika saya dan kawan-kawan pergi lalu berbagi pengalaman di sana. Pasti mereka pulang dengan perasaan yang sama dengan yang saya rasakan ketika pergi ke suatu tempat itu.
Barangkali lain waktu saya gantian diajak mereka untuk berbagi pengalamannya. Lalu saya akan menuliskan kisah itu di sebuah buku catatan yang kelak bisa dibaca oleh anak atau cucu saya. Kini, saya sendirian. Saya tidak punya kawan di sini, di mana saya sebentar lagi akan mati.
Kenapa dari dulu saya tidak pernah datang ke teman-teman saya untuk berbagi cerita. Kelak saya sadar, jika dulu saya sering mendatangi teman-teman. Saya yakin mereka akan datang juga ke saya malam ini karena mereka tahu bagaimana kehidupan saya.
Dulu mereka pernah datang ketika saya ulang tahun. Mereka datang ke dalam group message yang saya buat supaya ulang tahun saya seolah-olah terkesan meriah karena banyak yang ucapkan selamat kepada saya.
Saya baru sadar kenapa saya tidak undang mereka untuk datang saja ke rumah saya. Saya jadi bisa berbagi harapan hidup saya di umur baru bersama mereka. Mereka pasti akan dukung saya karena saya adalah orang yang ramah, yang tidak sombong karena mau undang mereka ke rumah untuk makan kue tiramissu.
Saya baru tahu kalau dulu saya adalah orang yang senang mendapatkan pujian. Orang yang senang mendapatkan “love” di instagram ketika mengunggah foto-foto saya. Saya menjadi angkuh, saya tidak sadar kalau sebenarnya saya terasing secara sosial di dunia nyata.
Saya sering merangkai kata-kata yang indah sampai hidup saya terlihat lebih indah di twitter. Saya selalu berharap bahwa banyak orang akan menyukai kata-kata yang saya tulis di twitter. Padahal saya sama sekali tidak pernah tahu apakah ada satu orang di luar sana yang peduli dengan hidup saya yang saya buat menjadi sangat indah.
Saya sering berada sendirian waktu itu. Tapi tidak masalah bagi saya karena saya punya kawan banyak yang bisa diajak bicara di media sosial sekedar temani saya. Saya tidak butuh bicara dengan tukang rokok di sebelah saya karena saya sudah punya kawan bicara dalam smartphone.
Sekarang saya merasa bahwa hidup saya hanyalah sebagai pelengkap. Berbeda jika dulu saya membaca buku, bersepeda, berlari-lari hingga nabrak orang yang sedang tunggu bis. Saya akan diakui karena pernah berinteraksi dengan mereka.
Saya bisa saja menjadi atlit renang, juara lomba lari, atau pemenang lomba baca puisi. Saya pasti akan lebih diakui di sana. Tapi waktu itu saya lebih sibuk balas mention twitter dari orang-orang yang saya bahkan tidak pernah temui. Saya tidak punya waktu untuk berlatih.
Saya belum sadar bahwa saya punya waktu yang bisa saja saya manfaatkan dengan baik. Waktu yang bisa saja saya gunakan untuk menjadi manusia yang peduli dengan sesama. Atau menjadi manusia yang lebih produktif karena sering berlatih. Saya juga akan menjadi manusia yang lebih disukai karena sering berbagi senyum dengan orang-orang yang saya temui di jalan.
Kenyataannya, saya malah lebih sering menatap layar handphone saya di layar. Mana sempat saya melirik sekeliling lalu berbagi senyuman dengan orang-orang yang jalan melewati saya. Saya menyesal.
Saya benar-benar menyesal karena tidak pernah sekalipun angkat kepala saya untuk menatap sekitar ketika saya berada di tempat umum. Saya menyesal karena saya tidak pernah bisa menjauhkan smartphone dari tangan saya ketimbang untuk menjabat tangan-tangan orang di dunia nyata.
