Tahun baru, semangat baru, resolusi baru! Apa kamu termasuk yang selalu punya resolusi buat dicapai setiap tahun baru? Lihat lagi, yuk, apa resolusimu ‘terjangkit’ false-hope syndrome? False-hope syndrome bisa bikin kecewa, frustrasi, merasa gagal, dan sekian perasaan nggak menyenangkan lainnya ketika pada akhirnya apa yang dijadikan resolusi nggak membuahkan hasil. Lebih lanjutnya bisa kamu simak di bacaan berikut ini, ya!
Resolusi dan Ekspektasi
Resolusi tahun baru umumnya berisi hal-hal yang diinginkan tapi belum bisa terealisasi di tahun sebelumnya. Selain buat memenuhi itu, orang juga membuat resolusi tahun baru sebagai motivasi supaya bisa jadi orang yang lebih baik lagi; lebih sukses, lebih cantik, lebih atraktif, dan sebagainya. Singkatnya, resolusi biasanya selalu diikuti dengan harapan bisa memperoleh benefit tertentu melalui serangkaian usaha.
Sayangnya lagi-lagi banyak orang yang nggak sadar kalau mereka punya ekspektasi tinggi soal tercapainya resolusi itu tanpa punya gambaran langkah-langkah apa dan sebesar apa usaha yang diperlukan buat mewujudkannya. Saking penginnya berubah tahun ini dan dibarengi sama semangat tahun baru yang memunculkan kepercayaan diri, resolusi dibuat sebaik-baiknya dengan harapan setinggi-tingginya. Pastinya nggak semua orang melakukan itu, tapi bagi yang iya, maka itulah tanda mengalami false-hope syndrome.
Apa itu False-Hope Syndrome?
Riset mengenai false-hope syndrome sebelumnya banyak berkenaan dengan usaha diet para perempuan dan atlet. Peneliti dari Kanada, Polivy dan Herman, mendefinisikan false-hope syndrome secara umum sebagai usaha mengubah diri dengan harapan dan ekspektasi tinggi akan keberhasilan usaha tersebut. False-hope syndrome melibatkan rasa percaya yang nggak realistis soal apa yang diperlukan buat mengubah perilaku.
Seorang coach dari Amerika Serikat pernah punya ketakutan luar biasa buat bicara di depan umum. Beliau berkeringat hebat setiap harus melakukannya. Kemudian hal itu dijadikannya resolusi tahun baru; mengatasi masalahnya dalam hal public speaking. Mulai tumbuh harapan dan kepercayaan diri seiring usahanya mewujudkan itu. Tapi ternyata, cara yang beliau gunakan kurang tepat—belum cukup. Setelah itu, beliau masih berkeringat hebat sebelum bicara di depan banyak orang.
Psikolog asal California, Juli Fraga, berpendapat bahwa coach tersebut mengalami false-hope syndrome. Awalnya, memasang target perubahan diri sebagai resolusi tahun baru seolah-olah menjadikannya resolusi memberi harapan bahwa hal itu bisa tercapai. Padahal, perlu pertimbangan lain yaitu langkah apa yang tepat buat mewujudkannya, dan sebesar apa usaha yang diperlukan. False-hope syndrome justru sebaliknya; melibatkan overconfidence (percaya diri yang berlebihan) dan menganggap enteng usaha yang mungkin dibutuhkan.
Dampak False-Hope Syndrome
Punya target yang tinggi khususnya sebagai resolusi tahun baru memang bisa memotivasi diri, tapi harapan yang nggak didukung kenyataan mungkin nggak akan membiarkan resolusi itu tercapai. 25% orang di Amerika menyerah dengan resolusi tahun baru mereka dalam waktu satu minggu. Salah satu penyebabnya adalah ternyata kebanyakan resolusi dibuat saat diri mereka sendiri masih punya banyak kebiasaan yang jauh dari target resolusi.
Resolusi tahun baru dengan false-hope syndrome nggak bisa diremehkan karena dampaknya bisa sampai ke kondisi mental seseorang. False-hope syndrome bisa bikin orang kecewa, merasa gagal, nggak mampu, dan menyerah buat mencoba lagi. Tapi, tahu soal false-hope syndrome bukan berarti nggak boleh punya resolusi dengan target yang tinggi. Setiap orang punya keinginan buat mewujudkan hidup yang lebih baik dari tahun ke tahun, dan punya resolusi tahun baru termasuk langkah awalnya. Yang jadi pertanyaan, gimana cara set resolusi yang realistis supaya nggak terjebak dalam false-hope syndrome?
Empat kiat berikut ini bisa kamu coba supaya resolusi tahun baru dan ekspektasi keberhasilannya tetap terukur.
1. Identifikasi apa aja hambatan yang ada buat mencapai resolusi—beberapa hambatan nggak bisa disingkirkan dan resolusi yang justru harus disesuaikan.
2. Sadari apa yang bisa dan nggak bisa, dibutuhkan dan nggak dibutuhkan sama diri sendiri.
3. Ketahui dan akui akan sesulit dan selama apa waktu yang dibutuhkan buat mencapainya.
4. Lakukan evaluasi atas setiap kegagalan yang terjadi.
Ini sekali lagi menegaskan soal pentingnya mengenal diri sendiri. Mewujudkan resolusi tahun baru pasti butuh komitmen, dan untuk berkomitmen, perlu ada penerimaan akan realitas dan ekspektasi terukur soal apa yang mau dicapai. Mumpung masih awal tahun, masih banyak waktu buat menyusun rencana. Kamu sendiri punya resolusi apa buat tahun ini?
Referensi:
Polivy, J., & Herman, C. P. (2000). The False-Hope Syndrome. Current Directions in Psychological Science, 9(4), 128–131. doi:10.1111/1467-8721.00076