Saya sebenarnya tidak butuh kawan-kawan di dalam layar yang cuma berbentuk nama dan sebuah foto avatar. Kalau saja waktu bisa saya ulang. Saya ingin sekali buang benda di tangan saya waktu itu, yang membuat hidup saya jadi sia-sia seutuhnya.
Saya ingin saling bicara dengan orang lain. Saya ingin belajar hidup bersama. Saya ingin menjadi orang yang tidak egois, yang tidak pernah menatap mata orang yang ajak saya bicara untuk sekedar tanya alamat.
Saya malah tidak bicara sama sekali waktu di dalam bis karena takut dibilang aneh ketika saya malah merasa normal dengan menatap smartphone. Saya jadi manusia yang merasa asing di dunia nyata saya sendiri karena terlalu menyelam pada dunia maya yang cuma berbentuk ilusi.
Saya berubah menjadi manusia anti sosial secara mental. Saya tidak lagi puas dengan hubungan antar manusia dengan saling tatap. Saya malah lebih pilih menatap smartphone dibanding menatap mata Dinda ketika makan malam untuk pertama kali.
Saya pikir, saya kelak akan punya anak yang melihat hidup saya seperti robot karena lebih sering berada pada digitalisasi dan saya merasa bahwa anak saya akan pikir kalau hal itu adalah normal. Saya jadi mudah untuk menghibur anak saya kelak ketika menangis dengan memberi iPad sebagai mainan. Saya tidak sadar bahwa anak saya akan kehilangan masa kecilnya di taman bermain untuk melompat di atas jungkat-jungkit dan jatuh lalu menangis dari ayunan.
Hal itu mungkin akan sangat berbeda jauh dengan kawan-kawannya yang sedang main di luar saat hujan. Berlari di atas rumput untuk kejar kupu-kupu, memanjat pohon jambu lalu kakinya tersangkut dan sepatunya sobek.
Anak saya tidak akan begitu karena anak saya akan diam saja di rumah dan main angry bird hingga saya pulang dari kantor. Bukan kah itu menyenangkan. Saya tidak perlu khawatir dia akan terluka karena berkelahi dengan anak yang lebih dewasa.
Sekarang saya khawatir karena saya tidak punya anak karena saya tidak pernah menikah sebab saya tidak pernah menemukan cinta sejati karena saya terlalu sibuk menatap layar.
Saya merasa menjadi generasi idiot. Di mana saya kini tahu sudah dibodohi oleh gadget. Saya merasa menjadi bodoh ketika teknologi sudah lebih pintar daripada manusia itu sendiri. Saya harap, ini cuma terjadi pada saya.
Bagi saya tidak masalah akan mati tanpa ada orang lain yang tahu. Itu semua salah saya dan saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya harap ada kesempatan lagi. Sayangnya itu tidak ada. Saya mulai sesak nafas sekarang.
Saya harusnya matikan handphone dari dulu. Menatap sekitar, membuat lingkungan tempat tinggal jadi lebih indah. Bukan malah membuat desain facebook hingga terlihat paling menawan. Saya tidak lagi butuh koneksi ke ribuan kawan saya di media sosial.
Saya hanya butuh satu hubungan yang nyata dengan seseorang. Satu hubungan yang akan membuat saya melihat sendiri perbedaan hubungan yang diciptakan dari sebuah kehadiran di depan mata saya. Bukan hubungan yang saya buat dengan “PING!” seseorang.
Saya ingin berada dalam sebuah hubungan yang berbeda ketika Dinda hadir pada saat makan malam. Sebuah hubungan lain ketika saya dan Dinda saling tatap saat bicara tentang kehidupan masing-masing.
Saya ingin memandang senyuman Dinda yang akan saya kenang hingga selamanya sebagai tanda bahwa saya telah jatuh cinta dengan Dinda melalui senyuman. Itu adalah senyuman asli yang indah. Sama sekali bukan sebuah titik dua dan kurung tutup di dalam sebuah chat ketika saya bicara dengan Dinda melalui media sosial.
Saya ingin berada pada sebuah kesempatan pegang tangan Dinda pertama kali waktu jalan di trotoar saat antar Dinda pulang ketika Dinda bicara tentang nilai matematikanya yang turun karena Dinda memutuskan untuk berhenti nyontek.
Atau saya ingin berada pada ciuman pertama dari Dinda yang akan saya kenang sampai kini. Sekarang yang saya ingat dari Dinda adalah hanya sebuah tanda titik dua dan bintang ketika Dinda mengakhiri chat karena mau tidur.
Tidak ada senyuman yang nyata, tidak ada ciuman yang sebenarnya. Semuanya hanya ilusi yang dibuat seolah-olah pernah terjadi dan saya lakukan.
Kadang saya ingin memiliki pendapat berbeda dengan Dinda namun saya tetap mencintainya. Saya ingin apapun yang saya lakukan selalu bersama Dinda. Dan memang saya melakukan banyak hal bersama Dinda. Tapi apa yang saya lakukan bersama hanyalah sebatas laporan ke Dinda bahwa saya habis melakukan sesuatu.
Tidak pernah ada Dinda terlibat langsung dalam kegiatan yang saya lakukan karena saya tidak pernah ajak Dinda. Saya hanya bilang di media sosial lalu Dinda akan balas dengan senyuman yang dibuat dari titik dua dan kurung tutup.
Saya harusnya jual komputer saya, smartphone saya, atau iPad saya untuk beli cincin sebagai tanda bahwa saya punya cinta yang nyata pada Dinda. Sehingga Dinda akan ada di sini malam ini, di saat saya sedang menunggu nafas terakhir saya keluar.
Sekarang saya hanya di sini, menatap langit-langit kamar rumah sakit yang putih tanpa bisa bicara dengan siapapun selain menulis ini untuk entah siapa yang akan mau baca.
Tidak pernah ada keluarga seperti yang selalu Dinda minta kepada saya. Tidak pernah ada seorang bayi di kamar saya yang menangis ketika malam karena harus diberi susu olah mamanya. Tidak pernah ada anak yang pamit kepada saya untuk pergi ke sekolah.
Tidak ada hari tua yang indah bersama Dinda. Tidak ada seorang anak kecil yang panggil saya kakek dan bikin saya merasa tua. Tidak ada hal-hal indah yang pernah saya ciptakan karena tidak pernah memberikan bentuk perhatian yang benar-benar nyata kepada orang lain.
Semua adalah salah saya karena sudah menyia-nyiakan waktu lebih banyak berkutat dalam internet. Hanya bermain dalam dunia khayalan yang saya bangun dan tak pernah sekalipun membantu saya dalam dunia nyata.
Saya tidak pernah punya kesempatan untuk pegang tangan Dinda sebagai istri saya karena Dinda memilih untuk bersama laki-laki lain di luar sana. Mudah-mudahan laki-laki itu bukan saya, yang terlalu menyia-nyiakan kehadiran Dinda dalam hisup saya.
Saya tidak lagi pernah mendengar suara Dinda berbisik di telinga saya untuk bilang bahwa saya adalah bagian terbaik dalam hidup Dinda. Saya tidak akan pernah mendengar kalimat itu karena saya hidup dalam dunia yang jauh dari kenyataan.
Saya sudah melewati berbagai kesempatan indah dalam hidup. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan nanti di kehidupan baru setelah mati. Saya bersalah dan rasanya sangat adil untuk saya menghakimi diri sendiri di detik-detik menuju kematian. Saya sangat bersalah karena bicara dengan cara mengetik dan mendengarkan cerita dengan membaca.
Sekarang tidak akan ada yang membaca tulisan saya. Hidup saya telah terbuang jauh ke dalam dimensi berbeda.
Maafkan saya Dinda. Saya harap kamu akan bahagia bersama dia. Saya harap kamu akan dapat tatap mata yang nyata dari pria itu. Dan malam ini semakin gelap Saya masih sendirian. Saya semakin sesak. Saya pikir, sudah seharusnya saya mati. Selamat malam!